Ingin memiliki

1180 Kata
Orang rumah sedang sibuk menyiapkan acara pertunangan kakaknya dan juga Jordan. Mereka akan lamaran besok malam, hal itu semakin membuat hati Anisa nyeri. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa merubah takdir siapapun. Allah sudah menuliskan takdirnya sebelum dia di lahirkan di dunia ini. Seharian kakaknya belum pulang. Mamanya sudah heboh memintanya menelpon kakaknya untuk segera pulang. Tapi dia tidak melakukan itu, dia takut menggangu kakaknya yang sedang bersenang-senang dengan kekasihnya. "Sa, kakak kamu pulang kapan? Udah tahu kalau besok dia mau lamaran tapi jam segini belum ada di rumah." Rahma yang tengah sibuk menyiapkan berbagai kue yang dia buat sendiri terus mengomel. Putri pertamanya itu memang sedari dulu selalu membuatnya pusing. Ada saja ulahnya yang membuat daerahnya naik. Anisa dan Amira itu berbeda. Anisa cenderung menjadi anak rumahan sedari dulu. Sedangkan Amira itu sangat suka keluar hingga Rahma hampir tidak pernah melihat putri pertamanya berada di rumah karena sangking seringnya Amira keluar rumah dan nginep di rumah teman-temannya. "Apa sih, Ma. Kakak kan pergi sama calonnya, jadi biarin ajalah. Aku yakin pasti Mas Jordan bisa jaga kakak." Anisa terlihat santai sambil memakan coklat miliknya. Dia tidak mau terlalu memperdulikan kakaknya karena menurutnya kakaknya itu aman bersama Jordan. Baru juga Anisa dan Rahma diam, tiba-tiba Mereka mendengar suara deru mesin mobil yang masuk kedalam halaman rumah mereka. Rahma segera keluar rumah untuk melihat putrinya. Sedangkan Bima yang tadi tengah membaca koran menghampiri putri keduanya yang sedang sibuk memakan coklat. "Gigi kamu nanti sakit loh Sa, kok papa lihat dari tadi kamu nyemilin coklat terus." Tegur Bima yang membuat Anisa sedikit meringis. Karena di meja sudah ada 2 bungkus coklat yang habis. Sedangkan tangannya masih memegang setengah batang coklat lagi. "Tapi kata orang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati loh, Pa." Balas Anisa yang membuat Bima langsung menggelengkan kepalanya pelan. Dia sering mendengar lagu itu, bukan hanya omongan orang saja. "Sa, Sa, aneh-aneh aja. Yang namanya sakit ya gak bisa di bandingin. Sakit hati atau sakit gigi yang namanya sakit ya gak ada yang enak." Amira mencium pipi papanya dan langsung duduk di samping papanya. Kemudian dia memeluk Papanya dari samping sambil tersenyum kepada Anisa. Di belakangnya di susul Jordan bersama Rahma, Mamanya. "Benar tuh omongan kakak kamu. Seharian mama lihat kamu makan coklat terus." Rahma ikut menimpali. Kemudian dia duduk di samping Amira dan langsung menarik telinga kanan Amira. "Mama sudah bilang jangan pulang kemalaman. Sekarang lihat, ini jam berapa? Anak gadis tapi gak bisa di bilangin mamanya." Rahma memarahi Amira di depan Jordan. Sontak Amira yang di marahi mamanya di depan calon tunangannya pipinya langsung memerah malu. "Ma, lepas Ma. Malu di lihat Mas Jordan." Bisik Amira yang masih semua orang di ruang tamu ini dengar. "Maaf Ma, ini semua tidak salah Amira. Tapi salah saya yang sudah mengajak Amira pergi ke pasar malam sehingga membuat kami telat pulang ke rumah." Sontak penjelasan Jordan membuat Amira tersenyum. Calon tunangannya benar-benar sangat gentlemen. Dia berani membelanya di depan kedua orang tuanya. Anisa yang mendengar Jordan membela kakaknya merasa ada yang salah dengan hatinya. Hatinya seperti tidak terima. Tapi dia harus tetap baik-baik saja. Atau semua orang akan tahu bahwa selama ini dia menyimpan perasaan kepada calon kakak iparnya sendiri. *Bukan begitu Nak, tapi kalian besok itu tunangan. Mama gak mau kalian ada apa-apa di jalan ketika mendekati hari H." Rahma berbicara lembut. Tadi dia sangat menghawatirkan putrinya yang tidak kunjung pulang. Mau bagaimanapun seorang ibu harus bisa menjaga putrinya sebelum putrinya menikah dengan seorang lelaki. "Sudahlah jangan di perpanjang masalah ini. Yang penting mereka sudah pulang ke rumah dengan selamat." Bima menjadi penengah diantara mereka. "Nak, kamu bisa main catur?" Tanya Bima kepada Jordan. Jordan mengangguk. "Bisa, Pa." Jawab Jordan sopan. "Yaudah ayo main catur di teras rumah." Ajak Bima kepada Jordan. Sebelum keluar, Bima menoleh kepada Anisa. "Sa, bikinin Papa sama Nak Jordan kopi ya Nak." Suruh Bima kepada Anisa karena Amira sudah pergi ke kamarnya bersama dengan Rahma. Anisa yang mendengar perintah papanya mau tidak mau menganggukan kepalanya. Anisa berjalan ke dapur dan membuatkan kopi untuk papanya berserta calon kakak iparnya. "Biarkan malam ini aku yang membuatkan kamu kopi sebelum nanti Kak Amira yang akan menyuguhkan kopi untukmu setiap hari." Ucap Anisa sambil membawa nampan yang berisi dua kopi dan juga sepiring kacang untuk cemilan. Kemudian dia mengantar kacang beserta kopi yang ada di nampannya kepada papa dan juga calon kakak iparnya. "Pah, ini." Anisa memberikan segelas kopi dan piring yang berisi kacang kepada papanya. Tapi saat dia ingin memberikan kopi kepada Jordan, dia merasakan panas di tangannya. Hingga hampir menjatuhkan kopi panas itu Jika tidak ada tangan Jordan yang membantu menahan gelas yang dia pegang. Deg! Anisa merasa detak jantungnya menggila ketika tangannya tidak sengaja di sentuh oleh Jordan. Anisa sadar ini tidak benar, dia segera meletakkan gelas kopi milik Jordan keatas meja. Kemudian tanpa permisi dia langsung pergi. Jordan yang melihat keanehan pada diri Anisa sedikit mengerutkan keningnya. Sedangkan Bima yang melihat kebingungan Jordan mengenai sikap Anisa yang pergi begitu saja tersenyum tipis. "Papa itu memiliki dua anak perempuan yang usianya tidak beda jauh. Tapi mereka berdua itu memiliki sikap dan sifat yang berbeda. Seperti yang kamu lihat, Anisa memang begitu. Dia itu pemalu dan juga irit bicara jika bertemu orang yang belum terlalu dia kenal. Berbeda dengan Amira yang ceria dan ramah kepada semua orang. Jadi jangan kaget ketika melihat sikap Anisa yang seperti itu." Terang Bima. Dia sudah tahu persis bahwa anak keduanya memang tidak bisa bersentuhan dengan lawan jenis. Karena Anisa begitu sangat menjaga dirinya. "Saya paham kok, Pa. Karena perempuan memang seharusnya menjaga pandangan kepada lawan jenisnya." Entah kenapa Bima merasa aneh ketika mendengar jawaban Jordan. Ketika Jordan dan juga Bima tengah sibuk bermain catur, Anisa malah sibuk melamun di samping rumahnya. "Kak, maafin aku. Aku tidak bisa menahan perasanku. Tapi aku janji, aku tidak akan merebut dia darimu, meski aku menginginkannya menjadi milikku. Karena yang sudah menjadi milikmu akan tetap menjadi milikmu, aku janji." Anisa menundukkan kepalanya sambil memeluk kedua lututnya dan menangis sesenggukan. Biarkan saja Jordan dan Papanya mengira dia tidak sopan Karena langsung pergi setelah meletakkan kopi diatas meja. Dari pada menjatuhkan air matanya di depan Papa dan calon kakak iparnya, mending dia di cap buruk oleh mereka. "Jika takdirku sudah kau atur, bisakah aku meminta hapus saja rasaku kepada calon kakak iparku itu? Aku tahu dia tidak akan pernah menjadi milikku. Berharap kepadanya itu hanya akan meninggalkan luka, tapi melupakannya aku sendiri tidak sanggup." Anisa mengatakan dengan pelan. Dia tidak mau semakin hanyut dalam perasaan yang tidak akan pernah bisa dia dapatkan dalam hidupnya. Anisa sadar dia tidak akan pernah bisa merengkuh Jordan kedalam pelukannya. Bahkan untuk bermimpi memiliki lelaki itu di hidupnya saja dia tidak berani. "Andai lelaki bisa di bagi seperti aku yang selalu membagi milikku kepada kakakku, mungkin rasa sakit ini tidak akan terasa semenyakitkan seperti sekarang." Entah dari mana pikiran seperti itu muncul di diri Anisa, yang pasti Anisa sekarang sedang tidak baik-baik saja karena perasannya ini. "Bukan cinta yang membuatku seperti ini, tapi kebutaan yang membawaku sampai ketitik ini. Aku terus memaksa meminta hatimu meski aku sadar bahwa hatimu milik kakakku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN