Copet

1126 Kata
Hingga suatu hari, ada kesialan—dan sedikit keberuntungan—di jalanan. Rutinitas yang selama beberapa bulan ini dijalani Sherin memang terasa monoton, tapi ia menikmatinya sebagai sebuah latihan kesabaran. Pagi-pagi buta, ia akan berbaur dengan lautan manusia lain, berpindah dari bus ke angkutan kota, dari Tangerang Selatan menuju kampusnya di Depok. Perjalanan itu adalah pengingat hariannya akan tujuannya: mandiri. Ya, Baba dan Aminya tak akan membelikannya mobil sampai ia lulus dengan prestasi gemilang. Sebuah aturan yang bukannya mematahkan semangat, malah menjadi pemacu. Ia sudah punya rencana. Gaji dari pekerjaan intelnya yang lumayan, ditambah uang jajan bulanan dari Baba, sedang ia kumpulkan. Sedikit lagi, mungkin tahun depan, ia sudah bisa membeli mobil kecilnya sendiri. Jadi, perjalanan panas dan berdesakan ini hanyalah fase yang harus ia taklukkan. Namun, hari itu berbeda. Bukan hujan yang menjadi masalah, melainkan kelengahan. Saat turun dari bus yang padat di terminal bayangan Lebak Bulus untuk menyambung angkutan berikutnya, ia merasakan sebuah senggolan yang sedikit terlalu keras dari seorang pria yang bergegas melewatinya. Awalnya ia tak peduli. Tapi sepersekian detik kemudian, insting intelnya yang tertidur langsung berteriak waspada. Tangannya secara otomatis meraba tas selempangnya. Terasa lebih ringan. Ia membukanya. Benar saja. Dompetnya hilang. Darahnya seketika mendidih. Bukan karena nominal uang di dalamnya, tapi karena pelanggaran privasi dan rasa diremehkan. Matanya yang terlatih langsung memindai kerumunan. Di sana, sekitar dua puluh meter di depannya, ia melihat pria tadi—berjaket kusam dan topi—sedang berjalan cepat, nyaris berlari, mencoba menghilang di antara lalu lalang orang. Tanpa berpikir dua kali, Sherin langsung beraksi. Lupakan citra mahasiswi pendiam. Lupakan didikan Gontor yang menyuruhnya menjaga sikap. Saat itu, yang ada hanyalah insting seorang agen lapangan. "COPET!" teriaknya, lebih untuk memberi sinyal pada dirinya sendiri bahwa perburuan telah dimulai. Ia menerobos kerumunan, gerakannya lincah dan efisien. Ia tidak berlari membabi buta, tapi dengan perhitungan, mencari celah di antara para pejalan kaki. Pria itu menoleh ke belakang, melihat Sherin mengejarnya, dan langsung panik. Ia mempercepat larinya, mencoba menyeberang jalan. Di saat yang bersamaan, di tepi jalan, Daniel baru saja menyalakan mesin motor retro-classic hijau zaitunnya. Ia hendak berangkat ke kampus saat perhatiannya teralihkan oleh teriakan dan keributan kecil. Ia melihat seorang gadis yang wajahnya familier—gadis pendiam dari fakultasnya—sedang berlari kencang mengejar seorang pria berpenampilan lusuh. Sesuatu yang sangat tidak terduga. Rasa penasaran dan sedikit jiwa kepahlawanan membuatnya mengurungkan niat untuk tancap gas. Ia justru mengamati arah lari si pencopet. "Mau lari ke mana dia?" gumam Daniel pada dirinya sendiri. Melihat si pencopet hendak menyeberang ke arah gang sempit di seberang jalan, Daniel dengan cepat memutar stang motornya. Dengan satu raungan mesin, ia melesat, bukan untuk mengejar, tapi untuk memotong jalur pelarian. Sherin, yang hampir kehabisan napas, terkejut saat melihat motor hijau itu tiba-tiba berhenti di mulut gang, secara efektif memblokir jalan si pencopet. Si pencopet yang panik mencoba berbalik arah, tapi Sherin sudah berada tepat di belakangnya. Dengan satu gerakan cepat yang ia pelajari di pelatihan, ia menyandung kaki pria itu hingga tersungkur. "Dompet gue!" bentak Sherin sambil berdiri di atas pria yang terjatuh itu, napasnya terengah-engah. Pria itu, kaget karena dijatuhkan oleh seorang mahasiswi, dengan gemetar mengeluarkan dompet dari sakunya dan melemparnya ke tanah sebelum akhirnya bangkit dan lari terbirit-b***t ke arah yang berlawanan. Sherin memungut dompetnya, memeriksanya sekilas, lalu menatap ke arah pengendara motor yang kini sudah membuka helmnya dan menatapnya dengan campuran antara syok dan kekaguman yang luar biasa. "Gila!" ucap Daniel, matanya membelalak. "Lo... Sherin, kan? Anak Akuntansi? Sejak kapan anak FEB punya jurus bantingan kayak di film action?" Napas Sherin masih memburu, adrenalin masih memompa kencang di seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah, antara karena lelah dan sedikit malu karena aksinya barusan disaksikan oleh orang yang paling ia perhatikan di kampus. "Cuma kebetulan," jawabnya singkat, mencoba terdengar santai. Daniel tertawa keras. "Kebetulan? Tadi itu keren banget! Gue kira lo bakal nangis atau teriak minta tolong. Ternyata malah ngejar sendiri. Udah, daripada lo pingsan di sini kehabisan tenaga, mending gue anterin ke kampus." Tawaran itu datang begitu saja, lahir dari sebuah momen kacau yang mereka hadapi bersama. Kali ini, tak ada lagi keraguan di hati Sherin. Didikan lama tentang mahram dan batasannya seolah menguap bersama adrenalin. Ia hanya mengangguk. "Boleh. Makasih banyak udah bantuin." "Santai. Tim yang solid kita," canda Daniel sambil menyerahkan helm cadangannya. Perjalanan di atas motor kali ini terasa sangat berbeda. Tak ada lagi kecanggungan. Yang ada hanyalah sisa-sisa adrenalin dan rasa kemenangan. Sherin, tanpa sadar, berpegangan lebih erat pada jaket denim Daniel saat motor itu melaju kencang. Ia bahkan bisa merasakan dirinya tersenyum di balik kaca helm. "Serius, tadi itu gokil banget," teriak Daniel melawan angin. "Gue jadi penasaran, cewek kayak lo kok bisa diem-diem aja di kampus?" "Mungkin karena nggak ada yang nyopet di kelas," balas Sherin, sebuah candaan yang keluar begitu saja dan membuat dirinya sendiri kaget. Daniel kembali tertawa. "Pantesan! Keturunan Adhiyaksa emang energinya disimpen buat yang penting-penting aja ya? Punya ilmu bela diri rahasia keluarga, heh?" Lagi-lagi, Sherin membeku. Kali ini lebih karena cara Daniel mengatakannya. Bukan seperti sedang menggosip, tapi seperti sedang melempar lelucon antar teman. "Kok... kamu tahu lagi?" tanyanya, nadanya kini lebih penasaran daripada kaget. "Sher, Sher," kata Daniel sambil melirik dari spion. "Lo itu 'rahasia umum' paling menarik di angkatan kita. Lo pikir lo bisa anonim? Tante lo yang artis, Dina, itu kan tiap Lebaran pasti posting foto keluarga besar. Muka lo nongol di situ, walau cuma sekilas. Terus, pas Tante Fasha lo dilantik suaminya jadi pejabat, lo juga ada di barisan belakang kan? Zaman sekarang, nggak ada yang bisa sembunyi." Daniel sengaja tidak menyebutkan posisi suami Tante Fasha-nya yang sebenarnya. Ia tidak mau membuat Sherin semakin tidak nyaman. "Terus kenapa kalian semua... diam aja?" "Bukan diam!" sergah Daniel. "Segan! Lo itu paket komplit yang bikin bingung. Cucu konglomerat, keluarga pejabat, tapi naik bus, diem aja, nggak banyak gaya. Orang-orang jadi mikir, 'Ini orangnya sombong apa gimana, ya? Mending jangan deketin, deh, daripada salah'. Lo itu kayak artefak langka di museum, semua orang pengen liat, tapi nggak ada yang berani nyentuh." Penjelasan itu, yang disampaikan dengan gaya bercanda di tengah deru angin, terasa seperti sebuah pencerahan. Jadi selama ini, ia bukan dianggap aneh. Ia dianggap sebagai sebuah artefak. Motor itu akhirnya tiba di gerbang universitas. Mereka turun, masih dengan sisa-sisa tawa dari obrolan tadi. Saat Sherin mengembalikan helmnya, ia menatap Daniel dengan tatapan yang sepenuhnya baru. "Makasih ya, buat hari ini. Buat semuanya," ucap Sherin tulus. Daniel tersenyum, senyumnya yang khas. "Sama-sama. Kapan-kapan, kalau ada yang nyopet lagi, telepon gue aja. Biar kita kejar bareng." Sherin tertawa. Tawa lepas pertamanya di hadapan Daniel. Hari itu, ia sadar, permainannya telah berubah. Ia bukan lagi sekadar pengagum rahasia dari gadis pendiam. Berkat sebuah kesialan di jalanan, ia kini adalah partner-in-crime yang menarik di mata Daniel. Dan itu terasa jauh lebih seru. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN