Buta Arah

1422 Kata
Khumaira tak tenang menunggu waktu berjalan. Ia masih tak ingin semua hal terjadi begitu saja. Khumaira mau menduduki takhtanya sendirian, tanpa pendamping. Meraih apa yang memang miliknya dengan tangan dan usaha sendiri tanpa melibatkan satu orang pria, apalagi sebagai suami. Langkah Khumaira konstan sepuluh gerakan maju, balik kanan dan terus begitu berulang. Khumaira biasanya nyaman di ruangannya, mengulang hafalan atau mencetuskan banyak ide lain yang bisa dilakukannya. Namun, Khalid Wandawarma membuatnya resah. Khumaira mengalihkan rasa tak nyaman itu dengan membawa langkah keluar, menuju atap lalu memetik beberapa bunga dari rumah kaca di sana. Khumaira lalu mendatangi kamar ayah ibunya. Ragu-ragu akan mengetuk pintu Khumaira terpaku di depan koridor yang lenggang. Dulu ia sering takut menjumpai Latifa Bakrie. Berhari-hari Khumaira memikirkan topik apa yang harus mereka bicarakan jika hanya berdua saja. Kini pun Khumaira tak tahu apa yang ia inginkan dengan mengunjungi kedua orang tuanya. Hanya saja, Khumaira tak bisa sendirian dengan pikirannya yang banyak, itu tak baik bagi penyakitnya. Hati-hati jemarinya mengetuk kayu pintu kamar ayah ibunya. “Abati ...! Ummi....!” Panggil Khumaira pelan. Ia sudah dewasa untuk tahu apa saja yang mungkin dilakukan ayah ibunya dalam bilik pribadi mereka. Namun, jika memang Khumaira mengganggu, tentu ia bisa berbalik arah dan mengunjungi Khairan sebagai teman bicara lainnya. Khumaira hampir berbalik kanan saat Bintang Abimayu muncul di muka pintu yang terkuak. “Ada apa, Saleha?” Khumaira refleks memberikan bunga. “Untuk Ummi.” Bintang membuka pintu lebih lebar lalu menyilakan putrinya masuk. “Kau bisa memberikannya sendiri.” Khumaira pun masuk. Berdebar perasaannya saat mendekati ibunya yang berdiri dekat jendela memandang halaman belakang Kastil yang menyambut Isya. Tak ada indikasi kalau Khumaira mengganggu malam mereka. “Ummi.” Sosok anggunnya berbalik. Senyum singkat, menyimpan sendu. Selalu, aura melankolis yang lamban, bersahaja dimiliki ibunya. Ifa kemudian menerima saat Khumaira menyodorkan bunganya. “Kau membuatku harus memikirkan hadiah balasan, Saleha.” Khumaira tersenyum juga, mencair ketegangan semula oleh gurau sarkasme Ifa. “Khumaira tak meminta balasan, Ummi. Kudengar Ummi punya banyak pelamar, dulu. Apa Ummi juga gugup saat menghadapi mereka?” Latifa Bakrie melihat ke belakang Khumaira, tempat suaminya duduk berselonjor kaki dari atas tempat tidur. “Aku selalu gugup di dekat pria.” “Termasuk Abati?” “Terutama Abati,” Ifa menekankan. Apalagi kini, saat ia menyimpan Khalid sebagai rahasia sendiri. Ifa terbebani, selalu merasa gugupnya dipenuhi rasa bersalah kepada Bintang. Ifa lalu memperhatikan bunga yang Khumaira berikan. “Aku tahu kau hanya tidak suka Khairan karena dia lebih daripada dirimu, tapi kau punya sisi lain, Khumaira.” Khumaira tidak pernah tidak menyukai Khairan. Pria muda jenius itu adiknya. Khumaira pernah menenangkan tangisnya saat bayi, bahkan pernah membuatnya terjatuh dan terluka beberapa kali. Rasa bersalah sesekali kadang Khumaira rasakan atas masa lalunya bersama Khairan. Khairan memang lebih baik daripada Khumaira, itu bukan kesalahan dan hal memalukan untuk diakui, tapi bukan berarti Khumaira membenci Khairan atau tidak menyukainya. Sulit bagi Khumaira untuk menerka inti kalimat ibunya, yang kelas jika ia memahami dengan otak sendiri, maka kesannya negatif saja. Khumaira lalu berbalik kepada ayahnya sebentar, “Abati, bisa kau terjemahkan apa maksud Ummi? Khumaira takut salah pemahaman jika mengartikan sendiri.” Bintang tergelak lalu mendekati mereka. Berada di antara dua wanita yang paling berharga di hidupnya. “Intinya sama, kau tidak harus menikah karena ingin menduduki takhta Abinaya. Khairan bukan sainganmu.” Khumaira tak pernah merasa, apalagi mengakui kalau dirinya bodoh. Pun, yakin sekali ia bahwa bukan begitu maksud ayah dan ibunya. Khairan jelas adalah saingan terbesar Khumaira. Saat usia Khumaira 19 tahun, Khairan yang lima tahun sudah pandai membaca dan memahami isi teks bacaannya, menghafal setengah Al-Qur’an dan bersikap tak sesuai usianya. Orang-orang langsung menantikan Khairan tumbuh daripada menguji kemampuan Khumaira sebagai pemimpin perusahaan. “Tapi itulah syarat yang Abati katakan.” Bintang menjelaskan pelan-pelan, “Ummi bilang, kau bisa memisahkan pernikahan dengan takhta. Kau bisa menikah dengan pria tidak sempurna dan bahagia. Selanjutnya kau bisa meraih takhtamu. Khairan masih perlu setidaknya tujuh tahun lagi sebelum bisa ditunjuk sebagai pewaris.” Khumaira tak punya cinta untuk diperjuangkan lagi. Baik itu pria sempurna ataupun penuh cacat, Khumaira rasa ia tak akan memiliki kisah romansa bahagia percintaan, setelah dikecewakan oleh Rahman Kalukalima. Namun, takhtanya di depan mata. Jika kesempatan ini tak digunakan, Khairan akan semakin memukau semua orang. Itu tidak bisa dibiarkan Khumaira. Ia tak ingin tenggelam sebagai pewaris istimewa yang hanya dikenang nama. Khumaira ingin dirinya jadi pelopor, penggerak bagi pewaris perempuan yang mungkin terlahir juga nantinya. Khumaira yakin ia lebih kuat, dengan status dan kesempatan yang sama dari pewaris pria. “Permisi! Tuan, Nyonya, Anda kedatangan tamu.” Bintang tersenyum sementara Ifa tampak ragu-ragu. Khumaira sendiri menghela napas, “Aku tak suka ini. Dia yang ke sembilan belas, Ummi?” “Kalau kau mau menolaknya, dia yang ke dua puluh jika memasukkan Rahman Kalukalima sebagai nama pertama yang ditolak.” “Kau benar-benar berharap dia menolaknya,” timpal Bintang atas reaksi istrinya. Ifa hanya bergidik bahu. “Aku perlu menunjukkan kalau aku juga teguh pendirian.” Bintang tertawa atas balasan istrinya. Sementara itu Khumaira tak nyaman akan hadirnya nama Rahman. “Kalian pergi dulu,” ujar Ifa menghentikan langkah. “Aku belum memakai jilbabku.” Khumaira terus melangkah ke pintu. “Belum Isya . Abati bilang mereka akan ikut makan malam.” Bintang mengecup kepala Ifa, “Kau tidak perlu malu dengan kisah pertemuan pertama kita. Aku suka mendengar Bagas mengulang hari itu.” Khumaira menunggu di pintu. Mengamati romansa singkat ibu dan ayahnya. Ia sangat terbiasa diabaikan, sampai rasanya Khumaira bisa paham apa yang harus dilakukannya saat suasana sudah kembali normal. Khumaira hanya perlu mengulang kalimatnya supaya ayah ibunya tak merasa canggung. “Mereka akan salat di sini, Abati?” “Kami akan ke masjid tentu saja.” Khumaira mengangguk paham. “Kau gugup?” tanya Bintang menutup pintu, meninggalkan Ifa dengan kegiatannya. “Sejujurnya.” “Sekali ini kau gugup. Padahal saat Rahman melamarmu kau sama sekali tidak gugup, Saleha. Apa yang membuat pria buta arah ini berbeda?” Ketegangan Khumaira berkurang setelah kalimat ayahnya yang menggelitik. “Abati, dia tidak mungkin buta arah.” “Khalid memang tidak buta arah. Dia menetap lama di luar negeri, baru kembali sepekan kemarin. Tiga hari setelah bertemu denganmu, ayahnya meminta jamuan makan malam. Pria buta arah tidak akan sejelas itu.” Khumaira tak menyangkal juga. “Yah, kubilang dia memang cocok dengan namanya.” “Kau bisa menolaknya. Tetapi, kau juga bisa membuatnya menunggu beberapa waktu sampai kau yakin untuk menerima atau menolaknya.” “Apa bedanya pria ini dengan pelamar sebelumnya, Abati?” tanya Khumaira terus terang. Ia punya perasaan kalau Khalid Wandawarma satu-satunya pria yang melamar Khumaira yang Bintang Abimayu pertimbangkan sebagai menantu. Entah karena faktor usai Khumaira atau reputasinya yang makin dijelek-jelekkan orang atau memang karena individu pria itu sendiri. “Kau tidak akan suka kalau aku mempertimbangkan pendapat Khairan, bukan?” Khumaira merengut. Sudah jelas sekali Khairan punya kesan positif terhadap Khalid. “Kurasa dia pasti kuat untuk menggendongmu.” Khumaira mengalihkan wajah karena malu. Sementara Bintang terus berceloteh tentang pendapatnya. “Jujur saja, kau sering tertidur sembarangan, Saleha. Perasaanmu juga, kadang tidak terduga suasana hatinya. Jika pria yang tidak kuat fisik atau mudah terpancing suasana, rumah tangga kalian tidak akan bertahan lama.” Bintang menelisik putrinya, “Kau menamparnya hari itu?” Khumaira terkejut. Rasanya tak mungkin Khalid membongkar rahasia pertemuan mereka. Namun, jika begitu, Khumaira sudah punya cukup alasan untuk menolak lamarannya. Bintang tersenyum atas reaksi putrinya, “Arthur memberitahuku sebelum berakhirnya pesta Sofie.” Khumaira menggigit bibir, menahan semua kesalnya atas mulut Arthur Bakrie yang tak bisa ditutup menjaga rahasia. Bintang mengangguk sendirian. “Dia tidak mengatakan satu hal pun tentangmu. Termasuk tentang kau yang memukul Rizal Seroseja.” Khumaira panik. “Bagaimana Abati tahu tentang itu juga?!” “Arthur memberitahuku juga,” jawab Bintang tenang. Khumaira diam seribu bahasa menuruni tangga bersama ayahnya. Ia dikenal anggun, baik hati seperti Latifa Bakrie. Dua kejadian yang disebutkan ayahnya sudah cukup sebagai bukti bahwa Khumaira jauh berbeda dengan ibunya itu. “Saleha, jika Abati bertindak seperti Khalid, maka Abati pria yang sangat baik.” “Khumaira tidak mengatakan Khalid itu buruk.” “Lalu?” Khumaira menghela napas. “Abati, pewaris Abinaya hanya mencintai satu selamanya.” “Kakekmu tidak. Abati juga tidak.” Khumaira menghentikan langkah, menatap serius pada sosok ayahnya, “Siapa yang dicintai Tuan Abimayu selain Nyonya Rani?!” Bintang tak memberi jawaban yang putrinya inginkan. “Abati pernah mencintai Hanifa Haris. Sangat mencintainya sampai menyakiti Ummi. Kau tahu, Abati menikahi Latifa Bakrie tanpa melihat seperti apa dia sebelum ijab qabul diucapkan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN