Bab. 1 - Sebuah Keputusan

1681 Kata
Bertahanlah dengan orang yang bisa menghargaimu. Dan pergilah dari orang yang tak bisa menganggap berharga perjuanganmu untuknya... - Linda - *** "Mas, kamu pakai uang tabunganku?" "Iya kupakai dulu. Nanti kuganti." "Buat apa? Bukannya kamu juga ada tabungan sendiri?" "Ada keperluan mendadak. Tabunganku juga kepakai semua." "Tapi masa tabunganku kamu ambil diam-diam nggak konfirmasi dulu?" "Kenapa sih? Kan uangmu uangku juga?! Jangan perhitungan jadi istri. Ingat, yang biayai kamu makan, beli baju, dan lain-lain itu suamimu. Apa salahnya kamu bantu aku sesekali?!" Batin Linda tergores dengan ucapan suaminya barusan. Memang benar, selama ini makan adalah pemberian dari Aditya. Tapi, uanh yang dikumpulkan Linda bukanlah berasal dari nafkah yang semestinya diberikan oleh Aditya. Sepeser pun Linda belum pernah menerima uang pemberian sang suami semenjak menikah. Hanya mahar mereka saja senilai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Hampir enam tahun Linda menahan sengketa batinnya sendiri. Ia terus mengalah demi mempertahankan biduk rumah tangga. Tak ingin egois dan malah makin merusak segalanya. "Ada apa ini? Kalian ribut lagi?" Hartatik menghampiri anak dan mantunya. Ia tak tahan mendengar teriakan Aditya yang lumayan terdengar sampai dapur belakang. "Ini Buk, uang Linda kupakai dulu malah protes." "Owalah. Uang yang kamu kasih ke Ibuk buat tambahan renovasi rumah tadi pagi? Aduh, Linda, kamu kayak gitu aja kok perhitungan banget. Bantu mertua sesekali kenapa sih? Lagian uangmu juga nggak seberapa kan? Dibanding biaya hidupmu tinggal di sini. Harusnya kamu bersyukur." Celotehan menyakitkan dari Hartatik membuat jiwa Linda tergunjang. Bukan karena hinaan yang menyayat tanpa ampun. Ia sudah biasa menerima perlakuan macam ini. Hanya saja, mengetahui kalau uang tabungannya juga ludes untuk biaya perbaikan rumah yang bukan miliknya sendiri, rasanya hati Linda hancur berkeping-keping. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Keuangan selama ini didominasi suami dan mertuanya. Sampai-sampai ia tak bisa leluasa dengan uangnya sendiri. Itu adalah sisa uang dari hasil pencairan BPJS Ketenagakerjaan yang ia dapat setahun lalu setelah berhenti kerja. Jumlahnya pun lumayan, sekitar hampir sepuluh jutaan. Bagi Linda itu sebuah pencapaian yang baik. Namun, semua menjadi sia-sia belaka. Aditya terlalu egois. Ditambah mertuanya yang suka ikut campur urusan rumah tangga putranya. Linda semakin tertekan dan stres. Ia marah tapi tak bisa berkata apa-apa. Wanita itu memilih masuk kamar dan mengunci pintu. Ia terduduk lemas di tepian tempat tidur. Menahan tangis yang akhirnya tumpah juga. Dari luar sayup ia mendengar obrolan suami dan mertuanya yang kasak-kusuk. "Istrimu itu loh, kok baperan sekali jadi orang. Perhitungan pula sama keluarga sendiri. Mbok ya dinasihatin jangan gitu. Nggak baik pelit sama keluarga sendiri." "Iya, Buk. Nanti biar saya tegur. Namanya juga Linda memang begitu." "Haduh, Ibuk nggak paham sama pilihanmu dulu. Sudah bagus-bagus ada Lastri, anak perawan lurah yang mau sama kamu. Eh, malah milih si Linda yang kayak gitu. Lihat saja itu, tiap ngambek pasti langsung mengurung diri di kamar. Memangnya dipikir ini rumah nenek moyangnya apa?!" "Sudah Buk, jangan emosi. Ingat kesehatan jantung Ibuk. Masalah Linda biar jadi urusan saya," tukas Aditya. Pria itu tak tahu atau memang sengaja membiarkan Linda mendengar percakapan mereka. Merasa dirinya paling hebat dan menganggap Linda tak tahu diri. Sudah tinggal menumpang masih saja banyak maunya. Begitu pikir Hartatik selama ini. Padahal ia juga yang melarang putranya dan Linda mengontrak rumah. Alasannya karena mau Aditya menabung saja buat beli rumah daripada buat bayar biaya sewa. Padahal, faktanya mungkin agar Hartatik leluasa mengontrol keuangan anak sulungnya itu. Maklum saja, dua adik Aditya masih bersekolah di bangku menengah atas. Mereka masih butuh biaya tambahan. Sementara Hartatik hanya bisa mengandalkan jualan rujak uleg, rasanya kurang memungkinkan. Ditambah, anak keduanya sebentar lagi mendaftar kuliah. Pasti butuh biaya lebih besar. Ia memang tergolong orang desa, tapi tak mau anak-anaknya sekolah hanya tamat sampai SMA. Hartatik itu ambisius. Ia senang mendengar pujian kalau berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai jadi sarjana. Jadi, akan lebih mudah mendapatkan calon istri atau suami dari bibit beber bobot yang baik nantinya. Ia punya dua orang putra dan seorang putri yang paling bungsu. Bedanya, Hartatik selalu membedakan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Pikirannya masih kolot. Ia mau Aditya dan Rendi jadi sarjana dan kerja kantoran. Lalu bebas memilih pendamping hidup. Sedangkan untuk Kenanga, ia berniat setelah lulus sekolah mau menjodohkannya saja dengan anak kades di daerahnya. Padahal, Kenangan masih ingin mengecap bangku kuliah penerbangan. Cita-citanya ingin menjadi seorang pramugari. Dengan begitu ia bisa bebas pergi ke mana pun ia suka, tanpa harus lelah mendengar aturan-aturan dari ibunya yang egois. Memang sejak suami Hartatik tiada, wanita paruh baya itu menjadi berubah drastis. Mengukur semua dari materi semata. Menekankan anak-anaknya untuk bisa hidup mandiri dan menghasilkan banyak uang. Dan menyokong keluarganya satu sama lain. Aditya ke luar untuk cari angin. Sedangkan Hartatik kembali ke dapur. Saat itulah Kenanga muncul dari balik persembunyiannya. Sejak tadi rupanya ia menguping mereka di balik tirai pembatas ke arah ruang tamu. Gadis manis berkulit sawo mentah itu pun mengendap, diam-diam menghampiri kamar Linda. Ia mengetuk perlahan. "Mbak, ini Kenanga..." ucapnya sepelan mungkin. Linda terkejut. Ia bergegas mengusap air matanya. Kemudian membuka pintu. Dan mempersilakan adik iparnya masuk. "Masuk, Dek." Kenangan menggeleng. "Ke warung Mbok Parmi yuk, Mbak? Kita minum es dawet sambil makan siomay di sana." "Tapi aku lagi nggak berselera, Kenanga." "Justru itu. Kalau di rumah terus malah suntuk. Sudah ayok, aku traktir Mbak Linda deh," rayunya. Akhirnya Linda pun menuruti. Keduanya berjalan mengendap setelah Linda mengambil cardigan dan menutup pintu pelan-pelan. Mereka boncengan naik motor. "Mau ke mana kalian?!" seru Aditya memergoki mereka. "Kepo deh, Mas. Urusan perempuan ini," balas adiknya. Lalu langsung tancap gas. Setiba di warung Mbok Parmi, keduanya memesan menu kesukaan seperti biasa. Kenanga memang masih sangat muda. Tapi, pikirannya kadang lebih dewasa dari kakak-kakaknya. Ia bisa memahami perasaan tertekan kakak iparnya. Selama ini, Linda memang jarang curhat ke teman-teman dekatnya. Ia malu bila harus menceritakan ketidakharmonisan rumah tangganya. Dan selain di atas sajadah, hanya pada Kenanga ia biasa berkeluh kesah. Itu pun jika Kenanga yang bertanya lebih dulu. Sembari menunggu pesanan, keduanya bercakap-cakap. Pemandangan persawahan di sekeliling area warung menjadi penjernih mata mereka. Setidaknya, bisa sedikit mengusir kepenatan batin Linda. "Maafin kelakuan ibu dan masku ya, Mbak? Aku malu sebetulnya. Tapi nggak bisa berbuat apa-apa." "Sudahlah, ini bukan masalah yang bisa dihadapi gadis semuda kamu, Kenanga." "Tapi, Mbak. Aku juga perempuan. Apa mereka nggak khawatir ya sama aku? Gimana kalau karma dari perbuatan buruk mereka ke Mbak Linda nantinya datang ke aku? Memang keterlaluan banget!" "Kamu harus ingat satu hal, Kenanga. Perbuatan baik akan selalu dibalas baik. Begitu pun sebaliknya. Jadi, jangan cemaskan soal karma. Itu nggak ada. Yang ada hukum alam atau balasan setimpal, jika kita mungkin benar-benar punya kesalahan." "Aku heran sama Mbak. Kok kuat banget sih masih bertahan sama masku?" "Sebetulnya sudah nggak kuat. Tapi dikuat-kuatin. Rumah tangga kan memang ada aja cobannya." "Tetap saja, Mbak, itu nggak adil. Menurutku, Mbak Linda berhak mendapatkan kebahagiaan dan kenyaman juga. Seorang perempuan dinikahi bukan untuk disakiti kan, Mbak? Kalau suami nggak bertanggung jawab dipertahanin buat apa? Nyusahin hati sendiri." Perkataan Kenanga memang tepat. Linda memilih mengalihkan pandang ke hamparan persawahan. Berusaha menetralisir perasaannya sendiri. Pertanyaan dalam kalbunya masih sama, bisakah ia bertahan dengan luka yang tak kunjung sembuh? Mampukah ia bertahan di antara keruhnya masalah dalam rumah tangga? Belum ada jawaban yang bisa Linda temukan. "Pergilah jika ingin, Mbak. Aku nggak tega lihat Mbak Linda terus diperlakukan begini. Keluargaku nggak akan bisa berubah sampai kapan pun. Mbak Linda pasti tahu itu." Linda kembali tertegun dengan ucapan adik iparnya. Bahkan Kenanga lebih bisa mengerti isi hatinya ketimbang dirinya sendiri. Mungkin, Linda terlalu menutup mata selama ini. Membiarkan dirinya diinjak oleh ketidakadilan. "Aku bingung, Kenanga." "Mbak ingat nggak pernah ngasih satu nasihat ke aku. Bertahanlah dengan orang yang bisa menghargai kamu. Dan pergilah dari orang yang tak memandang perjuanganmu. Aku sampai sekarang masih terngiang. Mbak Linda lupa?" Lagi-lagi batin Linda disadarkan pada kenyataan. Seumpama ia menelan ludah sendiri, mengabaikan petuah sendiri. Bukan tanpa dasar Kenanga memberi nasihat demikian. Ia sudah menyimpa sesuatu dari Linda. Menyembunyikan keburukan kakaknya demi menjaga perasaan Linda. Kenanga tahu dan pernah melihat dengan mata kepala langsung, kalau Aditya sudah mengkhianati Linda. Namun, ia bungkam seribu bahasa. Ia pun tak tega melihat Linda diperlakukan tak adil di rumahnya. Mbok Parmi datang mengantarkan sepiring siomay untuk masing-masing. Segelas es cendol sudah sejak tadi di antar ke meja. Linda mrngaduk dan mencampur bumbu kacang bersama saus dan kecap. Diikuti oleh Kenanga. Baru dua suap ia menyantap hidangan, tiba-tiba Aditya lewat. Yang mencenangkan adalah, pria itu sedang membonceng Lastri. Bahkan dua tangan Lastri melingkar intens di perut suami Linda. Jelas saja Linda tak terima. Ia berdiri dan ingin mencegat, tapi tak sempat. Kenanga hanya bisa menarik napas saja. "Nggak usah kaget, Nduk. Suamimu itu sudah jadi omongan di sini. Sering jalan berdua sama Sulastri. Padahal sudah punya istri cantik dan baik, masih saja nggak puas. Manusia itu memang egois ya?" seloroh Mbok Parmi. Linda memang pernah dengar desas-desus tak mengenakan itu. Ia sudah bertanya pada sang suami secara baik-baik. Dan Aditya menyangkal. Mengatakan semua hanya gosip belaka. Linda awalnya percaya. Tapi entah kenapa, sekarang ia kembali meragu. Kenanga menarik lengan Linda untuk kembali duduk. Ia pun sudah membulatkan tekad dan menceritakan kebenaran yang ada. Dilengkapi dengan bukti-bukti yang sengaja ia simpan dalam galeri ponsel. Betapa hancur lebur jiwa Linda saat itu. Suami yang selama ini ia perjuangkan. Rumah tangga yang ia jaga. Dan kesabaran yang ia berikan. Semua malah dibalas kepahitan belaka. Linda bahkan sudah tak lagi bisa menangis. Hatinya seketika mati rasa. Menjelang pukul sembilan malam, Aditya baru pulang. Ia ke kamar dan menemukan Linda duduk di pinggiran tempat tidur. Tak hanya itu, satu koper dan dua tas besar teronggok di dekatnya. "Ada apa ini? Mau ke mana kamu?" tanya Aditya dengan wajah santai. Seolah tak ada kecemasan sama sekali. "Aku mau balik ke rumah orang tuaku, Mas." "Nginap di sana? Berapa hari?" "Aku nggak akan kembali ke sini lagi." "Maksudmu?" "Aku sudah tahu semua, Mas. Tentang kamu dah Lastri." Barulah Aditya terlihat khawatir. Sepintar apapun menyimpan bangkai pasti akan tercium juga baunya. Begitu pepatah yang tepat untuknya saat ini. "Terus kamu mau apa?" tanyanya menantang. Memang dasarnya sifat Aditya selalu egois dan keras kepala. Tak pernah mau atau merasa bersalah sama sekali. "Aku mau kita pisah, Mas." &==Simpanan==&
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN