2. Ahnyeong, Seoul!

1431 Kata
3 tahun kemudian. Seorang wanita pergi dari satu rumah ke rumah lainnya, dari satu gedung apartemen satu ke gedung apartemen yang lain. Wanita itu mengantarkan s**u dan juga koran pagi ke setiap rumah, dengan menggunakan motor merah milik toko s**u. Tersenyum cerah kepada semua orang yang menyapanya, bersikap ceria di hadapan semua orang. "Thankyou." Seorang remaja berterimakasih kepada wanita itu. Wanita itu balas tersenyum lalu pamit pergi, itu adalah unit terakhir yang ia kunjungi. Setelah semuanya selesai, ia kembali ke motornya. Mengemudi pelan menuju toko s**u untuk mengembalikan roda dua itu. “Annyeong, Jeje!” seru seorang wanita yang berpapasan dengan wanita itu di depan apartemennya. "Annyeong!" sapa wanita yang dipanggil Jeje itu tersenyum ceria. Setelah mengantarkan s**u dan koran di pagi hari, ia akan kembali ke apartemennya dan tidur. Lalu ia akan terbangun jam 9 pagi untuk bekerja di toko bunga. Wanita itu tengah menata sebuah bunga untuk seseorang. Toko bunga ini adalah milik salah seorang yang menghuni apartemen yang sama dengan dirinya. Tetangga sebelahnya. Karena ia tidak bisa menjaganya, makanya wanita itu menawarkan diri untuk bekerja di toko bunga ini. Tetangganya yang bernama Choi Subin menerimanya dan akhirnya ia mulai bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Wanita itu senang bisa menghabiskan waktu di sini, ia menyukai bunga. Menyibukkan dirinya dengan merangkai bunga untuk orang orang yang ingin memberikan hadiah kepada seseorang yang berharga. Ia juga mempelajari arti arti dari beberapa bunga, supaya ia bisa memberikan rekomendasi kepada pelanggannya. Merawat bunga bunga dengan sangat telaten, membersihkan toko. Semuanya ia lakukan dengan senang hati, hingga waktu terasa sangat singkat. “Khamsahamnida!” seru wanita itu kepada seorang pelanggan yang baru saja membeli bunga. [Terimakasih.] Wanita itu menoleh ke arah jam di dinding, sebentar lagi Subin Eonni (kakak) akan ke toko dan ia bisa pulang. “Jeje~ya!” Seorang wanita dengan gaya modis masuk ke dalam toko, wanita itu tersenyum lebar kepada karyawannya. “Eonni wasseoyo?” [Kakak sudah datang?] “Eoh. K-kau biisa phuulang,” ujar Subin eonni dengan Bahasa Indonesianya yang terbata-bata. “Terimakasih. Sampai jumpa besok.” Si pegawai tersenyum lebar sebelum pamit pulang. Dari toko bunga, wanita itu naik bus menuju sebuah restoran di daerah Itaewon. Resto and Bar dengan konsep homming. “Eoh, wasseoyo? Palli! Thaamu bhanyak!” Lagi-lagi atasan wanita itu mengatakan Bahasa Indonesia dengan terbata. [Iya, aku datang. Cepatla! Banyak tamu.] “Arraseoyo! Arrasseoyo!” [Baiklah! Baiklah!] Wanita yang baru datang itu bergegas masuk ke dalam. Tugasnya sebagai pelayan di mulai. Ia akan mencatat menu, membersihkan meja, menyiapkan air putih dan khimchi, memotong daging dan menyiapkan panggangan. Terkadang ia juga akan membantu mencuci piring jika pekerjaan ahjuma yang bertugas menumpuk. Setelah bekerja di restoran, wanita itu akan bekerja di supermarket 24 jam milik G25. Ia bekerja shif malam. “Nde, khamsahamnida!” seru wanita itu kepada pelanggan minimarket yang datang membeli ramen. [Iya, Terimakasih.] Kejadian itu terus berputar selama hampir 3 tahun. Hidup wanita itu berubah semenjak ia meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke negara ini. ***** Jeva menghirup udara pagi di kota yang menjadi tempat tinggal barunya hampir selama 3 tahun ini. Sebuah negara yang sejarahnya cukup rumit, dimana terjadi pergulatan antara Utara dan Selatan. Sampai detik ini, bagian negara itu di bagi menjadi 2 bagian. Selatan dan Utara. Seoul. Korea Selatan. Kota yang menjadi saksi bisu kesedihan wanita itu atas hidupnya yang berakhir tragis. Wanita itu pergi ke Korea 3 tahun yang lalu. Setelah kepergian sahabat tercintanya yang pergi untuk selama-lamanya. Lalu tak cukup dengan rasa sakit kehilangan, ia juga mendapat kabar bahwa pria yang di cintainya mengalami kecelakaan dan berakhir dengan koma. Flashback On. Jeva baru saja tiba di rumah atapnya. Ia baru saja pulang dari tempat pemakaman Belva, sahabatnya. Wanita itu tidak ingin kembali ke apartemen. Ia memutuskan akan kembali tinggal di rumah atapnya. Lalu banyak pesan muncul di ponselnya, belum sempat ia melihat ponselnya. Ketukan di pintu yang cukup nyaring membuatnya menghentikan niat untuk mengecek ponselnya. Ia berjalan menuju pintu dan kemudian membukakan pintu untuk tamunya. “Denta?” Jeva terlihat kaget saat melihat Denta berdiri di hadapannya. Padahal pria itu baru saja mengantarnya pulang. “Kenapa kembali ke sini?” tanyanya kemudian. Mungkin saja ada barangnya yang tertinggal di mobil pria itu. “Jev, aku punya kabar buruk,” ujar Denta pelan. Jeva menatap ekspresi tak tenang di wajah Denta. Juga sikapnya yang aneh dan terkesan bingung mau mengatakan apa. “Ada apa? Semuanya baik-baik saja ‘kan?" tanya wanita itu saat menyadari ada sesuatu yang terjadi. "Daska mengalami kecelakaan," ucap Denta menatap Jeva prihatin. "Apa?" Jeva kaget tentu saja. "Ta, jangan bercanda." Wanita itu menolak untuk percaya. "Barusan aku mendapat kabar dari orangtua Daska. Dia mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju pemakaman adikku. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju ke Amerika," jelas Denta panjang lebar. "Maksudmu?" tanya Jeva tak mengerti. "Kecelakaan yang terjadi sangat parah. Sehingga harus di bawa ke Amerika untuk pengobatan yang lebih baik lagi. Peralatan di Indonesia belum cukup mumpuni dan orangtua Daska ingin yang terbaik untuk anaknya." Denta berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Jeva hanya diam di tempatnya. Ia bingung harus mengatakan apa. Mereka berdua hanya diam dan saling menatap satu sama lain. Flashback Off Itu adalah kali terakhir Jeva mengetahui kabar dari Daska karena beberapa hari kemudian ia memutuskan untuk resign dari perusahaan dan memilih untuk pulang ke kampung halamannya. Bertemu dengan orangtua dan adiknya, kemudian meminta izin karena ia akan pergi dari Indonesia. Orangtua Jeva awalnya enggan untuk memberikan ijin, tetapi mengetahui kejadian yang menimpa putri malangnya, pada akhirnya mereka mengijinkan Jeva pergi. Mungkin dengan pergi jauh dari Indonesia, bisa membantu Jeva untuk melupakan rasa sakit di hatinya. Namun hari berganti, minggu, bulan dan bahkan tahun. Hati Jeva masih perih jika mengingat kejadian di masa lalu. Ingin sekali ia memblokir otaknya untuk tidak mengingat masa itu, tetapi tidak bisa. Ingatan itu terus muncul dan muncul hingga menjadi mimpi buruk untuknya. Jeva sangat menderita dengan kejadian tersebut. Ia juga memutuskan untuk tidak menghubungi siapapun termasuk Denta. Ia hanya berhubungan dengan orang tua dan adiknya. Selama di Korea, ia tinggal di sebuah apartemen mini yang ia sewa selama 3 tahun ini. Ia bekerja paruh waktu di restoran, toko bunga, menjadi pengantar s**u dan lain sebagainya. Mengisi harinya dengan melakukan berbagai macam pekerjaan. Ia hanya pulang ke rumah untuk tidur dan makan, selebihnya ia habiskan untuk bekerja. Briena tengah duduk di sebuah meja kecil di depan supermarket korea. Ia duduk bersama teman Indonesianya, mereka tidak sengaja bertemu saat Jeva melamar sebagai pekerja paruh waktu di supermarket. "Kau tidak ingin bekerja di perusahaan? Bukankah dulu saat di Indonesia kau bekerja di perusahaan besar," celoteh wanita bernama Elsa. Wanita itu tengah makan ramyeon dengan kimchi. "Aku tidak tertarik. Aku menyukai pekerjaanku yang sekarang," sahut Jeva tersenyum tipis. "Cih, pekerjaan mana yang kau maksud?" cibir Elsa. "Kerja di supermaket shift malam, kau selalu pulang jam 4 pagi. Lalu jam 9 pagi kau harus menjaga toko bunga sampai jam 3 sore. Setelah itu kau masih harus bekerja di restoran sampai jam 9 malam. Jam 12 bekerja di supermarket lagi dan begitu seterusnya. Tubuhmu tidak lelah melakukan hal itu setiap hari?" omelnya panjang lebar. Jeva meraih kopi dingin di depannya lalu meneguknya perlahan. "Kalau tubuhku tidak lelah, hatiku yang akan lelah," ujarnya lirih. Elsa menatap Jeva dalam diam. Ia tahu kalau wanita yang duduk di hadapannya saat ini memiliki masalah yang besar, namun ia tidak tahu apa masalahnya karena Jeva tidak pernah bercerita. Meskipun sudah saling mengenal selama 3 tahun, ia belum tahu apa-apa tentang Jeva. Wanita itu terlalu tertutup. "Jika sakit fisik, aku bisa mengobatinya dengan beristirahat. Tapi jika hatiku yang sakit, aku tidak bisa melakukan apapun selain merasakannya," imbuh Jeva tersenyum tipis lalu kembali meneguk minuman pahit di tangannya hingga tandas. "Mungkin karena kau belum menemukan obatnya," ujar Elsa pelan. "Terkadang, obat dari rasa sakit adalah rasa sakit itu sendiri. Atau mungkin kau perlu seseorang yang bisa kau jadikan tempat untuk berbagi rasa sakit itu," imbuhnya kemudian. "Seseorang?" "Hehm. Aku punya banyak oppa-oppa korea yang tampan dan kaya raya. Aku akan mengenalkan mereka padamu. Oke?" Elsa berseru senang, ia berhasil membuat Jeva tertawa. Iya. Jeva tertawa. Wanita dingin yang dulu lebih memilih menutup diri itu sudah tidak sama lagi. Ia akan tertawa jika senang, menangis jika sedih. Ia sudah terbuka kepada temannya barusan, kecuali masalah yang 'itu'. Ia tidak akan menyendiri dan menyimpan perasaannya seorang diri. Ia tidak akan bertindak sok hebat dengan melakukan semuanya sendiri. "Maaf karena tidak bisa bercerita," ujar Jeva pelan. "Tidak masalah. Aku ini orang yang setia. Kau bisa melakukannya saat kau sudah siap," celoteh Elsa tersenyum menenangkan. "Terimakasih." Jeva tersenyum tulus. Ia bersyukur karena bisa bertemu dengan Elsa di Korea.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN