Hari pertama Rani tinggal di rumah, semuanya berjalan biasa—setidaknya di mata Ayu. Namun, bagi Arga, suasana rumah terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Saat makan malam, Ayu sibuk berbicara tentang rencana pekerjaannya esok hari. Rani duduk di seberang Arga, sesekali mengangguk sambil tersenyum mendengar cerita kakaknya. Tapi sesekali, mata mereka bertemu. Tatapan Rani terasa seperti pesan diam-diam yang hanya mereka berdua mengerti.
"Mas, kamu kok diam aja? Capek, ya?" tanya Ayu tiba-tiba, membuyarkan pikiran Arga.
Arga tersentak. "Ah, enggak kok. Cuma lagi mikir kerjaan."
"Oh, iya. Besok aku ada lembur di kantor. Kamu enggak apa-apa kan kalau aku pulang agak malam? Rani juga ada di rumah, jadi enggak usah khawatir," ujar Ayu sambil melirik adiknya.
Rani tersenyum tipis. "Tenang aja, Mbak. Aku bakal bantu jaga rumah."
Arga hanya mengangguk, meskipun hatinya mulai gelisah.
---
Malam itu, setelah Ayu masuk ke kamar lebih dulu, Arga memutuskan untuk mengambil air minum di dapur. Saat ia membuka pintu dapur, ia mendapati Rani sedang berdiri di sana, mengaduk segelas s**u.
Rani menoleh, matanya berbinar saat melihat Arga. "Mas belum tidur?"
Arga mengangguk pelan, mencoba menghindari tatapan Rani. "Cuma mau minum."
Rani tersenyum, lalu menyerahkan gelas susunya. "Ini aja, Mas. Aku buat terlalu banyak."
Arga ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima gelas itu. "Makasih."
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Rani bersandar di meja dapur, menatap Arga yang tampak gelisah.
"Mas, kenapa kayaknya Mas selalu menghindar kalau aku di dekat Mas?" tanyanya tiba-tiba.
Arga mengangkat wajah, kaget dengan pertanyaan itu. "Aku enggak menghindar."
Rani mendekat, langkahnya pelan. "Tapi Mas kelihatan enggak nyaman. Apa karena kejadian malam itu?"
Arga menghela napas, mencoba menjaga jarak. "Rani, aku udah bilang, kita harus lupain itu. Kita keluarga, enggak boleh ada yang aneh-aneh."
Namun, Rani tetap menatapnya, matanya berbicara lebih dari sekadar kata-kata. "Mas, aku tahu ini salah. Tapi perasaan itu enggak bisa diatur, kan?" bisiknya.
Arga merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Dia ingin menjauh, tapi tubuhnya seakan membeku di tempat. Rani berdiri begitu dekat, dan wangi lembut dari tubuhnya kembali menyerangnya, seperti malam itu di dapur.
"Rani, tolong... jangan begini," ucap Arga dengan suara bergetar, mencoba menahan diri.
Namun, sebelum ia sempat melangkah mundur, Rani menggenggam tangannya. "Mas... aku cuma mau jujur. Aku—"
"Rani!" suara Ayu tiba-tiba terdengar dari arah lorong, membuat keduanya terpaku.
Rani dengan cepat melepaskan tangannya, sementara Arga melangkah mundur dengan gugup. Ayu masuk ke dapur dengan wajah mengantuk. "Kalian ngapain malam-malam di sini?" tanyanya sambil menguap.
Arga mengangkat gelas di tangannya. "Ambil minum. Udah, aku ke kamar dulu," ujarnya cepat, lalu pergi meninggalkan dapur tanpa menoleh.
Rani hanya berdiri di sana, tersenyum tipis sambil menatap kakaknya. "Aku juga mau tidur, Mbak."
Namun, di dalam hatinya, perasaan itu semakin sulit ia kendalikan. Dan Rani tahu, ini baru permulaan.
Keheningan malam kembali menyelimuti rumah itu. Arga berbaring di tempat tidur, namun matanya terjaga. Pikiran tentang Rani terus mengganggu, menari-nari di kepalanya. Setiap detik yang berlalu, hatinya semakin berat, semakin penuh dengan keraguan.
Ayu yang sudah tertidur di sampingnya tampak tenang, tak tahu apa yang terjadi di dalam hati suaminya. Arga menatap wajah istrinya, tetapi wajah Rani—senyuman, tatapan, bahkan getaran lembut saat tangan mereka bersentuhan—selalu kembali menghantui pikirannya.
Pagi berikutnya, setelah sarapan, Ayu keluar rumah lebih awal karena ada rapat penting. Rani dan Arga hanya saling melirik di meja makan, masing-masing terbungkus dalam ketegangan yang tak terucapkan.
Rani memulai percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Mas, aku bantu-bantu beres-beres rumah ya?"
Arga hanya mengangguk sambil menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. "Enggak perlu. Aku bisa sendiri."
Rani tersenyum tipis, seolah tahu Arga sedang menghindar. "Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya, Mas. Ada yang mau aku ambilkan?"
"Enggak usah, Rani," jawab Arga singkat, masih tidak menoleh padanya.
Namun, Rani tidak pergi begitu saja. "Mas, aku ngerti kamu lagi enggak nyaman. Tapi aku... aku cuma pengen kita baik-baik aja, enggak ada yang aneh," katanya, suaranya lembut namun penuh makna.
Arga menatapnya, mata mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Arga ingin mengabaikan perasaan yang tumbuh dalam dirinya, tapi setiap detik bersamanya, semakin sulit baginya untuk tidak merasakannya.
"Rani..." Arga mulai membuka mulutnya, tapi kata-kata itu terasa berat, terjebak di tenggorokannya.
Rani melangkah mendekat, memecah keheningan. "Aku enggak mau bikin kamu bingung, Mas. Aku cuma mau jujur sama diri sendiri. Aku enggak bisa terus-terusan ngerasain ini dan pura-pura biasa aja."
Arga merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Jujur, Rani. Apa maksudmu?"
Rani menatapnya dalam-dalam, wajahnya serius. "Aku... aku suka sama Mas, Mas Arga."
Hati Arga seperti dihantam petir. Kata-kata itu keluar dari bibir Rani dengan begitu mudah, sementara Arga merasa dunia seakan runtuh.
"Rani, ini... salah," jawab Arga, suaranya hampir tak terdengar. "Kamu adik ipar aku, kita enggak boleh... seperti ini."
Namun Rani hanya menggelengkan kepala pelan. "Aku tahu, Mas. Tapi ini perasaan yang enggak bisa aku hindari. Aku enggak bisa terus hidup dalam kebohongan."
Arga berdiri, langkahnya cepat dan tegas, mencoba menjauhkan dirinya dari Rani. "Kita enggak bisa. Ini enggak bisa diteruskan, Rani. Kita harus berhenti sebelum semuanya terlambat."
Namun, Rani tidak mundur. "Aku sudah siap, Mas. Kalau kamu juga merasa sama, kenapa kita harus saling menipu?"
Perasaan Arga semakin kacau. Semua yang ada di dalam hatinya terasa berlawanan. Ia tahu ini salah, tapi di sisi lain, dorongan itu begitu kuat. Rani telah membuat semuanya menjadi rumit.
"Jangan buat aku makin bingung, Rani," kata Arga, suaranya hampir pecah. "Kita harus berhenti sekarang, atau ini akan menghancurkan semuanya—keluarga kita, hubungan kita. Jangan sampai kita menyesal."
Rani menunduk, namun matanya tidak kehilangan keteguhan. "Aku cuma pengen Mas tahu... aku enggak bisa berhenti merasa ini."
Arga menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa dunia seperti berputar terlalu cepat. "Aku harus pergi," katanya, lalu melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Rani dengan perasaan yang terpendam.
Rani hanya bisa berdiri di sana, sendirian, bertanya-tanya apakah semua yang mereka rasakan ini akan berakhir begitu saja, atau justru malah menjadi awal dari kehancuran yang lebih besar.
Arga melangkah keluar rumah, mencoba mengatur napasnya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah bumi menahannya, membuatnya ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Pikiran tentang Rani terus menghantui, mengisi setiap sudut benaknya.
Ia berhenti sejenak di taman depan rumah, menatap langit yang mulai berubah warna, tanda malam akan segera tiba. Kepalanya berdenyut, dipenuhi perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa Rani harus muncul dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga?
Namun, satu hal yang jelas, Arga tidak bisa terus menghindari kenyataan bahwa ia tertarik pada adik iparnya itu. Setiap sentuhan, setiap tatapan, telah meruntuhkan tembok yang ia bangun untuk menjaga jarak.
Saat ia kembali ke rumah, suasana sudah berbeda. Ayu sudah kembali, sedang duduk di ruang tamu dengan ekspresi cerah, sementara Rani terlihat lebih pendiam dari biasanya.
"Mas Arga, kamu ke mana tadi?" tanya Ayu sambil tersenyum, seolah tidak ada yang terjadi.
Arga hanya mengangguk, mencoba terlihat biasa. "Cuma jalan-jalan sebentar."
Namun, Rani, yang duduk di sudut ruangan, menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. Arga tahu, Rani tahu dia sedang berusaha menghindar, dan itu membuatnya merasa lebih bersalah.
"Mas, kamu kelihatan capek. Aku bikin teh hangat, ya?" tawar Rani, suaranya lembut seperti biasa.
Arga mengangguk cepat, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya ingin bersembunyi dari perasaan yang semakin mendalam itu.
Rani bangkit dan menuju dapur, sementara Ayu masih asyik dengan ponselnya, seolah tak tahu ada ketegangan di antara mereka. Arga menatap Ayu sejenak, merasa cemas. Bagaimana jika Ayu tahu tentang apa yang terjadi? Tentang perasaan yang tak bisa lagi ia sembunyikan?
Setelah beberapa saat, Rani kembali dengan secangkir teh hangat, menyerahkannya pada Arga dengan senyum tipis. "Ini, Mas."
Arga menerima teh itu tanpa banyak bicara, namun hatinya terasa semakin berat. Rani duduk di sebelahnya, hanya beberapa inci saja, dan ada ketegangan yang tak bisa mereka sembunyikan.
"Mas Arga..." Rani mulai lagi, suaranya pelan, hampir bisikan. "Aku enggak bisa terus-terusan nahan perasaan ini. Aku tahu kamu enggak bisa balas perasaan aku, tapi aku enggak bisa hidup dalam kebohongan."
Arga memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. "Rani, ini salah. Kita harus berhenti. Kalau kita terus seperti ini, kita akan menghancurkan semuanya."
"Tapi kenapa kita harus takut, Mas?" Rani bertanya, suaranya mulai lebih tegas. "Kenapa kita harus terus hidup dalam penyangkalan? Aku tahu ini sulit, tapi aku lebih takut kehilangan kesempatan untuk jujur dengan diri kita sendiri."
Arga menatapnya, merasa hatinya dilanda badai. Di satu sisi, ia ingin melangkah mundur, melupakan semuanya. Namun, di sisi lain, perasaan itu begitu kuat, dan ia tak tahu apakah ia bisa bertahan.
Tiba-tiba, Ayu masuk kembali ke ruang tamu, membawa suasana yang berbeda. "Kalian ngomongin apa?" tanyanya sambil tersenyum, tanpa mengetahui bahwa dunia Arga dan Rani sudah berubah selamanya.
Arga tersentak, berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Enggak ada, kok, Mbak. Cuma... ngobrol biasa."
Namun, di dalam hatinya, Arga tahu bahwa percakapan ini hanya permulaan. Dan semakin lama ia berada di dekat Rani, semakin sulit untuk menahan perasaan yang mulai menguasainya.