Selama perjalanan pulang Tasya diam seribu bahasa. Tentu saja Andreas berhutang penjelasan atas kejadian makan siang tadi, dia menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya.
"Indra, kita berhenti dulu di cafe depan." perintah Andreas. Lantas Indra dengan sigap melipirkan mobil dan dengan perlahan memarkirkan mobil.
Andreas memberi isyart pada Tasya untuk mengikutinya masuk ke dalam cafe. Dia melayangkan pandangan ke seluruh cafe dan akhirnya memilih meja di sudut ruang yang lebih sepi dari pengunjung lainnya.
Setelah memesan minuman, Andreas menatap Tasya dalam dalam. "Kamu kalau cemberut lucu ya...gemesin gitu. Tidak seperti Rana, menyebalkan." Tasya mendelik, "Enggak lucu!" sahutnya dan melempar pandangannya ke arah lain.
"Ha..ha...ha...lucu lah...sini aku foto, pasti kamu tertawa melihatnya nanti." belum sempat Tasya menghindar, kamera di ponsel Andreas sudah berhasil mengabadikannya. "Nih...aku kirim ke ponsel kamu, lihat sendiri deh."
Karena penasaran Tasya membuka pesan dari Andreas, dan melihat foto yang dikirim. "Ayolah...kalau mau tertawa jangan ditahan tahan..." gurau Andreas. Mau tak mau Tasya tersenyum melihat wajah cemberutnya yang memang lucu. Mereka tertawa bersama, seakan masalah sudah selesai.
"Eits...kamu hutang penjelasan...aku tidak lupa loh!"
"Ok..ok..I know..." jawab Andreas. Sebelum melanjutkan dia menghirup kopi pesanannya. "Begini, sebelumnya aku minta maaf dulu. Kamu mau memaafkan aku kan?" Tasya diam.
"Tergantung, teruskan dulu ceritanya." Andreas menghembuskan napasnya lalu melanjutkan.
"Sudah beberapa bulan ini mama selalu mendesak untuk menikah. Ditambah kemarin ketika aku bertemu dengan orang tua Rana, mereka berencana untuk menjodohkan kami."
"Lalu...dengan ide gila tadi tujuannya apa?"
"Tujuannya? tentu saja membatalkan rencana perjodohan itu lah.."
"Tapi, kebohongan itu mau sampai kapan? Suatu saat nanti kan kamu akan diminta untuk menikah bukan?" Andreas tertegun mendengar pernyataan Tasya.
"Itu lihat nanti saja dipikirkannya. Yang penting aku aman sampai beberapa bulan kedepan."
"Tidak menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah jika begini caranya. Kamu tidak pikir kalau Rana dapat membocorkan kebohongan kamu?"
"Gampang ...dihadapannya kita bisa berpura pura menjadi sepasang kekasih. Simple bukan?"
Tasya menepuk jidatnya, tak habis pikir seorang Andreas yang katanya sekolah di luar negeri berpikiran seperti itu dalam menyelesaikan masalah. "Trus, bagaimana dengan aku? Kamu tidak pikir kalau kebohongan itu membuat hubunganku dengan pacarku di ujung tanduk?"
"Aku bisa jelaskan padanya, toh ini hanya sementara saja." Kali ini Tasya yang menghembuskan napasnya. "Ya sudahlah, mau diapakan juga. Mau balik lagi juga tidak mungkin bukan?' Anderas bernapas lega mendengar jawaban Tasya, walau ada sedikit perasaan kasihan dan rasa bersalah telah memanfaatkan sekretarisnya ini.
"Ok, kita sekarang membahas kapan dan bagaimana menyakinkan Rana kalau aku dan kamu pacaran."
"Matilah aku sekarang...sebelum ini saja dia juteknya minta ampun, gimana setelah tahu? Jangan jangan minumanku diracuni dia deh..." Andreas tertawa lebar mendengarnya, namun langsung berhenti ketika melihat mimik wajah Tasya yang sedih. "Engak lah..tenang saja, ada aku kok." Ujar Andreas berusaha menenangkan Tasya. Dia meraih tangan Tasya dengan lembut "Sya...boleh kan aku panggil kamu dengan panggilan itu?" Tasya diam saja dan dianggap setuju oleh Andreas.
"Sya, maaf. Aku akan segera menyelesaikan urusan ini dengan keluargaku." Andreas mengikuti dorongan hatinya untuk mendekati Tasya dan duduk di sebelahnya. Jemarinya dengan lembut merapihkan anak rambut di pelipis Tasya.
Hati Tasya tersentuh dengan kelembutan Andreas dimana hal itu hampir tidak pernah dia dapatkan jika dengan kekasihnya, Tedy. Bila dengan Andreas Tasya merasa terlindungi dan aman, berbeda jika bersama dengan Tedy.
"Semoga tidak menjadi masalah lain yang lebih besar lagi saja An..." jawab Tasya yang diikuti dengan anggukan kepala Andreas. Dia yakin mamanya akan berpihak padanya.
Sebelum tidur, Tasya kembali memikirkan peristiwa tadi siang. Dalam benaknya dia yakin kalau perjanjian dengan Andreas akan menimbulkan masalah dirinya dengan Tedy. Namun hati kecilnya berbunga bunga ketika mengingat perlakuan lembut Andreas. Akhirnya Tasya tertidur dengan senyum menghiasi wajahnya.
Dering ponsel menganggu tidur Tasya, memang biasa setiap hari Minggu Tasya bangun lebih siang. "Duhh...siapa sih ganggu orang istirahat aja. Sudah tahu hari ini hari libur juga." gerutu Tasya.
"Halooo...siapa nih, ganggu orang tidur aja." teriak Tasya dengan ponsel di telinganya.
"Setengah jam lagi aku jemput. Siap yah..." mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya, Tasya langsung bangun dan duduk di atas ranjang. "Ted..Tedy? Kamu dimana?"
"Lagi OTW jemput kamu dong. Mau ajak kamu cari sarapan. Kamu enggak kangen yah?"
"Ohh..cepat sekali sudah di Jakarta?"
"Memangnya kamu tidak mau ketemu aku yah?"
"Huh..aku tutup ya...nanti enggak keburu. Bye.." jantung Tasya berdegup kencang. Kembalinya Tedy ke Jakarta seakan menjadi tekanan dalam hidupnya. Rasa itu kembali lagi setelah absen beberapa hari kemarin.
"Aku harus buru buru...kalau telat Tedy pasti marah besar. Mana mau dia nunggu aku lama lama?" ujar Tasya dalam hati dan dengan tergesa gesa masuk ke kamar mandi.
Dengan tergopoh gopoh Tasya keluar dari kamar dan setengah berlari menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Dari kejauhan dilihatnya Tedy sedang duduk gelisah dan langsung berdiri ketika melihat Tasya. Wajahnya sangat garang.
"Gimana sih? lama amat?" Tasya melihat jam di dinding, dan menghitung berapa menit dia terlambat.
"Ampun Ted...baru juga telat lima menit doang. Marah sampai segitunya."
"Kamu kan tahu kalau aku gak suka menunggu. Kamu tuh gak memahami aku siih? Padahal kita sudah pacaran lebih dari tiga tahun loh. Kurang apa coba?"
"Dah deh..jadi pergi tidak nih?" lerai Tasya. Kalau mau mengikuti kata hati Tasya mau berteriak juga karena jengkel, tapi ditahan karena hal itu bukan membuat Tedy semakin murka.
"Jadi dong." sahutnya dan berjalan keluar pintu utama menuju mobilnya diikuti Tasya dari belakang.
Di dalam mobil, Tedy memutar radio yang memutar lagu lagu santai sehingga membantunya menurunkan emosi.
"Kamu ngapain saja selama aku pergi Sya?"
"Emm...biasa saja, ke kantor."
"Kemarin Sabtu kamu kemana? enggak hubungi aku?"
"Cuma belanja saja di toko buah depan."
"Bener nih? gak kemana mana?" selidik Tedy
"Gak percaya ya sudah..." sahut Tasya berusaha mengatur napasnya. Dia mulai gugup takut Tedy tahu kalau dia pergi dengan Andreas.
"Aku percaya kok...kan aku sayang kamu.." ucap Tedy mesra dan memegang tangan Tasya lalu mengecupnya. Tasya reflek menariknya "Awas...kamu lagi nyetir nanti nabrak loh." alasan Tasya
"Tenang...aku kan pembalap Hahahahaha" Tedy tertawa geli
"Pembalap cap toge kali..."
Yah, begitulah hubungan mereka berdua, sebentar bertengkar sebentar lagi kembali normal. Namun ada satu yang mengganjal hati Tasya, yaitu emosi Tedy yang sulit dikontrol. Jika sedang marah tak segan segan main tangan, sudah beberapa kali wajah Tasya babak belur akibat tamparan atau tonjokan Tedy. Namun setelah itu Tedy akan memohon padanya untuk dimaafkan. Dan parahnya lagi Tasya tidak kuasa untuk tidak memaafkannya.