Skandal Komunitas Rahasia : Elite Student

983 Kata
Seminggu berlalu Devan bersekolah di Cortex dan tak ada masalah berarti baginya. Sekarang ini dia memperhatikan meja-meja kantin, berharap ada tempat yang kosong. Matanya lalu tertuju ke meja yang terletak di sudut dan seorang perempuan yang duduk sendirian di sana. "Boleh aku duduk disini?" tanya Devan kepada Sinta teman sekelasnya, yang sudah makan lebih dulu. Sinta mengangguk. "Tentu saja." Devan menatap sekeliling, beberapa orang melihatnya bergantian, namua saat Devan balas melihat, orang itu mengalihkan pandangannya. "Aku mulai merasa risih. Dari tadi, semua orang menatapku," celetuhnya. "Itu karena kau tampan dan kaya. Kau orang kaya baru bukan?" Pertanyaan Juita membuat Devan tersenyum canggung. Itu terdengar masuk akal tentang tampan. Tetapi kaya? Tidak, itu tidak benar. "Ah... kalau begitu pikiran mereka, mereka akan kecewa berat. Aku bukan orang kaya baru. Bukan orang kaya malah. Ada kejadian yang membuatku bisa bersekolah disini." "Kejadian?" tanya Sinta, sedikit terkejut. Sangat sulit untuk masuk kelas unggulan bagi orang yang biasa-biasa saja. Maka dia percaya, Devan pasti punya otak yang luar biasa. Devan tidak mengindahkan pertanyaan itu, dia takut kalau semuanya terbongkar dan dia harus berurusan dengan Edward. "Diantara semua orang di kelas, kau, Andi dan teman sebangkumu yang paling pendiam," gumam Devan suatu waktu memecah keheningan setelah mereka menyeruput minuman mereka. "Rein?" Sinta memperjelas siapa yang Devan maksud dengan ‘teman sebangkumu’ Devan mengangguk, dia baru seminggu pindah jadi belum mengenal semua nama mereka, tepatnya, masih tertukar-tukar. "Ya, aku dan Rein memang seperti itu. Kami bisa dibilang berada di strata menengah ke bawah di kelas." "Strata menengah ke bawah? Apa itu?" "Seperti inilah hukum di sekolah ini. Semakin kaya kamu, maka semakin kau mudah dalam menjalankan hidup sebagai seorang murid. Untungnya kami berdua bisa pintar, tidak pintar-pintar amat sih. Cuma setidaknya kami bisa bertahan meski dengan mati-matian belajar meski harus tersiksa hidup diantara orang-orang kaya yang mau berteman dengan jenis mereka." Devan tertawa kecil, mengingat apa yang terjadi di sekolahnya dulu. Dia pernah berpikiran seperti itu, semua orang yang dikatakan miskin merasa canggung karena mereka miskin. Padahal, tidak ada yang memikirkannya, selagi kau mau berteman maka bertemanlah. "Apa yang lucu?" Devan terbangun dari lamunannya. "Hmm... mungkin kalian hanya salah paham. Sebelum kesini aku juga seperti itu dulu." Dengan wajah mengernyit, Sinta menatap Devan tajam. "Pikiranmu salah. Para orang kaya itu membentuk sebuah komunitas demi lolos di perguruan tinggi yang mereka impikan," katanya berbisik. Memastikan suaranya tak sampai ke meja sebelah yang dipenuhi perempuan-perempuan yang tertawa seperti para kuntilanak tukang gosip. "Komunitas?" "Ya, Elite Student, nama komunitas itu. Ini tidak sesederhana yang kau pikirkan Dev." “Apa mereka jahat?” “Tidak. Tetapi, mereka tahu ini kejahatan.” "Apa Aeera juga termasuk dalam Elite Student itu?" Sinta mengangguk. "Edward, Aeera, Chasandra, Arabelle, Andi, Angela juga Alex." Seketika mata Devan membulat sempurna. "Setelah kau mengetahui kenyataan ini, kau hanya akan berpikiran untuk lulus tanpa perlu melakukan apa pun bukan? Karena itu, diamlah di kelas." "Apakah kita harus memberitahukan guru tentang perbuatan mereka?" Sinta menggeleng. "Kau mungkin sudah salah paham, yang bermain dibalik Elite Student adalah orang tua. Mereka membuat suatu perkumpulan untuk memanipulasi segalanya. Demi mempertahankan kekuasaan, kepemilikan saham, kerjasama tersembunyi, akuisisi, merger dan lainnya. Kasus ini hanyalah masalah kecil bagi mereka." Suasana diselimuti atmosfer menegangkan. "Edward bersikap seolah dia memang cerdas. Aeera merasa bahwa dia telah melakukan segalanya dengan baik. Chasandra, dia bersikap seperti siswa standar lainnya, tetapi dia yang terpilih menerima beasiswa di luar negeri tanpa siswa yang lain tahu bahwa kategori seperti apa yang diterima beasiswa itu, bahkan papan pengumuman beasiswa itu tidak pernah terpampang di papan pengumuman. Arabelle dan Alex, kamu pikir dia layak masuk peringkat lima besar? Mereka bahkan sering mengikuti lomba secara diam-diam. Lalu Andi, dia satu-satunya yang tidak pandai ber-akting. Padahal, kalau dia mau, dia punya derajat yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Karena itu, aku mendengar bahwa secara sembunyi-sembunyi sekolah mengirimnya untuk lomba antarnegara karena dia cukup mahir bahasa Inggris. Orang tuanya mungkin akan membuatnya kuliah di luar negeri nanti." “Tunggu dulu—tetapi mereka orang kaya, apa uang mereka tidak cukup untuk menguliahkan anak mereka tanpa jalur tes. Kalau mereka melakukan itu di Cortex harusnya mereka juga—” “Citra itu penting,” sela Sinta yang langsung mengerti apa yang dikatakan Devan. “Mereka akan mengeluarkan banyak uang hanya untuk mempertahankan citra bahwa anak mereka memang cerdas Dev. ‘Pemilik perusaahan A punya anak cerdas, dia seperti ayahnya.’  Apa kau tak bangga dengan kalimat-kalimat semacam itu?” Tubuh Devan seketika mematung. Tangannya bergetar, apa yang dikatakan Sinta semuanya masuk akal dalam pikirannya. "Bagaimana dengan Septian, dia kan peringkat dua?" "Septian adalah korban. Salah satu cara sekolah menutupi skandal adalah dengan meraih salah satu siswa peraih beasiswa cerdas masuk ke dalam peringkat tiga besar umum. Agar semua orang berpikir semuanya baik-baik saja. Mengorbankan satu anak untuk tujuh anak bukan masalah besar. Kau sudah mengikuti dua ujian harian semenjak berada di sekolah ini. Tidak kah kau pernah berpikir mengapa hasil ulangan kita tidak pernah dibagikan?" "Bukannya agar tidak terjadi diksriminasi?" "Omong kosong. Mereka berkata seperti itu dan kebanyakan siswa menyetujuinya. Siapa yang ingin hasil ujiannya dilihat banyak orang? Diksriminasi, mereka menjadikan itu sebagai alasan agar mereka mampu menjalankan itu sendiri. Tetapi kadangkala hasilnya dibagikan sih, cuma nilai Bahasa tapi." "Selain Septian, apa aku dan kau juga..." "Pikirkanlah, mengapa aku mengajakmu berbincang seperti ini.” Sinta berujar. “Tolong kau rahasiakan ini kepada siapa pun. Aku percaya padamu, karena jika Septian sampai tahu dia tidak akan segan-segan untuk mendatangi ruangan Kepala Sekolah,” sambungnya. "Tunggu dulu Sin. Darimana kau tahu semuanya?" tanya Devan merendahkan suaranya. Sinta menoleh. "Karena aku pernah menjadi bagian dari mereka," katanya terakhir kali sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Devan yang masih dirundung pertanyaan. Devan diam mematung. Speechlees. Laki-laki itu terus melamun dalam perjalanan kembali ke kelas. Perjalanan terasa begitu lama. Suatu hal merasuki pikirannya membuat semuanya kini benar-benar terasa masuk akal, apa Edward dan keluarganya hanya memanfaatkan dirinya? Aku harus berontak! Tidak, Sinta telah memberikan kepercayaan kepadaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN