dulu tertatih tatih

1379 Kata
* Seiring kepergian Novita, kubalikkan badan menuju ke kamar namun ketika aku menghadap cermin di depan bufet lebam di sudut bibirku sangat nyata terlihat bekasnya. Meski ditutupin dengan bedak, atau dengan berbagai alasan, tetap luka itu terlihat sebagai bekas tamparan. Memalukan sekali! Untungnya, setelah kepergiannya malam kemarin, pria licik itu meminta Kopral Hendra untuk menungguiku siuman dan mengantarku pulang. Yang membuat sedih adalah mengapa Mas Yadi tidak Iba sedikitpun melihatku tersungkur dan berdarah, sebaliknya ia melenggang santai meninggalkanku bersama simpanannya. Pantaskah seorang istri yang sudah mendampingi dari susah dan tertatih-tatih hingga bisa sukses seperti sekarang, ditinggal begitu saja, terkapar pingsan bersama seorang ajudan? ** Pukul dua siang, "Bu, apakah Ibu ada rencana minggu ini?" tanya Mbak Novita setelah memberi hormat, sekembalinya ia dari Kodim. Sebenarnya aku harus memanggilnya adik, tapi karena tidak enak dan menghargainya aku menyebut dia Mbak, meski usia dia lebih muda. Dia pun sebenarnya tak perlu harus selalu melayani dan menemaniku, namun karena etika pada istri atasan maka dia tak masalah dengan itu, dan aku sangat mensyukurinya. "Kenapa malah bertanya seperti itu, seharusnya kamu memberitahu saya apa yang sudah terjadi di sana," balasku sambil tertawa kecil. "Saya dengar ada perdebatan alot antara penyidik dan Pak Yadi, beliau menyanggah keras tuduhannya, dengan berbagai alasan," ujar Novita. "Sungguhkah?" "Beliau menyanggah keras, dengan mengatakan bahwa ini hanya rekayasa ibu untuk mengajukan gugatan perceraian."Tentu saja penuturannya membuatku mendadak pusing. "Bagaimana mungkin dia bisa berbohong seperti itu sementara bukti-bukti sudah jelas di depan mata," gerutuku, aku gusar sekali pada Mas Yadi. "Namun, karena bukti-bukti yang jelas memberatkan beliau, sehingga dampaknya argumen pembelaannya tidak terlalu ditanggapi positif." "Lalu apa hukumannya?"Aku tidak sabar menunggu. "Sepertinya akan disidang dulu, Bu. Ibu sabar saja, oh ya saya dengar, ada keriuhan juga karena ibu tekah melapor langsung ke pangdam." Mendengarnya aku hanya membuang nafas kasar. Aku tahu aku sudah 'melompati pagar' dengan langsung menemui pangdam, harusnya aku menemui Komandan Resort, menghubungi ajudan beliau, atau berkonsultas dengan istri Danrem, namun apa daya, sudah kepalang terjadi. "Lantas kenapa tidak langsung dijebloskan ke tahanan?" "Entahlah, Bu, mungkin menunggu bukti diselidiki dulu, disamping itu Bapak juga punya pengaruh yang besar bagi anggota dan beberapa staf, ibu tahu sendiri kan terkadang melapor tidak semudah yang kita bayangkan, apalagi kalo orang yang kita laporkan punya kinerja bagus," jawabnya. "Iya, juga ...." Aku mendesah lemah Agak menggerutu diri ini dalam hati namun sebaiknya aku bersabar, sembari mencari cara lain. Mungkin menemui istri atasannya akan sedikit membantu laporan ini berjalan mulus sesuai rencana, apalagi aku sudah mengenal beliau dan beberapa kali bertemu dan saling menyapa dalam acara resmi. Beliau juga pernah memberiku sebuah penghargaan atas bakti telah memberdayakan masyarakat desa, jadi kuyakin beliau pasti akan mengingat namaku. "Baik, Mbak Novita, bisa bantu saya untuk mengatur jadwal pertemuan dengan Ibu Danrem?" "Saya akan usahakan, Bu," jawabnya. "Katakan saja, bahwa saya bersedia menunggu keluangan waktu beliau untuk mengunjunginya, sekaligus mengantar laporan kegiatan organisasi cabang," ujarku. "Baik, Bu." "Terima kasih," ujarku sambil tersenyum. ** Malam hari, Aku dan kedua anakku bergabung di meja makan dan menikmati hidangan yang tersaji. Aku senang karena malam ini, mereka mau turun dan makan malam denganku. "Hai, Ma," sapa kedua anakku yang langsung menarik kursi mereka dan duduk. Mereka terlihat ceria, setelah berhari-hari sibuk dengan les tambahan yang menguras tenaga dan waktu mereka, bahkan hingga hari menjelang petang. Biasanya sekembalinya dari kegiatan mereka yang padat, Imelda dan Siska akan langsung beristirahat di kamar mereka. "Tumben, nih, gak pada diet?" godaku. "Gak, Ma, kita usah rindu aroma ayam panggang resep Mama," jawab si Sulung. "Oh, kalo begitu ayo makan, Sayang," kataku sambil menyendokkan nasi ke piring mereka." "Oh ya kita sekarang jarang ketemu Papa, ya Ma," keluh Siska, tak dipungkiri anak bungsuku cukup dekat dan manja pada Papanya. "Mungkin, sibuk Sayang," ujarku sambil menyendokkan sayur dan lauk dan lauk ke piringnya. "Bukannya tidak ada operasi atau penugasan ke luar daerah, Papa di mana sih?" Si Bungsu makin penasaran. "Biar kutelpon untuk memintanya pulang," ujarnya sambil bangkit meraih ponsel ke kamarnya. "Eh, gak usah, sebentar lagi juga datang, kok, lagipula ini juga salah kalian, tiap kali papa pulang, kalian udah tidur," kataku sambil menahan lengannya dan menyuruhnya duduk. Aku khawatir ketika Siska menelepon malah Kartika yang akan mengangkatnya. Aku khawatir anakku akan syok dan mentalnya terganggu, inilah yang menyebabkan aku masih belum siap memberi tahu mereka yang sebenarnya, ditambah lagi Senin depan adalah ujian semester mereka. "Dengar Nak, Mungkin banyak tugas dan urusan lain yang harus ditangani Papa, kalian tahu kan, kalo Papa adalah abdi negara," kataku sambil tersenyum. "Jangan-jangan Bapak kawin lagi," celetuk si sulung sambil ketawa membuat Siska memberengut dan meletakkan sendoknya dengan kasar. Aku kaget mendengarnya, namun senyumku akan mengalihkan kegugupan ini. "Kamu nggak boleh bilang gitu, Kak, nanti pamali." Adiknya menasehati. "Gimana kalo benaran?" ujar si sulung. "Apaan sih, aku gak percaya papa tega seperti itu," kata si bungsu sambil menggeleng. "Ish, bisa jadi papa kan ganteng dan berwibawa, berduit juga," jawab si Kakak. "Sudah ... Sudah, yuk dilanjutin makannya," ujarku menengahi, "gak usah bahas hal yang aneh-aneh." "Tapi aku merasa ... bahwa feeelingku kuat Ma," ujar Imel. "Gak Kok, Sayang." Aku mengulas senyum tipis," lapipula kalo benar, kalian masih punya Mama, dan kita akan lanjutkan hidup kita." "Oh ya, Ma, daripada ngomong ngalir ngidul sama Kakak sebaiknya aku usul kita libur ke peternakan, yuk," ajak Siska. "Iya, Ma, Sabtu ini tanggal merah, aku juga mau ke kampung cari udara segar," timpal kakaknya. "Oke, gak masalah, tapi Minggu sore pulang ya, soalnya Mama ada kerjaan," jawabku. "Idih Mama, udah kayak pegawai negeri aja," timpal Siska dan kami tertawa renyah. Biarlah untuk sementara ini, aku akan membawa mereka ke peternakan untuk mengalihkan dari isu pertengkaran dan perselingkuhan Papanya hingga aku siapkan mental untuk bicara pada mereka. * Dua hari di kampung, mengurus kebun dan memeriksa stok s**u dan sayur yang selalu dikirim ke kota, aku sebenarnya sedikit gamang memikirkan sedang apa Mas Yadi di kota. Apa yang dia lakukan dan apa perkembangan dari laporan yang kuberikan. Anak-anak gembira menikmati liburan singkat mereka hingga sore pukul setengah empat Mbak Novita menelepon. "Halo, Mbak." "Bu, apakah Ibu belum ingin pulang?" "Saya akan pulang," jawabku padanya yang tidak ikut karena harus menunggui anaknya yang sedang sakit. "Begini, Bu. Semalam Bapak pulang ke rumah dan bermalam, tapi ...." Kebetulan posisi rumah Novita berhadapan dengan rumahku "Apa dia membawa Kartika?!" Aku langsung bangun dari posisi duduk dan menebak arah bicaranya itu. "I-iya," jawabnya. "Baiklah, kamu diam aja, dan pastikan mereka tetap di sana, katakan saja kalo saya baru akan pulang Minggu depan, agar mereka tidak segera pergi, aku akan menyergapnya." "Baik Bu," jawabnya. "Oh ya, kenapa dia datang, apa Kartika tidak malu pada tetangga dan orang sekitar?" "Entahlah, Bu. Mungkin beralasan sebagai kerabat atau saudara Ibu sehingga penjaga di depan gerbang komplek tidak curiga." "Baiklah, apakah tetangga tidak curiga?" "Sepertinya sepi Bu," jawabnya. "Baiklah, tunggu saya." Kupanggil anak anak dan kuajak mereka berkemas dan meluncur kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan aku tak sabar, bak diletakkan bara api di bawahku aku merasa terbakar dan ingin secepat mungkin melabrak pelakor miskin itu. Aku yakin, dengan bersuamikan suamiku status sosialnya akan meningkat dan gengsinya juga, perlahan daster kumal dengan tambalan di bagian pinggir yang kerap dia gunakan untuk datang mencuci pakaian di rumahku, berganti jadi gaun dan perhiasan mewah, siapa yang tidak tergoda? Aku sengaja menyuruh anak-anak untuk mampir di rumah nenek mereka, aku meminta mereka untuk menemani Ibuku sebentar hingga jam delapan malam, dengan alasan nenek mereka rindu. Syukurnya tanpa banyak bantahan kedua putriku menurut saja. Mengapa aku tak mengajak mereka? Tidak, aku akan mencari cara menghajar Kartika, mudah-mudahan Mas Yadi tidak di rumah. Kuparkirkan mobil agak jauh dari depan rumah, dengan berjalan cepat dan mengenakan Hoodie panjang, aku menyelinap masuk ke dalam rumah. Mobil Pajero terparkir di garasi namun suasana lengang. Kuperiksa halaman belakang dan Mas Yadi sedang memberi makan ayam Bangkok peliharaannya. "Di mana si jalang ...," batinku dengan d**a berdebar. Entah mengapa langkah kakiku mengarahkan menuju kamar, dan ketika perlahan-lahan kubuka pintunya, kulihat pengemis itu sedang pakaian seragam Persit lengkap dengan pin dan perhiasan milikku, dia tersenyum dan memutar-mutar di depan kaca, dengan gumaman gembira. Perlahan dadaku sesak, kepalaku panas dan ada aliran yang mendidih membuatku langsung emosi setengah mati. Aku masuk dan langsung menutup pintu lalu menguncinya, sedang wanita itu terkejut dan pucat pasi. Next .. minum air dulu ya, Bunda biar gak emosi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN