Dua Pilihan

1048 Kata
Not a dangerous husband 2 Dua Pilihan   Ramona mendatangi rumah sakit sekali lagi. Setelah ia tau jika putranya pelaku perkosaan, ia merasa sangat bersalah dan merasa gagal menjadi orang tua. Bagaimana tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana terlukanya gadis itu. Ia sendiri yang membawa dan menghubungi keluarganya dan sekarang ia harus di hadapkan dengan kenyataan jika Raymondlah pelaku perkosaan itu. Ramona didera rasa bersalah yang sangat besar. Ramona membiarkan Raymond dibawa polisi, biarlah Raymond mempertanggung jawabkan perbuatannya, karna bagi Ramona dosa yang paling besar adalah dosa memperkosa. Perkosaan tidak hanya melukai diri korban tapi juga melukai jiwa serta masa depan si korban dan Ramona lebih memihak pada gadis itu dibandingkan putranya. "Ma, aku mohon! Percayalah kepadaku. Bukan aku pelakunya." Teriakan Raymond masih terngiang di telinga Ramona. Ia lebih memilih menutup mata dan telinganya dibanding melihat Raymond. Ramona menghela nafasnya sebentar sebelum mengetuk pintu ruang inap kelas 3 di rumah sakit tersebut. Setelah dirinya merasa siap untuk bertemu keluarga gadis itu, Ramona lalu mengangkat tangannya, mengetuk pintu sebanyak 3 kali lalu memutar gagang pintu. Dengan langkah berat, Ramona berjalan mendekati ranjang si gadis. Gadis muda itu nampak tertidur lelap. "b******k! Untuk apa kau ke sini?" Lelaki yang bernama Alden mendekati Ramona. Ramona mengehentikan langkahnya, ia sudah mempersiapkan diri untuk hal ini. "Tenang! Ini rumah sakit." Irene, istri Alden bersuara. Ia meraih tangan suaminya. "Bagaimana aku bisa tenang. Anaknya sudah menghancurkan hidup Almoora. Moora sudah tidak punya masa depan lagi." ujar Alden sengit. "Maafkan aku Tuan Alden, aku datang ke sini atas nama putraku. Aku minta maaf kepada kalian. Raymond akan mempertanggung jawabkan perbuatannya." ucap Ramona. "Cih, ia bisa saja di penjara selama 1 tahun atau dua tahun, setelah itu ia bisa bebas. Tapi bagaimana dengan adikku? Adikku akan menanggung malu sampai akhir hayatnya." balas Alden. "Tidak, Moora tidak akan menanggung malu. Jika ada yang akan menanggung malu, orang itu adalah Raymond. Akan kupastikan hidup Moora akan baik-baik saja." Ramona memandang Almoora dengan tatapan iba. Ia mengusap lembut kaki gadis malang itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Ramona. "Ia baru saja di beri obat penenang. Tadi ia berteriak histeris dan tidak bisa ditenangkan. Sepertinya ia mengalami trauma," jawab Irene sambil mengusap kepala Moora. "Aku turut menyesal. Aku tidak percaya putraku bisa sekeji ini. Aku sudah mendidiknya dengan sangat baik, aku kecewa kepadanya. Asalkan kalian tau, aku berada di pihak kalian. Meskipun ia putraku, aku tetap menentang perkosaan ini." Ramona berkata dengan terus terang. "Dimana putramu? b******n itu perlu aku hajar hingga ia merasakan sakit seperti yang Moora rasakan." Alden bangkit dari duduknya, wajahnya memperlihatkan kemarahan yang tertahan. Almoora adalah adik perempuannya, mereka hanya berdua saja. Orangtua mereka sudah lama meninggal dunia. Hidup Almoora adalah hidupnya, kebahagiaan Almoora menjadi tujuannya. Ia tidak bisa menerima jika Almoora diperlakukan dengan kurang ajar oleh seorang pria. Alden akan membuat perhitungan dengan Raymond. Entah apa itu, Raymond harus bisa merasakan sakit yang di rasa Almoora. Begitu menurut pikiran Alden. "Sayang, tenang dulu. Ibu Raymond sudah ada di sini. Masalah ini bisa kita bicarakan dengan baik-baik. Mereka sudah menunjukkan itikad yang baik." Irene menenangkan Alden. Alden kembali duduk setelah ditenangkan istrinya. "Saya merasa menyesal dengan kejadian ini, Tuan! Raymond sekarang berada di kantor polisi. Aku sudah bilang, meskipun ia putraku, aku akan berdiri bersama kalian. Almoora tidak akan kehilangan masa depan. Raymond akan mempertanggung jawabkan perbuatannya." Ramona menghela nafasnya, kemudian ia melanjutkan perkataannya. "Sekarang, aku menyerahkan semua keputusan di tangan kalian. Jika kalian mau Raymond di penjara, aku akan menjaga Almoora sampai ia berhasil melewatkan masa traumanya. Jika kalian mau, Raymond bertanggung jawab penuh pada Almoora ... izinkan Raymond menikahinya. Hanya ini yang bisa aku tawarkan kepada kalian. Aku akan menerima, apapun yang kalian putuskan." Ramona menatap serius Alden dan Irene yang duduk di depannya. Sesekali ia menatap Almoora yang masih tertidur di bawah pengaruh obat. Hatinya sakit, ia tidak bisa membayangkan putra tersayangnya meniduri paksa gadis malang ini. "Almoora akan menikah dengan Raymond." ujar Irene. "Apa maksudmu? Kau tidak bisa memutuskan secara sepihak. Moora harus tau dan yang paling berhak memutuskan itu dia." sangkal Alden. "Tapi Sayang, Almoora sudah tidak punya masa depan lagi. Siapa lelaki yang mau menikahinya?" ujar Irene sengit. "Tapi untuk urusan menikah, itu semua harus mendapatkan persetuan Moora." Suami istri itu malah bertengkar di depan Ramona. "Anda benar Tuan Alden. Almoora lah yang menentukan, aku akan menunggu kabar dari kalian." Ramona berdiri dan undur diri. Irene mengantar Ramona sampai ke pintu luar. Kemudian, ia kembali ke tempat suaminya. "Pikirkan lagi! Raymond harus menikahi Almoora. Laki-laki itu harus bertanggung jawab. Dia tidak bisa seenaknya hidup bebas setelah keluar penjara sementara Almoora harus menanggung malu seumur hidupnya." tegas Irene. "Moora tidak mencintainya, apa bisa ia hidup dengan lelaki yang tidak ia cintai seumur hidupnya?" "Ini sudah menjadi takdir Moora! Suka atau tidak suka, Almoora harus menghadapinya. Dan menurutku, keputusan yang paling baik adalah menikahkan Almoora dengan lelaki yang memperkosanya." "Sayang... pikirkanlah semua ini. Aku hanya menyampaikan yang terbaik menurut pendapatku," lanjut Irene. "Aku tidak yakin Moora bisa menerimanya, ia adalah gadis yang sangat lembut. Apa bisa ia hidup dengan serigala yang beringas seperti si b******k itu." Alden mengusap wajahnya, ia sangat putus asa memikirkan nasib adik kesayangannya. “Almoora gadis yang kuat. Dia memang lembut tapi dia kuat. Kita harus mendukung keputusan ini, pikirkan masa depan Almoora. Aku khawatir tidak ada lelaki yang akan mau menerima gadis korban perkosaan untuk menjadi istrinya kecuali lelaki itu bukan lelaki baik-baik.” pungkas Irene. Alden berdiri dari duduknya, ia menghampiri Almoora. Satu tangannya mengusap lembut wajah adiknya. Almoora mengerang, ia merasakan sentuhan di wajahnya. “Jangan sentuh aku,” rintihnya. “Aku mohon, jangan sentuh aku!” Almoora mengigau dalam tidurnya, keringat bercucuran di dahinya. Wajah Almoora sampai basah dengan keringat. Alden mengepalkan kedua tangannya mendengar rintihan Almoora. “Kau akan bahagia. Aku pastikan kau akan bahagia di masa depanmu. Tidak akan ada orang yang bisa menyakitimu.” gumam Alden.   Irene memperhatikan suaminya dari tempat ia duduk. Wajah Alden tampak memerah menahan amarah. Tidak lama kemudian, Alden melangkah mundur. “Aku akan pergi sebentar, jika Moora sudah sadar segera hubungi aku.” perintah Alden pada Irene. “Kau mau kemana?” “Ke rumah b******n itu.” “Jangan lupa lihat Dennis. Aku tadi menitipkannya sama tetangga.” pinta Irene. Alden hanya bergumam mendengar permintaan Irene, kemudian ia melangkahkan kaki lebarnya ke luar ruang inap tersebut.       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN