Lyssa yang sebelumnya tidak pernah berpacaran, sedikit mengalami kesulitan. Dia tidak terbiasa berkirim pesan maupun telepon dengan seseorang sebelum tidur. Tapi Evan kelihatannya sangat menyukai berteleponan. Telinga Lyssa sampai panas memakai earphone. Ia mengecek layar ponsel, ternyata sudah hampir dua jam.
Gadis cantik itu mencabut earphone dan menggantinya dengan mode loudspeaker. Background suara dari seberang terdengar berisik sampai di ponsel Lyssa.
“Belum selesai nyetrikanya, Bee?” tanya Evan dari seberang.
“Belum.. Masih ada banyak. Mumpung malam Minggu, aku selesaiin semuanya saja sekalian.”
“Besok gak pengen jalan?” Suara bising terdengar dari seberang. Evan sedang main arcade bersama teman-teman OSIS katanya.
“Gak bisa.. Aku setiap hari Minggu bantuin Zio di toko..”
“Toko roti yang kamu ceritakan? Kalau boleh, biar aku main ke sana saja, hehehe.”
Lyssa tidak langsung membalas. Di seberang, terdengar Evan yang sedang mengobrol dengan seseorang.
“Sorry, Bee. Tadi ada alumni yang nyamperin.”
“Kay.. Gak masalah,” jawab Lyssa. Gadis itu berdiri, menggantung seragam sekolah yang selesai ia setrika.
“Jadi gimana? Apa aku boleh main ke tempat kamu?” tanya Evan lagi. Suara tembakan lagi-lagi terdengar dari seberang.
“Jangan.. Kapan-kapan saja,” tolak Lyssa.
Evan mengangguk. Menjawab dengan gumaman kecil.
Sudah seminggu sejak mereka pacaran. Dan belum ada yang tahu tentang hubungan mereka. Lyssa belum siap. Dia masih perlu waktu untuk beradaptasi, menyiapkan hati dan mentalnya.
***
“Nanti malam ayo jalan,” ajak Veve.
“Tidak bisa.. Aku ada janji sama Kak Kholil.” Kak Kholil adalah kakak tingkat gebetan Septi.
“Bagaimana denganmu, Lyss?” tanya Veve ke Lyssa. Tiga sekawan itu sedang dalam perjalanan menuju kantin untuk makan siang, melewati ratusan siswa yang tengah berlomba menuju kantin.
Lyssa sebenarnya ada janji sama Evan, gadis itu gugup menjawab pertanyaan Veve. “Aku oh aku ada janji sama Zio.”
“Oh.. Mau nginep di tempat pamanmu ya?” tanya Septi.
“Hehe, iya,” bohong Lyssa.
Veve menggerutu, “Menyedihkan sekali. Ujian sudah berakhir dan semua orang masih tetap saja sibuk.”
Lyssa menatap bersalah pada sahabatnya. Dia tidak pernah pacaran. Bingung caranya mengatakan ke teman-temannya kalau dia sudah punya pacar. Tiga sekawan itu tiba di kantin, mengantre di antrean panjang untuk konter anak kelas tiga.
Dari kejauhan, Lyssa melihat Evan yang sedang ngobrol dengan teman-temannya. Sekali pun, Lyssa tidak pernah melihat Evan sendirian, selalu saja ada yang menemani cowok itu.
Seperti bisa merasakan sedang dilihati oleh seseorang, Evan menoleh, melihat Lyssa yang masih melamun melihat ke arahnya. Sebelum gadis itu melihat senyum menawan pacarnya, ia sudah keburu mengalihkan pandangan. Takut jika ada yang memperhatikan interaksi mereka. Pipinya bersemu merah, malu sudah ketahuan melihati Evan.
Saat Lyssa mencari meja dengan membawa nampan makan siangnya, ia kebetulan melewati meja Evan. Dua insan itu berpura-pura saling tidak mengenal meski saling lirik satu sama lain.
Di belakang Lyssa, Veve ramah menyapa Evan. Begitu sampai di meja kosong, gadis itu menjerit kesenangan karena dibalas oleh Evan. “Yay yay! Evan senyum ke aku.. Evan bilang selamat makan ke aku.. Yay!!!”
Lyssa hanya tersenyum kecil melihat sahabatnya.
Veve yang masih dalam kondisi berbunga-bunga ganti lanjut bergosip tentang kebaikan Evan. Mulai dari Evan yang ramah, Evan yang murah senyum, Evan yang tampan, Evan yang ugh.. Telinga Lyssa panas mendengar pujian-pujian Veve untuk Evan.
Sedari tadi Veve yang tidak pernah stop berbicara tentang Evan membuat Lyssa semakin enggan bercerita tentang hubungannya. Ia belum siap melihat reaksi Veve nantinya.
“Eh eh, sejak dia putus sama Evan, si Karin kok tumben belum ada pacar baru ya? Biasanya ‘kan dia gak pernah ke kantin kalo gak sama cowok,” komen Veve.
Lyssa dan Septi melihat ke arah meja seberang. Karin tipe yang lebih sering sendirian. Meski begitu, ia selalu berjalan tegak. Gayanya anggun dengan senyum sopan yang selalu menghiasi bibirnya.
“Kan baru sebentar juga mereka putus,” balas Septi pada Veve.
“Bagaimana dengan perkembanganmu dengan Evan? Gara-gara ujian kemarin kita gak jadi nerusin rencana buat gaet Evan nih..” cerocos Veve di tengah kunyahannya.
“Apa kamu sudah pernah chat Evan?” tanya Septi. Gadis kurus itu menyudahi makan siangnya. Sementara Lyssa masih lambat-lambat berusaha menghabiskan nasi padang miliknya.
“Sering. Kami sering berbalas chat dan telepon,” aku Lyssa lambat-lambat.
Mulut Veve membulat lebat-lebar. Matanya seperti akan keluar dari kelopaknya. “Berbalas chat dan telepon?? Sama Evan??? Ha.. Aku iri banget. Andai aku cantik duh..” ujar Veve histeris.
Lyssa tidak berkomentar apa-apa, kembali menekuni makan siangnya. Gadis itu menyisihkan ayam gorengnya dan hanya makan nasi dan sayurnya saja.
“Septi selalu bilang kalo kamu tidak suka daging karena trauma masa kecil. Trauma apa sih, Lyss? Kok aku gak kamu kasih tahu..” rajuk Veve tiba-tiba. Tangannya lihai mengambil ayam goreng goreng kuning dari trai Lyssa.
Tubuh Lyssa membeku mendengar pertanyaan dari Veve. Lyssa dan Septi sudah berteman sejak SMP. Sementara Veve adalah teman yang tidak sengaja mereka temui selama masa orientasi SMA. Dulu Lyssa pernah beberapa kali cerita tentang masa kecilnya pada Septi.
Lyssa mencoba untuk tenang saat menjawab Veve. “Nggak ada trauma. Aku hanya kadang eneg lihat daging. Menurutku daging tuh kayak bangkai.”
“Bukan karena kamu lihat mayat mamamu kan?”
‘DEG!’ Jantung Lyssa berdetak keras. Matanya menatap tajam iris hitam Septi.
Hitam bertemu hijau. Apa Septi akan membongkar masa lalunya?
“Ya jelas kan.. Mamanya Lyssa kan sudah meninggal. Pastinya Lyssa sudah melihat jasad mamanya. Menurutku itu normal,” kata Veve bersimpati.
Lyssa menelan ludah. Sayangnya, kasusnya tidak sesederhana itu. Ada rahasia dan aib dibalik kematian mamanya.
Septi dan Lyssa masih berpandangan. Tiba-tiba perut Lyssa terasa mual. “Aku ke toilet dulu,” kata Lyssa sambil bangkit berdiri.
“Jangan khawatir, aku tidak akan memberitahu Veve kok,” kata Septi menggengam tangannya.
Lyssa memberikan senyum terbaiknya untuk Septi dan bergegas pergi. Tangannya merogoh ponselnya di saku rok seragam. Ia berjalan cepat menuju taman belakang yang sepi.
Sambil menunggu panggilannya tersambung, gadis itu mencari tempat yang terlindung oleh ceruk tembok.
“Hey, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?” kata Lyssa setelah panggilannya terhubung.
“Aku masih makan siang tahu..” jawab suara di seberang.
“Aku tunggu di tempat biasa,” kata Lyssa.
“Ada orang tidak?”
“Tidak ada. Hanya beberapa saja sedang piket menyiram bunga.”
“Cari tempat lain saja yang sepi.”
“Memangnya ada tempat di sekolah jam segini yang sepi? Kamu letakkan saja di lokerku. Aku akan mentransfer ke rekeningmu.”
“Boleh. Sebelum bel sekolah akan kuletakkan di lokermu.”
“Aku maunya sekarang!” teriak Lyssa tiba-tiba.
Siswi kelas satu yang sedang menyiram mawar kuning menoleh ke arahnya. Posisi Lyssa memang terlindung dari area dalam gedung, tapi tidak jika dilihat dari arah taman.
Gadis itu tidak peduli dengan pandangan adik kelas dan masih memasang wajah kesal.
Di seberang, seseorang menjauhkan ponsel dari telinganya, beranjak mencari tempat yang tidak terlalu ramai.
“Sebentar lagi bel masuk. Toh sama saja kamu gak bisa ngetik sekarang kan?” ‘Laptop/ngetik’ adalah kode untuk ‘rokok/merokok’.
Antara kesal dan frustrasi, Lyssa berjongkok di tempatnya. Wajahnya tersembunyi di antara tekukan lutut dan helaian rambut panjang. Satu tangannya mengukir-ukir tanah, sementara tangannya yang lain memegangi ponsel.
“Nih, aku otw ngambil barangnya. Oh ya, kapan hari ada yang bilang lihat kamu sama Evan di atap. Aku pikir kamu ketahuan. Tahunya kamu pacaran sama Evan.”