“Lyssa, apa berita yang trending itu beneran?” Di tengah kekhusyukan jam belajarnya, seseorang memecah konsentrasi Lyssa.
Lyssa yang tengah menekuni soal Bahasa Inggris mengangkat wajah. “Berita apa?” tanyanya.
Sellin dan dua temannya berdiri serba salah di depan meja Lyssa.
“Kamu belum lihat?” tanya teman Sellin yang bertubuh tinggi besar.
“Em? Lihat apa?” Mata Lyssa yang lebar berpendar penuh tanda tanya. Saat gadis itu mengedarkan pandangannya, ia mendapati teman-teman sekelas yang sebelumnya ramai kini mulai hening. Anak-anak itu semuanya melihat ke arah Lyssa. Membuat gadis yang tengah menjadi sorotan itu berkeringat dingin. Ia merasa deja vu. Dulu sekali, ia juga pernah menjadi sorotan seperti ini.
Dari kejauhan, suara gaduh siswa-siswi berlarian menuju kelas Lyssa terdengar ramai.
Lyssa tidak tahu ada apa, tapi siswa-siswi dari kelas lain itu berjubelan memenuhi jendela dan pintu kelasnya.
“Tidak usah masuk!” teriak Sian dari meja depan.
Teriakan Sian tidak terlalu berarti. Lyssa duduk di pojok belakang dekat jendela dan pintu belakang. Ia bisa merasakan jari-jari telunjuk mengarah padanya. Suara bisik-bisik semakin keras, pulpen di jari Lyssa terlepas, senyum manis di bibirnya memudar. Ia benar-benar merasa deja vu. Seolah ia kembali ke masa dulu, ke masa itu, masa yang tak ingin ia ingat lagi.
“Kamu gak papa kan, Lyss?” Pertanyaan Sellin menyadarkan Lyssa kembali ke dunia nyata.
“Oh? Tentu saja,” jawab Lyssa. Senyum manis terpatri kembali di bibirnya.
“Mau aku antar ke sana? Aku rasa kamu butuh teman,” tawar salah seorang teman Sellin. Lyssa membaca badge nama siswi tersebut, Sasha Minnerva.
“Ke sana ke mana, Sha?” tanya Lyssa.
Kelas kembali hening. Baik itu teman-teman sekelasnya maupun siswa-siswi yang kini berjubelan di jendela kelas semuanya diam. Turut mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Lyssa.
“Ayo. Aku antar kamu ke sana,” ajak Sellin. Gadis berambut keriting tesebut mengulurkan tangan, mengajak Lyssa untuk berdiri.
Ditemani Sellin dan dua orang temannya, Lyssa berjalan melewati koridor panjang. Lyssa tidak tahu Sellin akan membawanya ke mana, dia hanya ikut berjalan di samping Sellin. Wajahnya tenang, senyumnya kalem.
Koridor yang semula penuh bisik-bisik menjadi hening. Anak-anak yang semula menikmati jam kosong di hari pertama sekolah kini sibuk memadati koridor gedung kanan lantai satu, gedung untuk anak IPA kelas tiga.
Siswa-siswi itu menyibak, memberi jalan untuk Lyssa.
Saat ini, Lyssa benar-benar merasa deja vu. Ia jadi teringat dulu ketika ia harus berjalan digandeng oleh seorang polisi wanita, menembus keramaian jalan depan rumahnya, menuju suatu tempat yang tak pernah ia inginkan.
Sellin ternyata membawa Lyssa menuju papan pengunguman di gedung belakang. Gedung sekolah mereka berbentuk segi empat, di tengahnya ada halaman luas untuk upacara dan olahraga outdoor. Gedung bagian depan adalah gedung official untuk kepala sekolah, ruang guru, perpustakaan, ruang UKS, kantor OSIS, dan ruang komunitas. Sementara gedung belakang adalah untuk loker dan laboratorium, gedung kanan untuk penjurusan IPA dan gedung kiri untuk penjurusan IPS.
Siswa-siswi yang berkerumun di depan papan pengunguman itu menoleh ke belakang. Satu per satu memberitahu teman mereka yang berada di depan untuk memberi jalan pada Lyssa.
Perlahan, Lyssa berjalan maju. Matanya sedikit kabur, gagal fokus tentang tujuannya diajak Sellin ke sini.
Ia kini berdiri tepat di depan papan pengunguman panjang. Beberapa selebaran tertempel di papan gabus. Selebaran itu semua sama. Memenuhi papan dari arah barat sampai ke timur.
Lyssa mencoba untuk mengeja. Tapi otaknya serasa berhenti berputar.
Tulisan itu besar, dengan foto cantik mamanya.
Lyssa tidak tahu tulisan itu harus dibaca apa. Gadis itu terlihat seperti kucing rumahan yang baru saja dibuang tuannya. Sangat menyedihkan. Siswa-siswi di sekitarnya memandangnya penuh empati.
Bibir Lyssa bergerak-gerak mengeja tulisan besar di depannya tanpa suara.
Otaknya yang sudah berhasil meregistrasi informasi kini linglung. Tidak perlu berpikir siapa yang menempel kliping berita di papan ini, yang tahu tentang ini hanya sahabatnya, Septi.
Berita yang ditempel itu beragam, sepertinya diambil dari internet. Tulisan headline di berita itu besar, beberapa menggunakan foto cantik mamanya, beberapa lagi menggunakan foto rumah atapnya.
Tulisan itu besar, mengembalikan Lyssa ke masa tiga belas tahun silam.
...
[Wanita Cantik Asal Italia Bunuh Diri di Depan Putrinya: Diduga Wanita Simpanan Konglomerat]
[Gadis Kecil Usia Lima Tahun, Tiga Hari Duduk di Meja Makan Bersama Mayat Ibunya Yang Membusuk]
Meski foto wanita Italia itu berambut wavy dengan warna kemerahan, tapi mata hijau itu, siapa pun yang mengenal Lyssa pasti akan mengatakan jika wanita di foto tersebut punya hubungan darah dengan Lyssa.
Meski Lyssa tidak pernah tersenyum lebar seperti wanita yang tampak di foto, tapi wajah cantik mereka berdua sangatlah mirip. Tidak bisa disangkal, wanita Italia yang dimaksud pasti mamanya Lyssa.
Tak peduli dengan bisikan teman-teman sekolahnya, tangan Lyssa terangkat naik, geraknya impulsif, ia ingin menyentuh wajah mamanya.
Sebelum jemari lentik itu berhasil menyentuh wajah mamanya, seseorang sudah keburu merobek kertas selebaran tersebut. Lyssa menoleh. Di sampingnya berdiri Evan dengan wajah yang sangat marah.
“Apa yang kalian lakukan?! Melihat ini semua dan hanya berdiri mematung seperti menonton opera! Tidak berguna!” Pemuda itu memaki sambil merobeki tempelan-tempelan selebaran di papan pengunguman.
Sepertinya Evan datang ke sini dengan berlari. Titik keringat mengembun di pelipisnya yang kini tegang menahan amarah. Evan tadi sempat berpamitan pada Lyssa kalau dia ada rapat OSIS perdana.
Rombongan anggota OSIS yang baru saja datang dari gedung depan ikut membantu mencabuti kertas-kertas tempelan di papan terbuka.
Evan yang mulai tenang kini mengatur napasnya. Pemuda itu beralih pada Lyssa yang masih berdiri dengan tatapan kosong.
“Kamu gak papa ‘kan, Bee?” tanya Evan pelan.
Lyssa tidak menangis. Tapi di mata Evan, ia seperti bisa melihat air mata imajiner mengalir di pipi kekasihnya.
Tangan Evan terulur, hendak menghapus air mata imajiner itu. Sayangnya, tangan itu tertampik. Lyssa menolak disentuh oleh Evan. “Aku baik-baik saja,” kata Lyssa pelan.
Gadis itu berbalik. Berlalu meninggalkan kerumunan.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi di sekolah. Apalagi di saat jam kosong seperti ini. Siswa-siswi itu saling bersuka cita berlarian penuh canda tawa. Tapi tidak untuk Lyssa, dunianya sunyi, seperti saat ‘itu’.
Lyssa kembali ke kelas. Ia menemukan Septi duduk di kursinya bagian depan. Mantan sahabatnya itu menunduk berpura-pura sedang bermain ponsel.
Lyssa hanya berdiri di sana. Memandang Septi lama.
Rasa sepi yang sangat menghinggapi hati Lyssa. Satu-satunya teman yang ia punya mengkhianatinya.
Dalam diam, gadis itu kembali ke kursinya, kembali menekuni soal-soal Bahasa Inggris, tak peduli akan bisik-bisik teman sekelas.
Saat jam makan siang, Lyssa tidak datang ke kantin. Evan menemuinya di kelas, tapi Lyssa masih saja fokus pada buku teksnya.
Pulang sekolah, Evan masih menemani Lyssa. Pemuda itu berjalan kaki di samping Lyssa, dalam diam menemani kekasihnya.
Sore itu, hujan lebat turun lagi. Penyakit lama Lyssa kambuh. Gadis itu insomnia.