5. Laboratorium Bawah

1793 Kata
Ranti masih tersipu di hadapan Wibi. Ia merasa salah tingkah dengan tatapan Wibi yang seakan membuatnya terpesona. Wibi pun merasa senang bisa mengenal Ranti. Sudah sejak lama Wibi merasa kesepian. Namun, sejak melihat Ranti tempo hari, Wibi ingin sekali berkenalan dengan Ranti. Ia mengikuti ke mana pun perginya Ranti. Mengamati tempat yang sering Ranti kunjungi. Hingga Wibi beberapa kali melihat Ranti berada di Perpustakaan. “Kamu sering ke sini?” Wibi membuka perbincangan dengan Ranti. “Dari zaman aku SMP, salah satu tempat favorit aku ya ... di Perpustakaan. Karena aku senang membaca dalam kesunyian. Bisa lebih meresapi.” Ranti menjelaskan alasannya, mengapa dirinya sering mengunjungi Perpustakaan. “Kalau Kak Wibi? Sering mengunjungi Perpustakaan?” Ranti berusaha mengenal lebih dalam. “Saat ini aku lebih sering di Laboratorium.” Wibi memang misterius. Lebih tepatnya pria tampan, misterius, dan auranya dingin. Terlihat seperti vampir karena kulitnya yang putih cenderung pucat. “Oh, ya? Sedang penelitian?” Ranti semakin penasaran. “Iya.” Jawaban Wibi yang singkat membuat Ranti semakin tertarik. “Kakak kuliah jurusan apa?” Ranti kembali penasaran dengan sosok pria tampan di hadapannya. Ranti masih menengadahkan kepala karena Wibi lebih tinggi dari Ranti sekitar 16 senti meter. “Kedokteran, semester enam.” Wibi kembali tersenyum. “Kakak mau cari buku referensi juga?” Ranti melihat jam tangannya, ia merasa waktu semakin cepat berlalu. “Saya ....” ucapan Wibi terhenti seketika mereka dikejutkan oleh suara seorang mahasiswi yang menjerit histeris di salah satu sudut ruangan. “Hah? Apa itu?” Ranti menatap Wibi yang ada di hadapannya. Namun, Ranti segera melangkah untuk melihat apa yang terjadi. “Jangan!” Wibi menahan pergelangan tangan Ranti. Seketika Ranti menoleh ke arah Wibi. Ia merasa tubuhnya semakin lemas dan pandangannya menggelap. *** “Lumayan lama, sih pingsannya.” “Kasihan sekali, tapi kita nggak tahu siapa temannya?” “Kita berusaha saja, semoga dia segera siuman.” Ranti mendengar suara orang yang sedang berbincang. Terdengar samar dan semakin jelas. Namun, Ranti merasa matanya sangat sulit untuk dibuka. “Eh, tangannya gerak!” “Udah sadar kayaknya.” Suara obrolan itu semakin terdengar jelas di telinga Ranti. Namun, tetap saja Ranti belum bisa membuka matanya. Justru ia merasakan angin yang berembus terasa dingin hingga menyelusup ke dalam pori-pori tubuhnya. Suara obrolan dua orang yang terdengar semakin lama semakin menghilang tergantikan oleh suara bisikan yang memerintahkan Ranti untuk menangis. Di satu sisi, suara-suara itu memerintahkan Ranti untuk tertawa. “Menangislah! Menyedihkan! “Tertawa ... tertawa ... ha ha ha ....” “Menangislah! Menangislah!” Ranti merasa aneh dengan bisikan itu. Ia sungguh ketakutan. Napasnya semakin menyesak di d**a. Ada rasa takut kalau dirinya tidak dapat terbangun dan membuka mata. Seperti dalam kesendirian. Ranti panik dan kembali berteriak. “Aaarrrgghhh!” “Aaarrrgggh!” Teriakan Ranti semakin tidak terkendali. Ranti terus mencoba membuka matanya. Pada akhirnya terbukalah mata Ranti, walau apa yang ia lihat benar-benar aneh. Ia merasa bahwa apa yang ia lihat di sekitarnya bukan pemandangan biasa. ‘Astaga ... aku ada di mana?’ Ranti berbicara dalam hatinya karena perpustakaan yang ia lihat tidak seperti semula. Di sana terlihat agak gelap. Ada beberapa mahasiswa yang duduk terpaku sambil menundukkan kepalanya. Persis seperti seorang mahasiswi yang mematung di depan rak buku, sebelum Ranti bertemu dengan Wibi. Ranti hanya melihat sekelilingnya. Tak lama kemudian aroma Cytrus kembali menguar menenangkan batin Ranti. Ia memanggil-manggil nama Wibi, karena takut dengan suasana perpustakaan yang ia lihat saat itu. Wibi berlari menuju ke arah Ranti. Ia meminta Ranti untuk kembali memejamkan mata sembari menghirup napas yang panjang. Ranti mau menuruti saran Wibi yang saat ini duduk di hadapannya. Tiba-tiba Ranti seperti terbangun dari tidurnya. Matanya terbelalak, keringat bercucuran, dan satu hal yang pasti Ranti merasa sangat lemas. “Kamu sudah bangun? Ini usap air mata kamu!” seseorang menyodorkan tisu ke arah Ranti. “Ap—apa? Aku nggak nangis, Kak.” Ranti merasa sangat kebingungan. “Nama kamu siapa?” Ranti menoleh ke arah sumber suara. Namun ia belum menjawab pertanyaan mereka. Ranti menoleh ke sekelilingnya. Suasana perpustakaan kembali normal seperti saat pertama kali dia masuk ke dalam perpustakaan. “Kak? Aku masih hidup, kan?” Ranti menatap seorang mahasiswi yang ada di hadapannya. “Iya, kamu masih hidup ... untung saja pingsan kamu tidak begitu lama.” Mahasiswi yang berada di hadapan Ranti mengatakan sesuatu yang membuat Ranti bingung. “Ping—san?” Ranti melongo mendengar hal itu. Di sekeliling Ranti terdapat dua orang mahasiswa, satu orang mahasiswi, dan Pak Asep yang tadi menemukan ID Card milik Ranti. “De! Tadi kamu itu pingsan di ujung koridor buku sebelah sana,” jelas Pak Asep kepada Ranti yang masih bingung. “Nama kamu siapa?” seorang mahasiswi yang ada di depan Ranti kembali bertanya. “Oh ... iya, maaf! Namaku Ranti. Lalu kakak siapa? Dan apa yang sebenarnya terjadi sama aku?” Ranti masih mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi, sembari meminum teh manis hangat buatan Pak Asep. “Aku Dewi mahasiswi kedokteran semester tujuh. Dia Rangga dan Zaki, kami semua satu jurusan. Sedangkan Beliau Pak Asep pegawai perpustakaan. Saat kami datang ke perpustakaan Zaki sudah melihat kamu berdiri di depan rak di ujung sebelah sana. Zaki melihat kamu berteriak sambil berlari dan tersandung hingga jatuh pingsan. Lumayan lama, tapi ....” ucapan Dewi terhenti. “Kamu sepertinya masuk ke dalam dimensi lain. Bahkan kami sangat sulit menyadarkan kamu. Tidak ada hentinya kamu berteriak, menangis, tertawa. Kamu membuka mata sebentar, lalu kembali pingsan. Tapi sekarang kamu sudah siuman. Syukurlah!” jelas Pak Asep kepada Ranti. “Hah? Pingsan? Terus ... Kak Wibi mana?” Ranti mencari sosok Wibi yang ia temui. “Wibi?” Rangga menatap Zaki. “Wibi itu teman kamu?” Zaki penasaran. “I—iya ....” Ranti kembali mencoba mengingat semuanya. “Dari tadi kita hanya berlima di perpustakaan. Aku, Rangga, Dewi, Pak Asep, dan kamu, Ran! Atau temanmu sudah pulang?” Zaki menatap Ranti dengan penuh tanda tanya. ‘Astaga ... apa iya aku berhalusinasi? Teringat sama Wibi? Astaga! Jangan-jangan aku melamun lagi?’ Ranti merasa sangat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Ran! Mungkin temanmu sudah pulang! Tadi sebelum Zaki, Rangga, dan Dewi ke sini, memang ada beberapa anak kedokteran yang mengunjungi perpustakaan, walau hanya sebentar.” Ucapan Pak Asep menenangkan hati Ranti. “Huft ... syukurlah! Mungkin tadi aku lelah, terus melamun, dan pingsan. Maaf sudah merepotkan. Terima kasih banyak, Kakak-kakak. Pak Asep juga makasih banget. Harusnya aku sudah masuk kelas lagi. Tapi kelihatannya sudah terlambat. Kalau gitu aku ke kantin dulu saja mau sarapan.” Ranti tersenyum ke arah mereka. “Hati-hati, Ran! Jangan dibiasakan melamun!” Pak Asep kembali mengingatkan Ranti. “Iya, Pak! Aku permisi.” Ranti berjalan ke arah pintu keluar dari Perpustakaan. Ia mengambil tasnya di dalam loker. Kemudian berjalan menuju kantin kampus. Ranti mengirim pesan kepada Yuda, bahwa saat ini Ranti tidak masuk kelas dan berada di kantin. *** Ranti masih memijat pundaknya yang terasa pegal. Ia terus berjalan menuju kantin melewati lobi belakang kampus. Sepanjang perjalanan, suasana kampus terlihat sepi. Karena hampir semua kelas, sedang melaksanakan kegiatan belajar. Hanya ada satu atau dua mahasiswa yang terlihat melintas dan berpapasan dengan Ranti. Gadis sporty yang sering terlihat melamun itu, sebenarnya memiliki kemampuan supranatural. Hanya saja, Ranti tidak menyadarinya. Ia tidak bisa membedakan mana makhluk astral mana manusia. Bahkan Ranti tidak bisa membedakan dimensi lain yang sering dia lihat. Banyak yang mengatakan Ranti adalah gadis cantik yang aneh, pendiam, dan terkadang misterius. Sedangkan Ranti tidak merasa demikian. Ia merasa normal, sama seperti orang lain. Kedua orang tua Ranti mengetahui kelebihan yang ada dalam diri putrinya. Sehingga ketika Ranti dilepas untuk merantau ke kota. Ayah dan Ibunya meminta tolong kepada Yuda untuk selalu mengawasi Ranti agar tidak melamun. Kedua orang tua Ranti tidak mengatakan alasannya. Lantaran takut kalau Yuda justru akan takut untuk mengawasi Ranti. Hal yang ditakutkan kedua orang tua Ranti adalah ketika Ranti melamun, saat itu juga aura dan pintu hati Ranti mampu membuka gerbang dunia lain. Saat pintu itu terbuka, maka apa yang Ranti lihat, bisa merasukinya. Bahkan Ranti bisa berinteraksi dengan mereka tanpa Ranti sadari kalau mereka adalah makhluk astral. Itulah hal yang selama ini ditakutkan oleh kedua orang tua Ranti. *** Ranti melintasi lobi belakang kampus. Secara naluriah, Ranti menoleh ke arah jendela kaca raksasa yang terdapat di lobi belakang kampus di lantai dua. Seperti biasa, Ranti berharap melihat Wibi di sana. Benar saja, Ranti melihat Wibi sedang berdiri bersandar pada pilar yang ada di depan laboratorium bawah. Ranti berharap Wibi melihat ke jendela raksasa di lantai dua. Apa yang ia ucapkan dalam hati mengenai Wibi, selalu mendapatkan balasan. Kali ini Wibi tiba-tiba menatap ke arah Ranti. Senyuman Wibi membuat Ranti merasa berbunga-bunga. Ia melambaikan tangan kepada Wibi. Tanpa disangka, Wibi membalas lambaian tangan Ranti. Kemudian Wibi seperti mengatakan sesuatu menggunakan bahasa bibir. Ranti menebak kalau Wibi memintanya untuk menghampirinya di laboratorium bawah. Dengan hati yang berdebar, Ranti berusaha mengunjungi laboratorium bawah, demi menemui Wibi. ‘Yes! Ketemu lagi sama Wibi.’ Ranti memang sudah jatuh hati saat pertama kali beradu tatapan dengan Wibi sore itu. Perlahan, Ranti melangkah menuju pintu yang berada di sebelah jendela raksasa itu. Pintu kayu dengan cat berwarna hitam yang terlihat sering ditutup. Saat ini Ranti berada tepat di depan pintu itu. Tangannya berusaha meraih gagang pintu. Klek! Kreeekkk! Pintu itu sedikit berderit karena agak susah dibuka. Ranti menatap pintu itu seperti sebuah gerbang. Tatapannya mengedar ke segala sudut pintu. Desir angin yang berasal dari bawah sana, berembus cukup kencang menyibakkan rambut Ranti yang menjuntai menutupi dahinya. Mata Ranti sampai menyipit karena angin yang berembus terlalu kencang. Awalnya Ranti sedikit ragu untuk menuruni tangga. Namun, Wibi masih menatap Ranti. Seolah berharap kalau Ranti akan menemuinya di depan laboratorium bawah. Dengan keberanian ekstra, Ranti mulai melangkah menuruni tangga. Hawa dingin seakan menyeruak ke dalam sanubari Ranti. Ia menghentikan langkahnya. Kembali menatap Wibi yang masih menatap Ranti. ‘Rasanya merinding, tapi ... aku ingin bertemu Wibi.’ Tekad Ranti membuat keberaniannya mengalahkan rasa takut yang sempat menyeruak ke dalam sanubarinya. Ranti kembali berjalan menyusuri tangga menuju laboratorium bawah. ‘Semakin aku melangkah menuruni tangga, aku merasa seakan masuk ke dalam dimensi lain. Rasanya ... suasana di bawah sini berbeda dengan yang aku rasakan di atas sana. Tapi mungkin ini perasaanku saja yang baru pertama kali ke sini? Ah sudahlah! Rasa ingin bertemu sama Wibi jauh lebih besar dari rasa takutku ini.’ Ranti bergumam dalam hatinya, sembari menghirup napas panjang dan ia hembuskan perlahan. Ranti terus berjalan hingga sampai di hadapan Wibi yang masih berdiri di dekat pilar penyangga laboratorium bawah. *** Ranti berusaha untuk melihat suasana di sekitar sana. Senyap, dingin, dan gelap. Namun tidak sedikit pun Ranti mencurigai sesuatu hal yang aneh di sana. Semua terlihat baik-baik saja. Rasa ingin bertemu Wibi mematahkan ketakutan yang baru saja muncul dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN