5. Pengakuan nenek

1292 Kata
"Genta!" Aku langsung berlari begitu mendengar panggilan itu, kami bertiga berpelukan. Mama sampai menangis memelukku. "kamu baik-baik saja kan?" tanyanya cemas sambil meneliti sekujur tubuhku. Aku mengangguk kemudian memeluk mama lagi "Genta kangen," ucapku dengan nada senang bercampur haru. "Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Dek," ujar papa, ada nada cemas dengan sorot mata khawatir tapi ekspresi wajah papa dia buat setegar mungkin. Sekali lagi aku mengangguk, aku melihat ke arah belakang bermaksud memberitahukan bahwa neneklah yang menyelamatkanku tapi hal itu aku undurkan karena tidak ada nenek di sana. "Kalau mau cerita nanti saja di rumah," bisik nenek di telingaku, sontak aku langsung mengarahkan pandanganku ke arah sisi kiri kupingku dan benar saja nenek sudah ada di sana. Nenek selalu saja buat jantung hampir copot dan benar-benar misterius. "Yaudah ayo sekarang kita pulang ya," kata mama, aku mengangguk. Kami bersama warga lainnya yang ikut mencariku kembali ke rumah. Setelah mengucapkan terimakasih kepada mereka, mereka akhirnya bubar ke rumah masing-masing dan sekali lagi mama dan papa memelukku dengan erat. "Sekarang kamu mandi dulu sana, Papa sudah buatkan kamar mandi kecil di belakang rumah agar kamu gak jauh-jauh lagi," ujar papa penuh pengertian. Mataku berbinar, benar yang aku perlukan saat ini adalah membersihkan tubuh karena sudah begitu lengket dan kotor. "Setelah itu baru kita makan ya, Mama masak masakan kesukaan kamu apalagi kalau bukan nasi goreng." Perkataan mama ini membuat mataku semakin berbinar dan air liur yang hampir saja akan keluar, ya walaupun tadi nenek sudah memberiky makanan tapi kalau sudah ada nasi goreng pasti aku akan lapar lagi. Aku menggangguk dan segera bergegas ke belakang setelah mengambil peralatan mandiku, kamar mandi yang papa buat dengan papan sederhana dan terpal itu memang sederhana dengan air yang akan meresap di tanah. Kamar mandi itu ada di dekat kebun belakang, airnya juga sudah tersedia jadi aku tidak perlu mengambilnya lagi di sumur di dekat prrsawahan. Selesai mandi aku langsung makan nasi goreng buatan mama dengan lahap, dan sampailah pada momen yang tidak aku sukai yaitu ditanyai. "Sebelum istirahat kami akan tanya apa yang terjadi dan Adek harus ceritai semuanya tanpa ada yang ditutupi!" seru papa dengan sorot mata tajam, jika sudah begini entah kenapa papa sangat mirip nenek. Mama juga ikut-ikutan menatapku, padahal aku tidak suka membicarakan masalah ini di depan orangtuaku. Aku lebih suka memendam masalah sendiri. Aku menatap nenek yang duduk di kursi bambu tidak jauh dari kami dengan mata memohon untuk dibantu. "Ya, aku akui aku yang menolongnya." Nenek berdiri. "Ibu!" seru papa kaget. "Dia pergi ke desa tak kasat mata itu juga salahku dan salahmu, sudah biarkan dia istirahat jangan berisik aku mau ngopi dengan tenang." Akhirnya aku terbebas dari interogasi itu, aku sungguh sangat senang. "Terimakasih, Nenek," gumamku yang aku yakin nenek bisa mendengarnya. Sebenarnya rencananya aku ingin memikirkan kata-kata nenek sebelumnya tapi tubuhku sudah sangat lelah dan tanpa aku sadari aku sudah ke alam mimpi. *** Saat aku terbangun hari sudah mulai sore, aku keliar dari kamar dan nenek seperti sudah menyambutku di kursi bambu depan kamar itu. Aku duduk dengan lesu karena habis bangun tidur, seperti biasa nenek menyeruput kopi hitam dengan kelopak mawar dan melati yang diletakkan di piring yang terbuat dari tanah liat. "Orangtuamu sedang mencari rumah di kota seperti biasa," tutur nenek tiba-tiba seperti tau apa yang aku pikirkan. Memang iya aku mencari papa dan mama dan nenek sepertinya menyadari itu. "Nek," panggilku agak takut. Dia hanya menatapku dengan sorot mata dingin seperti bertanya ada apa memanggilnya. "katanya Nenek mau jawab semua pertanyaan Genta," ujarku tanpa ragu tapi tetap masih takut, dan rasa merinding itu masih ada. Nenek memejamkan mata setelah memasukkan beberapa lembar kelopak bunga ke dalam mulutnya dan terlihat begitu menikmatinya. "Untuk peristiwa malam itu ...." Nenek mulai bercerita tentang peristiwa saat kami ke sini pertama kali pada malam hari, setelah aku pergi ke warung saat disuruh mama suasana begitu tegang terasa. Entah kenapa aku bisa merasakan atmosfer di sana walau hanya melalui cerita, terjadi perdebatan anatar nenek dan papa karena nenek bilang papa sangat keras kepala tidak mau menerima bantuannya. "Bantuan apa yang Nenek tawarkan pada Papa?" tanyaku memotong cerita nenek. Nenek terlihat sangat marah ketika aku memotong cerita itu dengan pertanyaan yang aku lontarkan "maaf, Nek." Dengan cepat aku menyadarinya dan meminta maaf. Kemudian nenek melanjutkan ceritanya, bantuan yang ditawarkan nenek adalah sesuatu yang katanya tidak perlu aku tau sekarang tapi sangat berguna bagi papa, bisa melindungi dia dari orang-orang jahat yang ingin merusak karirnya mau pun memfitnahnya. Tidak hanya itu saja, hal itu juga dapat membuat karir papa melejit dan dapat disukai bosnya, entah kenapa sampai di sini kesimpulan yang aku dapatkan adalah bantuan berupa pemasangan susuk. Entahlah kenapa aku bisa sampai pada kesimpulan itu, mungkin setelah kejadian aneh yang aku alami kemarin membuka mataku yang awalnya tidak percaya dunia gaib itu ada menjadi percaya dan mereka hidup berdampingan dengan kita selama ini tanpa kita sadari. Karena papa begitu keras kepala menolak akhirnya nenek menjadi emosi dan memukul papa sampai babak belur, aku tidak bisa membayangkan papa kalah oleh nenek yang sudah tua renta. Mungkin ada hal yang tidak aku tau yang nenek punya setelah apa yang dia ceritakan pada masa lalunya yang bisa membantunya, dan sampai akhirnya aku kembali dari warung dan sudah melihat papa babak belur di depan pintu itu semua adalah karena nenek. Jadi dugaanku benar waktu itu, karena nenek bergaya seperti selesai memukul orang dengan tinju yang dikapalkan di udara. "Aku sudah selesai bercerita apa yang ingin kau tanyakan lagi?" tanya nenek padaku, baru saja aku membuka mulut nenek sudah menyela lagi. "ternyata kau tidak sebodoh yang aku kira, dugaanmu benar semua," timpalnya lagi. "Apakah Nenek bisa membaca pikiran orang? Kenapa Nenek bisa tau apa yang aku duga?" tanyaku terkejut. "Semua tertulis jelas di wajahmu itu." Nenek menunjuk wajahku. Aku tidak percaya hal itu, jawabannya juga tidak memuaskan sama sekali. "Lantas jika begitu kenapa Nenek tau kalau kami pindah ke sini karena Papa dipecat?" tanyaku lagi merasa tidak puas. "Papamu itu pindah ke sini kalau ada masalah saja untuk menitipkanmu atau ibumu agar aman, aku ini Ibunya jelas aku tau wataknya," jawabnya kemudian menyeruput kopi hitam sambil memejamkan mata beberapa saat. Benar juga jawaban yang masuk akal pikirku. "Kenapa para manusia kerdil itu takut pada Nenek? Kenapa mereka mau makan aku dan menyebut aku dewinya?" tanyaku bertubi-tubi. Nenek menjitak kepalaku, "Aww, sakit Nek," keluhku. "Kau itu memang lamban setelah aku memujimu aku tarik lagi pujianku, bukankah tindakanmu dan tindakan mereka sudah menjelaskan semuanya?!" Nada bicara nenek terkesan kesal daripada marah. "Aku kan tidak tau penjelasan dibalik tindakan mereka," gerutuku. "Kau dibawa karena itu maumu kan, kau menawarkan diri menjadi temannya. Lalu dewi bagi mereka adalah persembahan yang akan dimakan bersama-sama setelah dimasak di dalam kuali besar yang kau lihat itu. Jika kau bertanya kenapa mereka melakukan itu karena itu tradisi mereka, dan bagi mereka orang asing adalah santapan. Jika kau bertanya lagi kenapa mereka menganggapmu orang asing padahal kau cucuku itu karena aku belum menandaimu, baru ini Papamu membawamu saat kau sudah remaja. Dulu aku hanya melihat saat kau lahir saja, dan untuk kenapa mereka bisa takut padaku itu akan panjang diceritakan mungkin aku akan ceritakan itu lain waktu." Nenek berdiri dan mengambil sebuah kotak berwarna cokelat berukiran bunga. Aku hanya memperhatikan nenek tanpa bertanya, dia hanya meletakkan kotak itu di tengah-tengah meja dan melihat ke arahku kemudian ke kotak itu lagi setelah beberapa saat. Nenek kemudian mengangguk dan mengembalikan kotak itu ke tempat semula, perilaku nenek sungguh sangat aneh menurutku. "Ada lagi yang membuatmu penasaran?" "Apakah setelah aku ditandai mereka tidak akan mengangguku lagi, Nek? "Tidak, kecuali kalau kau datang ke tempat mereka dan mengusik mereka aku tidak bisa jamin." Jawaban nenek membuatku merinding, mana mungkin aku punya pikiran sejauh itu, lebih baik menghindari masalah daripada mendatanginya. Orang bodoh mana yang mau mendatangkan masalah di hidup mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN