Chapter 3 - Tetangga Flat

1872 Kata
Edward menatap dan mendongak sekilas untuk mengamati bangunan bertingkat di depannya. Sebuah bangunan yang terlihat sudah cukup tua dan tidak terlalu terurus. Dinding luarnya bercat merah tua sudah sedikit memudar warnanya hingga lebih mirip warna pink. Edward sendiri mengitung, kemungkinan ada 5 lantai di sini melihat dari jumlah jendela yang ada. Edward menatap ke jalanan sekitar bangunan tersebut. Jalanan yang sempit dan sangat tidak menarik. Ia bisa membayangkan jika saat malam hari pastilah gang itu akan sangat sepi. Pria itu ingat jika dia harus menempuh waktu 15 menit berjalan kaki untuk mencapai tempat ini dari jalan raya. "Mr. Edward?" Suara berat seorang pria mengalihkan pandangan Edward. Ia menatap seorang pria gemuk berperut buncit dengan bentuk rambut huruf M berwarna coklat tua menyapanya. Pria itu memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan lengan yang telah dilipat sampai siku. "Mr. Edward?" sapa pria itu lagi. Edward menjawabnya dengan anggukan kepala kecil dan tatapan datar. Tanpa senyum sedikitpun. Pria tersebut terlihat sedikit gugup ketika mata biru milik Edward menatapnya tanpa emosi. Seolah-olah dibalik tatapannya itu ada hal mengerikan yang terlalu menakutkan untuk dikuak. Menengguk saliva lalu berdehem, pria yang menyapa Edward tersebut berusaha keras untuk tampak lebih santai. Ia pun mengamati penampilan Edward dari atas ke bawah. Sedikit merasa aneh pada pakaian Edward yang serba hitam mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan untuk beberapa saat, pandangannya tertuju pada sebuah tas besar berwarna hitam dengan bentuk memanjang yang sedang dijinjing oleh pria itu. Tapi tentu saja, pria itu tidak tau dan tidak ingin tau apa isi dari tas tersebut. Dengan gerakan sedikit gugup, pria itu mengulurkan tangan kanannya pada Edward. "Aku Patrick Robinson, pemilik bangunan ini yang semalam kau hubungi." Edward hanya menatap tangan Patrick tanpa membalas, hingga membuat Patrick sedikit merasa tidak enak. Buru-buru, dia menarik kembali jabatan tangannya. "Ayo, kuantar kau ke tempatmu," ajak Patrick segera mengganti topik. Lebih cepat mengantar pria misterius itu ke flat-nya akan semakin baik. Patrick berjalan lebih dahulu memasuki bangunan tua itu diikuti dengan Edward di belakangnya. Patrick menjelaskan pada Edward tentang tarif sewa per bulan. Tarif yang terbilang cukup murah di kota ini. Tapi dirasa cukup adil mengingat bangunan yang ia sewa juga terlihat sudah tua dan sedikit kumuh karena kurangnya perawatan. "Maaf saja di sini tidak ada lift atau eskalator. Percayalah, bahkan bangunan ini sudah sangat tua. Aku ingin merombaknya total tapi terbatas masalah biaya," jelas Patrick pada Edward. Sedangkan Edward sedari tadi hanya diam tidak tertarik pada apapun ucapan yang keluar dari mulut Patrick. Ia sibuk sendiri mengamati setiap lorong dan tangga yang dia naiki. Masing-masing lantai memiliki 3 kamar yang itu berarti dalam bangunan ini ada 15 kamar. "Kamarmu ada di lantai 5. Lantai paling atas. Kuharap kau tidak mengeluh hanya karena tiap hari kau harus naik turun tangga lima lantai," Patrick terkekeh. Edward menatap punggung Patrick dalam diam. Tahu benar jika saat ini Patrick sudah mulai ngos-ngosan kehabisan napas. Mungkin karena tubuhnya yang gemuk menyebabkan dia mudah kelelahan. Padahal ini baru lantai dua. Saat mereka sampai di pertengahan tangga lantai tiga, Patrick terlihat mulai menyerah. Ia berhenti dan sedikit menundukkan tubuh. Napasnya tersengal semakin tidak teratur. "Kau tidak apa-apa, Mr. Robinson?" tanya Edward kemudian. "Aku bisa mencari kamarku sendiri jika kau lelah. Aku yakin aku bisa menemukannya dengan sangat mudah." Patrick menatap Edward dengan tatapan bersalah. Napasnya masih juga belum teratur. Ia mencoba berdiri, menetralkan napas dengan cara mengembuskan pelan melalui mulut. "Aku-" "Selamat pagi, Mr. Robinson. Bisakah aku lewat? Kau–ehm, kalian berdua menghalangi jalanku." Patrick menoleh ketika mendengar sapaan seorang wanita di undakan yang lebih tinggi darinya. Ia mendesah lega ketika melihat wanita itu. Sedangkan si wanita yang diperhatikan hanya menatap skeptis. Kembali berdehem singkat, dia mengulangi kalimatnya. "Ehm, bisakah aku lewat, Mr. Robinson? Aku terburu-buru untuk segera ke kantor," ulang wanita itu lagi. Melirik pada arloji silver yang terpasang pas di tangan kiri. Patrick mendengus pelan. Bukannya memberi jalan untuk lewat, dia justru berdiri tepat di depannya, sengaja menghalangi. Patrick sedikit mendongak melihat wanita itu mengingat dia berada di undakan yang lebih rendah. "Miss Adam," ucap Patrick dengan senyum simpul di wajah, membuat wanita itu yang tak lain adalah Lily mempunyai firasat tidak enak. "Ehm," Patrick berdehem lalu melanjutkan, "Miss Adam, bisakah kau mengantarkan penghuni baru ini ke tempat tinggalnya? Flat-nya tepat berada di samping kanan flat-mu.” Lily mengalihkan pandangannya dari Patrick untuk melihat siapa penghuni baru yang pria itu maksud. Dia pun melihat seorang pria yang memakai mantel hitam, topi fedora hitam, kaos berkerah tinggi menutupi leher yang juga hitam hingga ia menyadari jika semua yang melekat pada tubuh pria itu berwarna hitam. Bahkan tas yang ia bawa pun berwarna hitam. Oh, great Lily. Bertambah lagi tetangga aneh di lingkungan tempat tinggalmu. "Maaf, Mr. Robinson. Tapi aku sudah terlambat," tolak Lily berusaha tampak sopan. Ia berusaha untuk menerobos tubuh Patrick tapi sekali lagi Patrick menghalangi. "Aku baru ingat kau belum membayar uang sewa selama dua bulan." Tubuh Lily kaku sejenak dan ia berharap saat ini pipinya tidak bersemu merah karena Patrick baru saja mempermalukannya di depan orang asing. Lily melirik pada calon tetangga barunya sekedar untuk melihat reaksinya tetapi yang ia dapatkan adalah pandangan datar tanpa minat. Oke, setidaknya pria itu tidak menganggap ini adalah hal yang memalukan. "Maafkan aku tentang itu. Aku berjanji akan membayar secepatnya," tandas Lily ketus sambil sedikit mendongakkan dagu angkuh. Ia tidak akan membiarkan dipermalukan oleh orang lain. Patrick mengangkat sebelah alis. Sudut bibirnya terangkat satu. Ia menyeringai merendahkan. "Benarkah? Bukankah kau gajian masih lama?" "Tidak. Dua atau tiga hari lagi aku sudah gajian dan aku akan membayar uang sewanya padamu secepatnya. Dua bulan-ah, tidak. Tiga bulan secara penuh." Lily sengaja menekan kalimat terakhir dengan tujuan ingin segera mengakhiri percakapan tidak penting dan memalukan ini, karena dibahas di depan pria yang baru saja dia temui. "Aku yakin kau hanya akan membayar uang sewa satu bulan saja karena ... yah, aku tau seberapa besar gajimu." FUCK! Ingin sekali Lily melontarkan umpatan tersebut pada pria bertubuh gemuk di depannya, tetapi Lily tau ia tidak bisa melakukannya jika masih ingin tinggal di sana. "Apa maumu?" desah Lily akhirnya pasrah. Patrick tersenyum penuh kemenangan. "Antar dia ke flatnya.” Patrik menunjuk pada Edward. Edward yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kini menatap Lily. "Baiklah," jawab Lily singkat. "Silakan ikuti aku, Mister." Lily membalikkan badan dengan sedikit menghentakkan kaki. Mood-nya memburuk seketika pagi ini. "Lily. Kau bisa membantunya membawakan barang. Berbaik hatilah sedikit!" seru Patrick yang membuat Lily mendengus kesal. Ia berbalik untuk melakukan perintah Patrick sialan itu, tapi Edward sudah mencegah terlebih dahulu, "Tidak perlu. Aku bisa membawanya sendiri." Lily mengindikkan bahu, diam-diam sedikit merasa lega dan mengucapkan terima kasih pada pria asing itu. Tas yang dibawa oleh calon tetangganya itu tampak berat dan Lily tidak ingin berkeringat sebelum berangkat bekerja. Lalu tatapannya berpapasan dengan pria itu. Sejenak, membuat Lily terpaku pada warna mata biru indah yang dimiliki Edward, tetapi dengan cepat ia memalingkan wajah. Tanpa banyak kata, Lily kembali berbalik dan berjalan menaiki undakan lagi. Dan lagi-lagi ia berusaha menahan umpatan ketika mendengar teriakan Patrick. "Jangan lupa lunasi uang sewanya!" Sial, sial, sial! Rutuk Lily dalam hati. Ingin sekali ia membungkam mulut Patrick dengan high heels yang ia kenakan saat itu juga. Lily terus berjalan tanpa menghiraukan Edward yang berada di belakang dan terus mengikutinya. Saat hendak sampai di tangga menuju lantai lima, Lily sedikit bergidik ketika berpapasan dengan tetangga flatnya yang lain. Seorang pria berkulit gelap dan berambut keriting dengan senyuman dan juga pandangan m***m. Lily pun mempercepat langkah sembari memeluk diri sendiri. Dia tidak ingin tubuhnya menjadi tontonan gratis pria itu meskipun kenyataannya Lily memakai baju kemeja yang longgar dan celana jeans yang sama sekali tidak ketat. "Di sini kamarmu, Mister ...," Lily menghentikan ucapan. Matanya menyipit baru menyadari jika ia belum tau nama pria itu. "Edward," kenal Edward singkat. Masih dengan muka datar dan tanpa repot-repot menjulurkan tangan untuk bersalaman. Lily mengangguk mengerti. Sama sekali tidak mempermasalahkan tentang tata krama pria itu. “Oke ... Edward siapa?" "Hanya Edward." Lily mengernyit.”Kau tidak memiliki nama belakang? Atau kau sedang kabur dari keluargamu yang menyebalkan atau apapun itu hingga kau bersembunyi di tempat ini dan tidak mau menggunakan nama belakangmu?" "Dengan segala hormat, Miss Adam. Kau terlalu banyak bertanya." Lily mendengus mendengar jawaban dari Edward. Hei, apa salahnya dengan bertanya? Toh, jika pria memang benar kabur dari keluarganya, ia pun sama. Tidak akan ada yang menyalahkan. "Kalau begitu aku permisi dulu, Mr. Edward." "Edward saja," tukas Edward membenarkan seraya menatap Lily jenaka. "Oke. Edward. Selamat beristirahat!" Baru saja Lily membalikkan badan dan hendak melangkah pergi, Edward sudah memanggilnya. Membuat Lily memutar bola mata. "Apa lagi?" geram Lily. Menatap kesal pada Edward. "Bagaimana aku bisa masuk ke dalam?" tanya Edward. Lily mengangkat alis mencoba mencerna ucapan Edward. Cukup lama hingga Lily tau apa maksudnya. "Mr. Robinson tadi tidak memberimu kunci kamar ini?" Edward menjawabnya dengan gelengan kepala singkat. Membuat Lily mendesah dan memijit pangkal hidung. Oh, Patrick benar-benar tau cara merusak paginya! Haruskah ia repot-repot mendatangi rumah pria itu yang terletak dua blok dari bangunan ini hanya untuk meminta kunci flat ini? Tapi tak lama kemudian ia mengernyit karena mengingat sesuatu. Lily mendongak ke atas, mengamati sesuatu di celah pintu atas.. "Edward. Bisakah kau membantuku?" Lily bertanya tanpa meninggalkan pandangan matanya dari celah pintu itu. "Membantu apa?" Lily menatap Edwad, lalu dengan isyarat tangan menyuruh Edward untuk mendekat. Edward yang sedikit kebingungan hanya menuruti permintaan gadis itu. "Jongkok!" "Apa?" tanya Edward tak mengerti. "Bukankah aku sudah mengatakan dengan sangat jelas? Apa kau tuli? Aku bilang jongkok, bodoh!" Edward mengerjab tidak percaya. Apakah baru saja gadis di depannya ini mengatainya bodoh dan tuli? Sial! Baru saja Edwar ingin melontarkan kalimat balasan sarkatik dan kejam tetapi Lily sudah mengambil tindakan terlebih dahulu. Dengan tak sabar, ia menarik lalu mendorong tubuh Edward hingga pria itu jongkok tepat di depan pintunya. Dan tanpa banyak bicara, Lily menaiki bahu Edward, membuat Edward terkejut. "Apa yang kau lakukan?!" geram Edward. Gadis ini jelas tidak tau sopan santun dan tidak terduga. "Mengambil kunci kamarmu," jawab Lily dengan santai ketika telah turun dari bahu Edward dengan selamat. Ia mengayunkan tangannya yang memegang sebuah kunci di depan wajah Edward yang sudah berdiri. "Ini. Terimakasih bantuannya." Lily segera mengambil tangan Edward dan meninggalkan kuci tersebut di tangan lelaki itu. Ketika Lily berbalik dan hendak meninggalkan Edward, pria itu mencekal tangan kanannya terlebih dulu. "Tunggu!" seru Edward. Llily menghela napas dalam, berusaha sabar. Harus berapa lama ia tertahan di sana padahal ia sudah terlambat datang untuk ke kantor? Dengan cepat, Lily pun menyentakkan tangan yang masih dicekal Edward dengan kasar. Seolah ia alergi pada pria itu. "Apa lagi?!" desis Lily tertahan. "Kau-" "Aku tau," sela Lily sebelum Edward menyelesaikan ucapannya. Lily menatap bahu mantel hitam milik Edward yang telah kotor karena perbuatannya tadi dan segera merogoh saku jeans-nya. "Ini. Uang ini cukup untuk membawa mantelmu ke laundry," ucap Lily singkat yang membuat Edward sedikit terperangah. Wanita di depannya itu benar-benar ... Tanpa menunggu jawaban atau perkataan dari Edward, Lily segera berbalik dan bergegas meninggalkan Edward yang masih berdiri mematung di sana. Edward baru sadar ketika tubuh Lily sudah menghilang dari pandangannya. Ia menatap kunci di tangan kanan dan dua lembar kertas dollar di tangan kirinya lalu mengumpat pelan. "Sial! Dasar wanita menyebalkan!" umpatnya sebelum memasuki flat dan membanting pintunya keras-keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN