Two

1643 Kata
Aku memelankan langkah kakiku. Mataku menyipit, melihat dengan seksama ke arah meja makan. Biasanya hanya ada ibu dan ayah yang menungguku. Tapi...siapa yang kini duduk tepat di hadapan ibuku itu? "Bis...ma?" kagetku. "Oh...itu dia yang kita tunggu." ujar Ayah sembari menunjukku, "Buruan kesini sayang! Nak Bisma sudah menunggu sejak tadi." sambung Ibu. Kenapa pria bodoh itu di rumahku? Membuat mood pagiku semakin buruk saja. Bak petir yang menyambar di tengah hujan deras. Aku berpikir. Mencari cara agar dapat lari dari ruangan ini. "Em...maaf tapi Mawar udah telat. Mawar langsung ke kampus aja ya." pamitku cepat-cepat pergi. "Mawar!" sergah Ayah berhasil menghentikan langkahku. Aku memejamkan mataku sejenak. Please...please Ayah jangan ngomelin aku di depan pria bodoh itu. Memalukan. "Nak Bisma datang kesini untuk mengantarmu ke kampus. Pergilah bersamanya. Oh ya, dan kau lupa belum bersalaman dengan Ayah dan Ibu." ujar Ayah Aku berbalik badan cepat. Melontarkan tatapan protes pada pria paruh baya yang tak lain adalah Ayah kandungku itu. Baru saja aku hendak membuka mulutku, suara berat Ayah menghentikannya. Seakan Beliau tau, apa yang ada dalam otakku. "Tidak ada penolakan, Mawar. Mulai hari ini Bisma akan antar jemput kamu ke kampus. Ini demi kebaikan kalian kedepannya," Oh...ayolah Ayah...bisakah Ayah memahami anakmu ini? "Tap..tapi Ayah..."ujarku terpotong. "Baiklah kalau Mawar sudah siap, saya juga mau pamitan untuk mengantar Mawar. Karena sepertinya ini sudah terlalu siang." potong Bisma. Dasar pria bodoh itu! Beraninya memotong pembicaraanku. Lihatlah! Sekarang dia bersalaman dengan kedua orang tuaku. Sok manis sekali. Aku menghentakkan kakiku kesal mengikuti langkah si bodoh itu. Ia masuk ke dalam mobilnya. Dan aku masih terdiam di depan mobilnya. "Buruan! Katanya udah telat." ujarnya. "Braaakks!!" aku membanting pintu mobilnya kasar setelah masuk dan duduk di bangku penumpang, di samping pria bodoh itu. "Kau tidak takut jarimu patah karena terjepit pintu mobilku?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. Menatapnya malas tanpa menyahuti pertanyaannya. Baiklah. Sepertinya dia mengerti maksudku. Dia mulai menyalakan mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang ke arah kampusku. Senyap. Tak ada suara yang terlontar diantara aku dan Bisma. Tunggu! Apa lebih baiknya aku memanggilnya 'Paman'? Sepertinya aku lebih cocok memanggilnya begitu. Aku menoleh ke arahnya. Bukan karena dia tampan. Karena merasa aneh saja dengan suasana se-sepi ini. Bahkan biasanya aku memutar lagu dan bernyanyi saat menyetir sendiri. Aku berdecak kesal melihat wajahnya yang seperti es. Dingin. Bisma memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang kampus. Baru saja aku akan membuka pintu, Bisma mencegahku. Aku menoleh malas kepadanya. Pria itu nampak menyeritkan alisnya. "Kamu nggak bilang makasih, atau apa gitu?" tanyanya. What?? Aku sudah telat dan dia menahanku cuma untuk menanyakan hal itu? Bahkan aku juga tak berharap dia menjemputku pagi tadi. "Harus?" tanyaku ragu. Bisma terkekeh kecil. Apa maksudnya? Aku memutar tubuhku kembali menghadap Bisma. Namun pria itu tetap santai seakan tak melakukan hal aneh. "Apa maksud ketawamu tadi? "tanyaku dengan nada kesal. Tentu saja. Aku kesal. Sangat bahkan. "Aku bahkan sudah menjemputmu. Sabar menunggumu yang tak kunjung keluar kamar. Dan mengantarmu dengan selamat sampai kampusmu. Tak ada rasa terima kasih sedikitpun yang ingin kau ucapkan?" tanyanya. Apakah harus? Pamrih sekali orang ini. "Bahkan aku telat masuk kelas dan kamu menahanku hanya untuk ini? Baiklah 'Terima Kasih'!" ujarku pada akhirnya. Dia kembali tertawa. Pasti ia merasa sangat puas sekarang. Tapi aku mengabaikannya. Lebih baik aku segera keluar dari mobil ini dan berlari ke kelas. 'Brakkkss!!' aku membanting pintu mobilnya cukup keras. Biarkan saja jika dia kesal padaku. Mungkin dia akan marah jika mobil Bercedez Benz S 500 L yang harganya lebih dari 3,5 miliar ini rusak karena ku banting pintunya. Tapi aku tak peduli. Dia cukup kaya untuk membeli mobil baru. Jadi aku yakin dia tak akan menuntutku hanya karena hal itu. *   Waktu menunjukkan pukul 12.40. Harusnya dosen itu sudah keluar dari kelas sejak 10 menit lalu. Tapi entah apa yang membuat Beliau begitu betah berdiri di hadapan kelasku. Perutku berkali-kali berbunyi. Hhss.. aku berkali-kali mendesah kesal mengingatnya. Mengingat kebodohanku yang tidak sarapan tadi pagi hanya karena 'pria menyebalkan' itu ada di ruang makanku. 'Ini gara-gara si tua itu.' batinku terus mengumpat. Sedetik setelah dosen yang ku perkirakan usianya sudah hampir menginjak 60 tahun itu pergi, aku bergegas ke kantin. Bahkan sesekali terdengar suara Fany yang memanggil namaku. Aissh...lamban sekali dia. Aku memilih duduk di kursi yang cukup dekat dengan pintu dan segera memesan makanan. "Mawar, lo berapa hari sih nggak makan? Kayak orang kurang pangan aja." kesal Fany yang baru saja datang. Gadis itu sudah duduk di hadapanku. Menampakkan wajah kesal yang sudah biasa ia tunjukkan padaku. "Gue memang lapar. Tadi pagi nggak sempat sarapan gara-gara orang nyebelin itu udah nangkring di meja makan rumah gue." ujarku. Fany menyeritkan alisnya. Baik. Aku paham maksud sahabatku yang super kepo itu. "Aku di jodohkan." ujarku tiba-tiba. Fany tampak terkejut. Tentu saja. Bahkan semalam aku sendiripun terkejut. Pesananku datang dan aku segera menyantapnya. Aku tak lagi memperdulikan Fany yang masih menatapku aneh. "Sama siapa? Ganteng nggak? Sama Pak Brian ganteng mana?" tanya Fany bertubi-tubi. Aku menegakkan badanku untuk dapat melihatnya. Mulutku masih asyik mengunyah makanan yang beberapa detik lalu ku santap. "Oh iya, dan kapan rencananya kalian akan menikah?" "Uhhukkk..." Inilah yang terkadang membuatku merasa aneh memiliki teman seperti Fany. Terkadang mulutnya kesusahan menyaring kalimat-kalimat yang ia pikirkan. "Jawab kek!!" desaknya. Aku menatapnya malas. Aku yakin dia tak akan diam jika aku mengabaikannya. Apa dia tidak mengerti jika saat ini aku benar-benar kelaparan? "Namanya Bisma. Bisma Renandi. Putra tunggal Tuan Rio Renandi dan Nyonya Kamila Renandi. Dia..." ucapku terpotong. "Tunggu! Bisma Renandi? CEO ganteng itu??" Fany nampak antusias dengan pertanyaannya. "Ganteng?"ulangku. Fany mengangguk mantab. Matanya berbinar seakan ia tengah di lamar oleh pria idamannya. "Nggak juga. Lo salah orang kalik. Tapi pokoknya dia terlalu tua untuk gue." balasku yang segera mendapat tatapan protes Fany. Kenapa? Memangnya aku salah? "Oh ya. Dan menyebalkan." Tambahku. Fany terlihat makin tak terima dengan ucapanku. Ada apa dengannya?  Ah..mungkin saja dia baru saja melihat drama Korea baru dan ke-baper-annya terbawa sampai sekarang. But, this is my life, not just 'drama'. "Cuma ada satu Bisma Renandi di negeri ini, Mawar. Tapi dia memang tampan. Sangat tampan. Dan dia juga tidak tua. Usianya masih 28 tahun. Hanya terpaut sembilan tahun dari lo." Fany meralat kata-kataku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Hh...semua akan jadi panjang jika aku memprotes opininya itu. Ingat! Opini. Karena penilaianku terhadap pria bernama Bisma itu tak sama seperti yang terlontar dari mulut Fany. Aku memilih kembali menyantap makananku sebelum dingin. Ccckk...Fany terus mengoceh sembari menemaniku makan. Dia terus saja memuji Bisma seakan Bisma adalah malaikat yang di idamkan semua wanita di bumi.   *   Hh...aku menghela napas kesal melihat Bercedez Benz hitam itu terparkir di depan gerbang kampusku. Sang empu mobil itu tampaknya enggan turun untuk menyambutku walau sekedar hanya khawatir aku tak mengenalinya. Aku masih terdiam di tempatku. Menatap malas ke arah mobil itu. Hingga akhirnya kaca depan mobil itu terbuka, menampakkan pemilik mobil mewah itu. "Ayo naik!" suruhnya. Aku berdecak sebal kemudian mengikuti perintahnya. Dia melirikku sebentar sebelum menyalakan mesin mobilnya. "Tumben nggak banting pintu?" gumam pria itu sesaat setelah menjalankan mobilnya. "Takut suruh ganti kalo rusak." jawabku asal. Pria itu terkekeh kecil. What?? Apa yang lucu? Aku menatapnya kesal. Selalu, entah mengapa aku sangat kesal dengannya. "Apa yang lucu?" tanyaku dengan sedikit nada tinggi. Dia menoleh ke arahku sebentar. "Aku kira kamu takut kejepit pintu." Balasnya santai. Aku melipat tanganku di d**a dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela. "Mawar!" panggilnya. Aku tak menggubrisnya sama sekali. Aku masih asyik dengan kegiatanku. Berdiam diri. "Mawar.." ulangnya dengan volume yang lebih tinggi. Aku kembali menatapnya. "Lo pikir gue budek apa?" kesalku "Ya siapa tau aja." balasnya membuatku semakin naik pitam. Dia hanya terkekeh kecil menanggapiku. Aneh. Kenapa tiba-tiba dia jadi senang mentertawakanku sih? Membuatku makin kesal saja. Entahlah. Apapun  ekspresi yang di tunjukkan pria itu aku sangat tidak menyukainya. Lagi. Dia melirikku sekilas. "Sampai kapan kamu mau nunjukin muka masammu itu?" tanyanya. "Selamanya. Sampai perjodohan kita dibatalin." jawabku cepat. Bisma terdiam cukup lama. Kemudian kembali berucap, "Aku lebih tua dari kamu, bisakah sedikit saja kamu menghargaiku? Bahkan aku selalu bersikap baik padamu." ujarnya. Aku menyeritkan alisku, kemudian melemparkan tatapan protes padanya. Bagian mana yang dia anggap berbuat baik padaku? "Kapan lo baik sama gue?" protesku. Bisma menghentikan laju mobilnya karena lampu merah menyala. Dia menatapku. Kali ini dengan tatapan yang beda dari biasanya. Tatapan kesal tepatnya. "Berhenti berbicara kasar padaku!" suruhnya. "Berhenti nyuruh-nyuruh gue!" balasku garang. Bisma tampak menghela napasnya kesal. "Mana bisa gadis sepertimu terlahir dari keluarga Kusuma yang menjunjung tinggi tata krama? Hh..." sindirnya. Rasanya aku semakin ingin memukul wajahnya yang sok perfect itu. Dengarlah, kata-katanya seakan menunjukkan bahwa dia adalah pria yang sangat berbudi baik. Aku menarik urat senyum di bibirku. Tentu saja hanya senyum palsu. Senyum mengejek tepatnya. "Baiklah Bism...eh maksud saya 'kak', tunggu! Saya harus memanggil Anda apa? Om..Paman...atau...." ucapku terpotong. "Bisma!" potong pria itu cepat. Aku menggeleng cepat. "Bagaimana mungkin saya memanggil Anda dengan nama saja? Bukankah itu sangat tidak sopan?" ucapku lebay. Hh...munafik sekali orang di hadapanku ini. Bisma kembali memijak pedal gasnya setelah lampu hijau menyala. Dia sama sekali tak menggubris ucapan terakhirku tadi. "Kenapa kamu nggak suka banget sama aku?" tanyanya tiba-tiba. Aku beralih menatapnya yang masih fokus menyetir. "Ya kenapa lo pakai nerima perjodohan ini? Kenapa lo diam waktu itu?" tanyaku balik dengan nada mulai tinggi. Bisma melirikku sekilas kemudian kembali fokus pada jalanan di depannya. "Kamu sendiri diam saja nggak protes kemarin." Bisma. Aku mendengus kesal. Aku tak dapat menjawab ucapannya. Aku ingin. Sangat ingin membatalkan perjodohan itu. Tapi aku tak mau Ayah memarahiku dan kecewa padaku. "Kenapa?" ulangnya. Aku menggeleng cepat. "Lo nggak perlu tahu." balasku dingin. "Aku sebenernya bingung kenapa kamu segitu nggak sukanya sama aku. Aku ngerasa nggak pernah bikin salah sebelumnya. Aku juga udah usaha buat baik sama kamu. Bukan karena cinta, suka atau sejenisnya. Ya...aku cuma berusaha aja biar kamu nyaman. Dan itu caraku menghargai kamu. Tapi maaf kalau selama ini usahaku gagal dan malah bikin kamu makin kesel." ucap Bisma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN