Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas persawahan yang membentang tak jauh dari Trowulan, ibu kota Majapahit. Dari kejauhan, atap-atap rumah dan bangunan bata merah tampak seperti bayangan yang diselimuti embun. Udara bercampur antara wangi tanah basah, asap dapur, dan samar bau arang dari bengkel-bengkel pandai besi yang mulai hidup.
Di halaman sebuah rumah joglo sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan bata merah, seorang bocah lelaki berumur sekitar dua tahun tertawa terbahak-bahak saat mengejar ayam jantan yang lari terbirit-b***t.
“Sengkala, hati-hati! Jangan sampai jatuh,” suara lembut Dewi Laras, ibunya, memecah pagi.
Bocah kecil itu berlari dengan kaki mungilnya, kain jarit tipis yang ia kenakan terseret sedikit oleh tanah. Rambutnya yang pendek dan hitam berkilau terkena cahaya matahari yang baru naik. Sengkala belum begitu paham dunia, tapi ia sudah mengenali suara palu dari bengkel ayahnya sebagai irama yang menenangkan.
Tak jauh dari situ, dari arah bangunan beratap rumbia yang lebih gelap, terdengar denting berulang.
Tak. Tak. Tak.
Palu menghantam besi panas di atas landasan, menghasilkan percikan merah yang melompat-lompat seakan bintang kecil yang jatuh ke bumi. Di sanalah Mpu Wira, ayah Sengkala, bekerja sejak fajar, ditemani bara yang belum padam sejak malam sebelumnya.
“Bapak kerja lagi, Bu?” tanya Sengkala dengan mata bulat, berhenti mengejar ayam dan menatap ke arah bengkel.
“Iya, Le,” jawab Dewi Laras sambil mengusap kepala anaknya. “Bapakmu membuat keris untuk orang istana. Keris yang akan dibawa prajurit ke medan laga. Kamu lihat itu asap? Itu tanda besi sedang ditempa jadi kuat.”
Sengkala mengangguk, meski belum benar-benar mengerti. Ia hanya tahu bahwa di balik tembok bengkel itu ada dunia lain: dunia api, besi, dan suara-suara berat yang membuat dadanya bergetar.
“Bolehkah Sengkala masuk lihat Bapak?” suaranya penuh harap.
“Belum saatnya, Le. Kakimu masih kecil. Api di dalam sana bisa membakar kulitmu,” jawab ibunya tegas, namun dengan senyum yang hangat. “Kalau Sengkala besar nanti, Bapak sendiri yang akan menggandeng tanganmu masuk.”
Sengkala memanyunkan bibirnya sebentar, lalu kembali tertawa ketika seekor anak ayam bersembunyi di balik kakinya. Di usia itu, dunia masih sederhana: suara palu, tawa ibu, kehangatan rumah, dan bayangan samar istana di kejauhan.
Siang hari, ketika matahari tepat di atas kepala dan sinarnya memantul di permukaan batu bata merah di kota, Dewi Laras menggendong Sengkala menuju pasar dekat jalur menuju istana. Jalan yang mereka lewati berupa tanah yang sudah padat, di kiri kanan terdapat parit kecil tempat air mengalir. Di kejauhan, tembok-tembok besar Majapahit menjulang, dengan gerbang yang dijaga para prajurit bersenjata tombak dan perisai.
“Bu, itu apa?” tanya Sengkala, menunjuk ke arah bendera-bendera yang berkibar di gerbang.
“Itu lambang kerajaan kita, Majapahit,” jawab ibunya lembut. “Di balik gerbang itu ada istana raja, tempat raja dan para bangsawan tinggal. Di sanalah keputusan besar tentang hidup banyak orang dibuat.”
Sengkala memandang dengan mata berbinar-binar. Meski masih balita, ia merasa seolah ada sesuatu yang berdenyut dari balik dinding-dinding besar itu: kekuatan, rahasia, dan dunia yang jauh lebih luas dari desanya.
Di pasar, keramaian menyambut mereka. Pedagang kain dari pesisir menawarkan kain halus dengan warna-warna cerah. Beberapa pedagang asing, berkulit lebih terang atau lebih gelap, memakai pakaian berbeda dan berbicara dengan logat asing ketika menawar rempah, beras, dan logam.
“Sini, Le, pegang tangan Ibu. Jangan lepas,” kata Dewi Laras pelan.
“Banyak sekali orang, Bu…” Sengkala menatap sekeliling, terpukau.
Ia melihat anak-anak lain berlarian, ada yang membawa mainan dari kayu, ada yang hanya berbekal tongkat. Beberapa anak yang berasal dari keluarga lebih berada tampak memakai kain yang lebih halus, dihiasi kalung kecil di leher mereka. Sementara Sengkala hanya memakai kain sederhana, tapi itu tak mengurangi rasa penasarannya terhadap dunia sekitar.
Seorang pedagang tua tertawa ketika Sengkala hampir menabrak keranjang buah.
“Hahaha, anak siapa ini? Matanya seperti mau menelan seluruh dunia,” ujar pedagang itu.
“Ini anak sulungku, Pak,” jawab Dewi Laras sopan. “Namanya Sengkala.”
“Sengkala?” Pedagang itu mengulang sambil mengelus jenggotnya. “Nama yang berat. Semoga ia bisa menjadi penanda zaman yang baik, bukan penanda keruntuhan.”
Dewi Laras tersenyum tipis. “Kami hanya berharap ia menjadi anak yang lurus dan berguna, Pak. Soal zaman… biarlah para dewa dan raja yang menentukan.”
Sengkala tidak mengerti seluruh percakapan itu, tapi ia menangkap satu hal: namanya membuat orang dewasa berbicara dengan nada lebih pelan, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik suku kata itu.
Malam hari, selepas makan sederhana dari nasi, sayur, dan sedikit ikan, keluarga kecil itu berkumpul di serambi rumah. Angin membawa suara samar gamelan dari kejauhan, mungkin dari upacara atau hiburan di lingkungan istana. Langit penuh bintang, seakan menyelimuti seluruh Majapahit dengan selendang bercahaya.
Sengkala duduk di pangkuan Mpu Wira. Di dekat kaki mereka, sebuah celengan tanah liat berbentuk binatang kecil diletakkan. Walau belum mengerti benar, Sengkala tahu bahwa uang kepeng yang sesekali dimasukkan ibunya ke celengan itu adalah harapan kecil untuk masa depan.
“Bapak,” suara Sengkala pelan, “di dalam istana, apa ada api seperti di bengkel Bapak?”
Mpu Wira tertawa kecil. “Ada, Le. Tapi api di istana berbeda. Api di bengkel membentuk besi agar berguna. Api di istana… kadang membakar hati manusia.”
Sengkala mengerutkan kening, bingung. “Membakar hati? Sakit?”
“Mungkin tidak kelihatan seperti luka bakar,” sela Dewi Laras, ikut tersenyum, “tapi api di hati bisa membuat orang serakah, marah, atau lupa pada orang kecil seperti kita.”
“Kenapa orang mau hatinya dibakar, Pak?” tanya Sengkala lagi.
“Karena mereka mengejar sesuatu yang bernama kekuasaan,” jawab Mpu Wira pelan. “Kekuasaan itu kuat, bisa melindungi banyak orang, tapi juga bisa menghancurkan lebih banyak lagi kalau tak dijaga.”
Sengkala memandang telapak tangan ayahnya yang penuh kapalan. “Bapak tidak mau kekuasaan?”
“Aku sudah cukup dengan api di bengkelku,” kata Mpu Wira. “Tugasku membuat s*****a yang baik. Tapi ingat, Le… s*****a bukan untuk membanggakan diri. s*****a dibuat agar orang berpikir seribu kali sebelum melukai sesamanya.”
Dewi Laras menatap suaminya dengan tatapan hangat, lalu menoleh pada Sengkala.
“Kau lihat, Le? Bapakmu keras di luar, tapi lembut di dalam. Kamu harus belajar dari api dan dari hati Bapak.”
Sengkala mengangguk, meski sebagian besar kata-kata itu masih melayang-layang di kepalanya seperti embun yang belum turun.
Saat usianya mulai mendekati lima tahun, dunia Sengkala semakin luas. Ia mulai diizinkan masuk mendekati pintu bengkel, meski belum boleh menyentuh apa pun.
“Hanya sampai ambang ini, Le,” kata Mpu Wira, menunjuk balok kayu di lantai yang menandai batas aman. “Di dalam sini, api dan besi belum mengenal sayang. Kalau kamu lengah, mereka bisa melukaimu.”
Sengkala berdiri di ambang, menatap takjub. Di dalam bengkel, tungku menyala merah, tungku ditiup agar api membesar. Batang-batang besi disusun rapi di sudut, sementara beberapa bilah keris setengah jadi tergeletak, pamornya sudah mulai tampak meski belum dipoles.
“Bapak, ini keris untuk siapa?” tanya Sengkala, menunjuk sebuah bilah yang lebih rumit dari yang lain.
“Untuk seorang prajurit istana,” jawab Mpu Wira. “Katanya ia sering ikut mengawal raja saat upacara di dalam kota.”
“Berarti keris Bapak ikut masuk istana?” Mata Sengkala berbinar.
“Sudah sejak lama, Le.” Mpu Wira tersenyum bangga, tapi ada bayangan lelah di matanya. “s*****a-s*****a yang keluar dari bengkel ini sudah lama menjadi bagian dari kisah kerajaan. Kalau kamu perhatikan baik-baik, mungkin suatu hari kamu akan melihat keris kita di pinggang seorang ksatria yang lewat di jalan depan rumah.”
Sengkala menelan ludah, membayangkan dirinya suatu hari nanti berdiri sebagai laki-laki dewasa yang juga ikut menempa besi. Suara tungku, debu arang di udara, dan cahaya merah menyala itu menempel dalam ingatannya.
“Bolehkah Sengkala juga membuat keris nanti?” tanya Sengkala dengan suara lirih, hampir seperti takut jawabannya adalah tidak.
Mpu Wira tidak langsung menjawab. Ia memandang putranya lama, lalu tersenyum tipis.
“Jika hati dan tanganmu siap, bukan hanya keris, kamu bisa membuat pusaka. Tapi ingat, menjadi empu bukan hanya soal pandai memukul besi. Kamu harus siap memikul beban dari setiap bilah yang kamu lahirkan.”
“Beban?” Sengkala mengulang.
“Setiap s*****a yang lahir dari tanganmu, suatu hari akan memilih tuannya sendiri. Bisa jadi tuan yang gagah berani dan adil, tapi bisa juga tuan yang serakah dan kejam. Empu harus siap menanggung tahu bahwa karyanya dipakai untuk hal yang tak selalu ia setujui.”
Dewi Laras yang sedari tadi berdiri di belakang, mendengarkan, menarik napas pelan. Ia menatap wajah anaknya yang masih bersih dari luka dan noda dunia.
“Untuk sekarang, biarkan ia menjadi anak kecil dulu, Wira,” kata Dewi Laras lembut. “Biar ia main dengan ayam dan lumpur, sebelum bermain dengan api dan besi.”
Mpu Wira tertawa pelan. “Benar juga.” Ia mengusap kepala Sengkala. “Pergilah bermain dulu, Le. Dunia orang dewasa akan datang kepadamu cepat atau lambat.”
Sore hari, ketika matahari condong ke barat dan cahaya keemasan membasuh kota, Sengkala sering diajak berjalan ke dekat tembok istana. Dari sana, ia bisa melihat sekilas dunia yang selama ini hanya diceritakan lewat dongeng ayah dan ibunya.
Kadang, rombongan prajurit berkuda lewat. Mereka memakai baju perang, membawa tombak, dan di pinggang mereka terikat keris dengan hulu berhias ukiran. Sengkala selalu berusaha mengintip, mencari-cari apakah ada keris yang bentuknya mirip dengan yang pernah ia lihat di bengkel.
“Bu, lihat! Itu kerisnya seperti yang di rumah,” seru Sengkala suatu hari, menunjuk prajurit yang lewat.
“Shh, pelan, Le,” ujar Dewi Laras. “Tapi, ya, mungkin benar. Kerajaan ini besar, tapi dunia kita dan dunia istana terhubung lebih dekat dari yang kita kira.”
“Kalau keris itu hilang, apa prajuritnya marah pada Bapak?” tanya Sengkala polos.
“Kalau hilang, bisa kehormatannya jatuh, Le,” jawab Dewi Laras. “Keris bukan sekadar benda. Itu bagian dari jiwa seorang prajurit.”
Sengkala mengangguk, tiba-tiba merasa bahwa besi, api, dan bunyi palu di rumahnya bukan lagi hanya suara latar. Itu adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang sudah menantinya bahkan ketika ia masih berlari mengejar ayam di halaman.
Masa kecilnya mengalir pelan seperti air parit di pinggir jalan menuju istana: jernih, tenang, tapi membawa benih-benih yang suatu hari akan bertumbuh menjadi badai. Di antara tawa bocah dan denting palu, di antara dongeng tentang raja hebat dan bisik-bisik tentang perang di batas negeri, Sengkala kecil mulai membentuk pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Dan di atas semuanya, Majapahit masih berdiri angkuh, megah dalam kejayaannya—belum menyadari bahwa di suatu titik jauh di depan, amuk sejarah sudah menunggu, dan seorang anak bernama Sengkala akan berada tepat di tengah pusarannya.
***
Pagi di rumah keluarga Mpu Wira selalu dimulai dengan ritme yang sama, seperti denyut nadi kerajaan Majapahit yang tak pernah lelah. Fajar baru menyingsing ketika Dewi Laras bangun, menyalakan api di tungku dapur dari kayu jati dan arang batok kelapa. Asap tipis naik ke atap rumbia, membaur dengan aroma nasi liwet yang mulai mendidih di periuk tanah liat. Sengkala kecil, yang kini berusia sekitar empat setengah tahun, masih meringkuk di tikar pandan di sudut ruangan, kain sinjangnya yang sederhana—sehelai kain katun polos berwarna cokelat pudar, dililit longgar di pinggang hingga lutut—sedikit kusut karena tidur nyenyak.
“Bangun, Le. Hari baru menyapa,” bisik Dewi Laras sambil mengguncang bahu anaknya pelan. Ia sendiri mengenakan Bhusana Gagampang Putri khas rakyat biasa Majapahit: sinjang katun bergaris halus yang dililit dari pinggul hingga pergelangan kaki, ditutupi sampir tipis di bahu kiri, rambutnya disanggul kekendon sederhana tanpa tusuk konde mewah, hanya dihiasi suweng bunga kamboja segar. Tak ada perhiasan emas seperti bangsawan; hanya gelang kayu dari rotan di pergelangan tangan.
Sengkala menggeliat, matanya setengah terpejam. “Masih ngantuk, Bu...”
“Sudah, mandi dulu. Air dari sumur sudah siap,” kata ibunya sambil menyeretnya ke halaman belakang. Di sana, sebuah ember tanah liat berisi air hujan yang ditampung semalam menunggu. Sengkala mencuci muka dengan tangan kecilnya, air dingin menyegarkan kulitnya yang kecokelatan karena sering bermain di bawah matahari Trowulan.
Setelah sarapan nasi hangat dengan urap sayur dan ikan asin, Mpu Wira memanggil dari bengkel. “Le, sini sebentar. Bantu Bapak angkat kayu arang.”
Sengkala berlari kecil, sinjangnya berkibar ringan. Pakaiannya biasa saja untuk anak rakyat jelata: sinjang katun pendek yang kadang tergulung agar tak menghalangi lari, d**a t*******g seperti kebiasaan anak kecil Majapahit yang belum memasuki usia dewasa, rambut pendek acak-acakan tanpa gelung. Ia mengangkat seikat arang kecil—tak lebih besar dari lengannya—dan mengikuti ayahnya ke tungku.
“Ini api pagi, Le. Selalu lapar,” kata Mpu Wira sambil meniup tungku bambu hingga bara menyala merah. Ia mengenakan sinjang gagampang putra: kain katun polos dililit pinggang dengan sabuk rotan sederhana, bahu dilapisi kain pendek sebagai pelindung panas, kalung kayu dari akar jati menggantung di d**a berototnya.
“Api lapar apa, Pak?” tanya Sengkala penasaran, ikut-ikutan meniup hingga wajahnya menghitam debu.
“Api lapar besi dan kayu. Kalau tak diberi makan, ia marah dan padam,” jawab ayahnya sambil tertawa. “Seperti kamu kalau lapar, langsung rewel.”
Sengkala terkikik, lalu membantu menyusun arang. Rutinitas ini berlangsung setiap pagi: membersihkan landasan besi dari jelaga yang digunakan di malam sebelumnya, menyusun batang logam dari tambang lokal di pedalaman, dan memeriksa pamor awal pada bilah yang baru setengah jadi. Tak ada kata bosan bagi Sengkala; denting palu ayahnya seperti lagu pengantar tidur.
Siang hari adalah waktu bermain, ketika matahari membara di atas kota Trowulan. Anak-anak desa berkumpul di lapangan berdebu dekat sawah, memakai pakaian serupa: sinjang katun murah yang sering robek karena main kasar, d**a terbuka agar bebas bergerak, kaki t*******g atau dibalut kain sisa. Tak ada sepatu mewah seperti bangsawan; hanya sandal dari kulit kerbau untuk yang mampu.
“Hei, Sengkala! Main congklak yuk!” seru Mbok Sari, gadis seusianya dari tetangga, sinjangnya bergaris kawung halus, rambutnya diikat ekor kuda sederhana.
“Congklak? Aku duluan!” balas Sengkala, duduk di tanah. Mereka membawa papan congklak dari kayu jati buatan sendiri: lubang-lubang dicetak dengan pisau, biji-bijian kacang hijau atau batu kerikil sebagai gundu. Sengkala membanting empat kerikil ke tanah, tangkap satu-dua-tiga sambil tertawa riang.
“Eh, kalah lagi kamu!” kata teman laki-lakinya, Jaka, yang sinjangnya lebih pendek, memegang enggrang dari bambu berlubang. “Sekarang main enggrang!”
Enggrang terbang tinggi, ditendang kaki t*******g mereka bergantian. Lalu giliran gobak sodor: dua kelompok saling blokir dengan tangan terentang, larilah menabrak bahu sambil berteriak. “Awas! Jangan pegang pinggang!” jerit Jaka saat Sengkala lolos.
Tak jauh, anak-anak bangsawan kecil terlihat dari kejauhan, dekat gerbang istana. Mereka main layang-layang dari daun lontar berbentuk burung garuda, atau petak umpet di taman candi kecil, pakaiannya lebih halus: sinjang sutra tipis dengan kampuh sampir, gelang rotan berukir sederhana.
“Kenapa anak istana mainnya beda, Le?” tanya Mbok Sari sambil memegangi enggrangnya.
“Pakaian mereka licin, takut kotor,” jawab Sengkala polos. “Kita main bebas, lebih seru!”
Mereka lanjut main daun pintu: daun lontar digulung jadi bola, ditendang saling serang. Mainan lain seperti celengan babi tanah liat—bentuk binatang suci di kepercayaan desa—dibawa Jaka untuk pamer. “Ini punyaku, masukin kepeng dapat rezeki!”
“Punyaku lebih besar!” Sengkala angkat celengannya sendiri, retak di hidungnya karena jatuh kemarin.
Tawa mereka menggema, bercampur suara pedagang keliling yang lewat: “Rempah Cina! Kain pesisir!” Pasar dekat situ ramai dengan ibu-ibu belanja, mengenakan sinjang dengan pola gringsing sederhana.
Sore menjelang, rutinitas kembali ke rumah. Sengkala bantu ibu cuci sinjang kotor di kali kecil, air jernih mengalir dari irigasi kerajaan yang rapi. “Le, sinjangmu bolong lagi. Besok Ibu jahit,” kata Dewi Laras sambil menggosok kain dengan abu vulkanik.
“Maaf, Bu. Mainnya kejam,” Sengkala meringis.
“Biasa anak laki. Tapi ingat, sinjang ini warisan Bapak dari kakek. Jaga baik-baik.”
Malam tiba, keluarga makan bersama: sayur genjong, tempe bacem, sambal terasi. Sengkala duduk anteng dengar ayah cerita.
“Hari ini Bapak tempa tombak untuk prajurit Bhayangkara,” kata Mpu Wira. “Mereka jaga istana dari pemberontak di Sumatra.”
“Pemberontak jahat, Pak?” tanya Sengkala sambil kunyah tempe.
“Bukan selalu jahat, Le. Kadang mereka ingin bebas dari pajak kerajaan. Majapahit besar, tapi besarnya butuh keseimbangan. Kalau miring, jatuh.”
Dewi Laras menambahkan: “Makanya kita rajin bekerja. s*****a Bapak membantu menjaga keseimbangan itu.”
Sengkala mengangguk, capek tapi bahagia. Ia rebah di tikar, dengar gamelan samar dari istana, bayang sinjang bergoyang di dinding lentera. Rutinitas harian ini—dari bara pagi hingga dongeng malam—adalah akarnya di tanah Majapahit yang subur, meski benih amuk sudah tertanam diam-diam di kejauhan.
***
Ketika Sengkala menjelang usia lima tahun, keluarga Mpu Wira mendapat kehormatan tak terduga dari istana Majapahit. Sebuah surat dari seorang adipati setempat, ditulis pada daun lontar dengan tinta hitam dari jelaga, menyatakan bahwa anak pandai besi kerajaan layak belajar adat dasar istana. Bukan untuk menjadi bangsawan, tapi agar paham etika ketika menghadap tuan besar saat mengantar s*****a. "Anak empu harus tahu sopan santun di hadapan raja," tulis surat itu. Mpu Wira bangga sekaligus cemas; ini langkah pertama Sengkala ke dunia yang lebih luas dari bengkel dan sawah.
Pagi itu, Dewi Laras menyisir rambut Sengkala dengan sikat dari tulang kerbau, mengikatnya jadi ekor kecil sederhana—bukan sanggul rumit seperti anak bangsawan. Ia memakaikan sinjang katun baru bergaris halus, dililit rapi hingga lutut, ditambah sampir tipis di bahu kanan sebagai tanda sopan. Di leher, kalung rotan polos dari ayahnya. "Hari ini kamu seperti prajurit kecil, Le. Jangan lari-larian, jaga sikap," pesan ibunya sambil menyematkan suweng melati di ikat pinggang.
Sengkala mengangguk serius, meski hatinya berdebar. "Sengkala janji, Bu. Takut salah bicara sama Guru."
Mpu Wira mengantarnya naik gerobak sapi hingga gerbang kecil sekolah dekat istana—sebuah pendopo terbuka dari kayu jati dengan atap rumbia, dikelilingi taman kecil yang ditanami tanaman obat yang berpetak-petak. Di sana, Guru Damar, seorang brahmana tua berjubah putih panjang (kain sutra tipis bergaris emas, simbol kasta pendeta), duduk bersila di tikar pandan. Rambutnya gondrong, kalung rudraksha menggantung di d**a kurusnya. Ia mengajar anak-anak dari keluarga pejabat rendah dan pengrajin istimewa, mempersiapkan mereka agar paham Astabhrata—delapan kewajiban raja yang jadi pedoman hidup rakyat.
"Selamat datang, Sengkala putra Mpu Wira," sapa Guru Damar dengan suara tenang seperti alunan gamelan. "Duduklah di sini, dekat aku. Hari ini kita belajar sembah hormat dan tata krama istana."
Sengkala duduk bersila, kakinya gemetar sedikit. Di sekitarnya, lima anak lain: dua putra kecil adipati berpakaian sutra halus dengan gelang emas tipis, dan tiga anak pengrajin seperti dirinya. Mereka semua diam, hanya suara angin menyapa daun lontar.
"Pertama, sembah hormat," kata Guru Damar, bangkit pelan. Ia menunjukkan gerakan: tangan kanan menutup telapak kiri, dibawa ke d**a, lalu menunduk dalam sembah puspa—tiga kali anggukan lambat. "Ini untuk raja atau mahapatih. Kepala suci, jangan diangkat terlalu cepat. Ingat, jiwa bersemayam di ubun-ubun."
"He Guru, kalau untuk adipati gimana?" tanya seorang anak bangsawan, Raden Bima, suaranya genit.
"Untuk adipati, sembah madya—dua kali angguk saja. Tapi selalu dengan senyum tulus, bukan canggung seperti monyet lapar," jawab Guru Damar sambil tertawa kecil, membuat anak-anak ikut cekikikan.
Sengkala mencoba, tapi tangannya gemetar. "Begini, He Guru?" Ia ulangi gerakan, tapi anggukannya terlalu cepat.
"Hampir benar, Nak. Lebih lambat, seperti air mengalir di parit istana. Lagi!" Guru Damar membetulkan posisi tangan Sengkala. "Bagus. Sekarang, bicara di istana: jangan pandang mata tuan langsung, tatap d**a. Mulai kalimat dengan 'Kawula aturkan pangabdian...' meski hanya antar keris."
Anak-anak bergantian latihan dialog. Raden Bima duluan: "Kawula aturkan pangabdian, Gusti Adipati!"
"Terlalu keras suaranya, seperti genderang perang!" komentar Guru Damar. "Suara halus, tapi tegas."
Giliran Sengkala. "Kawula... aturkan pangabdian, He Guru," katanya pelan, mata menunduk.
"Bagus sekali! Kau anak empu, tapi suaramu seperti pendeta. Ingat, di istana, diam lebih berharga dari kata manis."
Pelajaran berlanjut ke upacara dasar. Guru Damar membawa daun lontar kecil bertulis aksara Jawa Kuno, membacakan pupuh dari Nagarakertagama—karya Empu Prapanca yang memuji kejayaan Majapahit. "Dengar ini: 'Wanguntur punika tan paewara...' Alun-alun istana pusat dunia kita. Saat upacara Sraddha—peringatan leluhur—rakyat hormat raja sebagai Chakrawartin, penguasa delapan penjuru."
Ia ajarkan Astabhrata sederhana: "Raja beri perlindungan, rakyat beri setia. Delapan wajib: lindungi yang lemah, jaga keadilan, hormati pendeta..."
"He Guru, kalau raja lupa Astabhrata, apa kerajaan akan ambruk?" tanya Sengkala polos, ingat cerita ayah soal pemberontak.
Guru Damar terdiam sebentar, matanya tajam. "Pertanyaan bagus, Nak. Sejarah bilang ya. Tapi kita bukan hakim raja. Tugas kita: patuh dan benar. Majapahit kuat karena keseimbangan—raja di puncak, rakyat di akar seperti pohon beringin."
Anak-anak latihan baris-berbaris untuk upacara panen: pegang daun sirih sebagai simbol upeti, jalan pelan sambil nyanyi kidung pendek. "Panen raya, syukur dewa Sri..." nyanyi mereka serempak, suara anak-anak bergema di pendopo.
Sengkala kesulitan baris lurus. "Maaf, He Guru, kakiku pendek," gumamnya saat tersandung.
"Tidak apa, Nak. Adat istana bukan soal kaki panjang, tapi hati lurus. Latihan di rumah, bayangin kamu antar keris ke mahapatih."
Siang hari, pelajaran dijeda dengan istirahat. Guru Damar bagi ketupat kecil dan lepet—makanan ritual Majapahit dari daun janur, isinya beras ketan gurih. "Ini warisan leluhur, dimakan saat selametan. Syukur atas tanah subur Trowulan."
"He Guru, di istana ada wayang?" tanya Raden Bima sambil mengunyah.
"Ada, Nak. Wayang kulit dari kulit kerbau, diukir tipis, gerakkan dalang di upacara besar. Gambarkan Ramayana, Arjuna wiwaha—hikmah buat raja dan rakyat."
Sengkala membayangkan: "Sengkala mau liat wayang di istana suatu hari."
"Mimpi bagus. Tapi kuasai adat dulu. Kalau salah sembah, bukan wayang, malah cambuk yang kamu dapat," goda Guru Damar, tapi nada suaranya penuh dorongan.
Pelajaran sore fokus tata cara hadap: duduk sembah, dengar sabda raja tanpa potong, jawab 'Ingsun nurut' (saya taat). Mereka latihan skenario: pura-pura adipati datang.
"Kawula hormat, Gusti!" seru Sengkala, sembah sempurna kali ini.
"Bagus! Kamu siap antar pusaka ayahmu," puji Guru Damar.
Sore saatnya untuk pulang, Sengkala cerita ke orangtua. "Bapak, Sengkala belajar sembah puspa! Besok latihan lagi."
Mpu Wira tersenyum. "Itu awal jalanmu ke istana, Le. Tapi ingat, adat bagus kalau hati ikut benar."
Dewi Laras peluk anaknya. "Kamu pintar, Nak. Majapahit butuh orang seperti kamu—bukan cuma prajurit, tapi penjaga adat dari akar."
Di usia lima tahun itu, Sengkala mulai paham: dunia bengkelnya terhubung ke istana megah. Adat istiad seperti akar beringin, menyangga pohon kerajaan. Tapi di balik pelajaran sopan, benih rasa ingin tahu tumbuh—apa jadinya kalau akar goyah?
***
Hari-hari Sengkala kecil berlalu seperti alunan gamelan yang pelan namun tak pernah putus, di mana rutinitas bengkel keluarga bercampur dengan hembusan angin dari sawah Trowulan yang membawa aroma tanah basah dan dupa pagi. Kini di usia empat setengah tahun, ia semakin sering ikut ayah ke pinggir sungai Brantas untuk mencuci besi mentah—batang logam kasar dari tambang pedalaman yang dibawa pedagang dengan gerobak sapi. Pagi itu, matahari baru menyembul di balik bukit, cahayanya memantul di air sungai yang jernih, mengalir deras dari irigasi kerajaan yang dirancang sempurna untuk menyuburkan ribuan hektar sawah.
“Sengkala, pegang ember ini baik-baik. Jangan sampai jatuh ke air,” kata Mpu Wira sambil membungkuk, tangannya yang kapalan menggosok besi dengan pasir vulkanik hingga kinclong. Ia mengenakan sinjang gagampang basah kuyup di bagian bawah, sabuk rotannya longgar karena basah, d**a berototnya berkilau berkeringat.
Sengkala mengangguk, ember tanah liat di tangannya berat tapi ia tahan. Sinjang katun pendeknya tergulung agar tak basah, kakinya t*******g menginjak lumpur sungai yang licin. “Pak, besi ini dari mana? Dari gunung berapi?”
Mpu Wira tertawa pelan, suaranya bergema di tepi sungai. “Dari tambang di lereng Gunung Kelud, Le. Pedagang membawa dengan kerbau, ditukar dengan keris kita. Majapahit besar karena besi bagus ini—tombak Bhayangkara, keris adipati, semua dari tangan empu seperti Bapak.”
Di kejauhan, perahu dagang melintas: pedagang Cina dengan kain sutra berwarna-warni, bercampur rempah pala dan cendana dari Maluku. Mereka berteriak saling sapa, suara logat asing bercampur bahasa Jawa kasar. “Itu kapal dari Tumasik, Buah!” tunjuk Sengkala bersemangat.
“Iya, mereka bawa barang aneh. Tapi kita tukar dengan keris. Kerajaan butuh itu untuk jaga pulau-pulau yang jauh,” jawab ayahnya sambil mengangkat besi ke keranjang anyaman.
Pulang ke rumah, Dewi Laras sudah menyiapkan sarapan: nasi liwet dengan urap kangkung, tempe goreng, dan sambal terasi pedas dari cabai liar. Mereka makan bersila di tikar pandan, tangan langsung mengambil nasi basah yang terkena kuah—kebiasaan Majapahit tanpa sumpit, hanya membilas mulut menggunakan pinang sirih. “Le, hari ini belajar lagi sama Guru Damar?” tanya ibunya sambil mengunyah sirih, mulutnya merah pinang.
“Iya, Bu. Latihan sembah madya. Tapi Sengkala mau main enggrang dulu sama Jaka,” jawab Sengkala sambil mengusap tangannya ke daun pisang.
“Main boleh, tapi jangan lupa cuci tangan. Nanti kotor saat masuk pendopo guru,” tegur Dewi Laras lembut, sambil menambahkan nasi di periuknya.
Waktu berganti siang menjadi waktunya untuk bermain di lapangan desa, dekat pasar yang ramai pedagang keliling. Sengkala dan teman-temannya—Jaka si petani, Mbok Sari anak penenun, dan Raden Kecil dari keluarga adipati rendahan—berlarian dengan enggrang bambu berlubang, ditendang tinggi hingga hampir menyentuh awan. Pakaian mereka compang-camping: sinjang robek di lutut, d**a t*******g penuh debu tanah liat merah khas Trowulan.
“Tangkap ini, Sengkala! Enggrangku paling tinggi!” teriak Jaka, enggrangnya melayang, diikuti tawa riang.
Sengkala melompat, menangkap enggrang dengan kaki lincahnya. “Haha, kalah kamu! Sekarang gobak sodor. Aku jaga gerbang!”
Mereka membentuk barikade manusia: tangan saling genggam, badan menegang untuk memblokir teman lawan. “Aduh! Jangan dorong pinggang!” jerit Mbok Sari saat tersingkir. Lalu ganti congklak: papan kayu dengan 16 lubang, gundu dari biji kacang tanah dan kerikil sungai. Sengkala pandai menangkap tiga gundu sekaligus, “Lihat, empat poin!”
Raden Kecil bawa mainan istimewa: layang-layang daun lontar berbentuk garuda, diikat benang rami. “Ini dari istana! Kalau bulan purnama, kita lepas bareng sambil nyanyi kidung!” katanya sombong, sinjang sutranya berkilau beda dari katun kasar mereka.
“Garuda terbang tinggi, seperti Majapahit menguasai langit!” balas Sengkala, matanya berbinar. Mereka melepas layang bareng, angin siang membawa melayangkan layangan di atas sawah hijau.
Tak jauh dari sana, pasar bergolak: ibu-ibu menawarkan kain gringsing bergaris kawung, pedagang rempah menjerit “Pala Maluku segar! Cendana Cina murah!” Anak-anak lari menghindari kerbau pedagang, bau keringat dan dupa bercampur. Sengkala membeli permen jahe dari kepeng celengannya—celengan babi tanah liat retak yang ia tabung dari hasil membantu bapak.
Sore, kembali ke pelajaran bersama Guru Damar di pendopo. Hari ini tema Sraddha—upacara leluhur. Guru Damar, jubah putihnya harum kemenyan, memegang daun lontar Nagarakertagama. “Duduk rapi! Hari ini latihan kidung panen: ‘Dewi Sri kasih subur, raja beri lindung...’”
Anak-anak nyanyi serempak, suara polos bergema. Sengkala cepat hafal: “He Guru, kalau Sraddha di istana, apa raja ngasih emas ke empu?”
Guru Damar senyum bijak. “Bukan emas doang, Nak. Tuah dan hormat. Raja Hayam Wuruk ajar Astabhrata: lindungi rakyat seperti bapak lindungi kamu. Kalau lupa, kerajaan miring seperti sawah kering.”
Raden Bima tanya: “He Guru, wayang di istana cerita tentang apa?”
“Ramayana, Arjuna wiwaha. Dalang menggerakkan wayang kulit di balik kelir, gamelan mengiringi. Mengajarkan kesetiaan vs pengkhianatan,” jawab guru. “Besok upacara kecil: bawa daun sirih sebagai upeti.”
Istirahat, waktunya untuk ketupat lepet gurih. “Ini makanan ritual, syukur kepada dewa. Makan yang pelan, seperti raja makan nasi menggunakan tangan,” kata Guru Damar.
Sore saatnya untuk pulang, Sengkala membantu ibu anyam tikar rotan—kerajinan desa untuk ditukar dengan beras. “Bu, tadi nyanyi kidung. Majapahit seperti garuda, ya?”
Dewi Laras tersenyum. “Iya, Le. Tapi garuda butuh sayap kuat dari rakyat kecil seperti kita.”
Malamnya, keluarga berkumpul di serambi mendengar gamelan jauh dari istana—mungkin latihan tari bedhaya. Mpu Wira bercerita: “Dulu Bapak mengantar tombak ke adipati. Mereka sedang makan serangga panggang, katanya tuah.”
“Serangga? Iiih!” Sengkala meringis.
“Tapi kita makan ikan sungai. Cukup, Le. Besok bantu Bapak poles pamor keris,” kata ayah.
Sengkala rebahan mendengar angin malam, bayangan istana samar di pikiran. Kehidupan lambat ini—sungai, pasar, pelajaran, bara—adalah akarnya. Tapi bisik angin membawa nada aneh: denting genderang perang dari utara, tanda Gajah Mada siapkan Sumpah Palapa. Amuk masih jauh, tapi benihnya sudah tumbuh di tanah subur Majapahit.