Perubahan

1159 Kata
Bicaralah, aku tidak punya kekuatan untuk membaca pikiran mu. Markas kali ini berubah tempat. Tidak lagi di halaman belakang rumah orang. Kali ini, tempatnya jauh lebih luas dan dingin karena adanya pendingin ruangan. Dan kali ini, ruangan itu benar-benar dipenuhi semua Anggota Khusus. Tempat kali ini adalah ruang keluarga rumah Gilang. Yang secara tidak langsung Gilang mengusir Kiara dari tempat ternyaman cewek itu. Sami, si narasumber masih setia berbicara untuk menjelaskan masalah baru yang sedang dihadapi Angkasa. Harapannya, Kiara berada di tempat ini. Mendengarkan penjelasan darinya dan menyelesaikan kesalahpahaman cewek itu. Tetapi itu tidak mungkin. Meski Asya adalah teman Kiara, Sami tetap tidak diizinkan untuk berbicara masalah ini pada Kiara, sesuai kesepakatan anggota khusus Angkasa. "Kenapa bisa gitu lagi, sih!?" Sahutan yang menyiratkan kekecewaan baru saja keluar dari bibir Aldy. Ia mengusap wajahnya gusar, kemudian menatap kosong ke depan. Sama halnya dengan Aldy, Charles juga memiliki ekspresi yang sama. Perasaan menyesal tiba-tiba muncul di benak cowok itu. Ia teman sekelas Asya, ia dekat dengan Asya, tetapi ia tidak mengetahui apa-apa tentang cewek itu. Dan karena penjelasan Sami barusan, ia jadi tahu alasan Asya berubah akhir-akhir ini. "Asya gak bilang berapa orang, dan dia cuma kenal Ariel dan Daffa. Mau gak mau kita harus ke Panca," putus Sami. Cowok itu duduk di tengah ruang keluarga dengan Gilang yang berada di seberangnya. Malam ini, Gilang tidak banyak bicara. Ia lebih membiarkan Sami untuk mengurus angkatannya, dan tugasnya di sini adalah mengikuti perintah Sami. "Kapan?" Rayn bertanya sembari memperhatikan gawainya. Bahkan di saat genting seperti ini pun cowok itu tidak bisa melepas gawainya. Untung saja ia memiliki pendengaran yang baik, kalau tidak, mungkin Ben dan Gilang sudah berebutan untuk membanting gawai milik Rayn. "Besok. Pulang sekolah." "Kenapa gak malam ini?" Aldo bertanya dengan nada tidak sabarnya. Sami menggeleng, "Kita belum ada persiapan apa-apa," sahutnya. "Kita ke Panca gak mungkin berakhir baik-baik bukan?" "Besok pada bawa motor aja. Biar gampang kabur kalau udah ngelewatin batas." Gilang berbicara pada akhirnya. "Ya udah, selesai," timpal Sami. Setelahnya, keadaan berubah jadi ramai. Satu per satu mulai keluar dari ruang keluarga Gilang, dan memilih untuk bermain di halaman belakang rumah cowok itu. Berbeda dengan Sami yang langsung disibukkan dengan gawainya. Melihat banyaknya pesan yang ia kirim, Sami berdecak. Kiara benar-benar mengabaikannya. Bahkan, setelah kejadian di gudang tadi, cewek itu terang-terangan berpindah tempat duduk dan membiarkan ia duduk dengan Riana. Kalau diingat, tidak ada hal aneh yang Sami lakukan pada Asya di gudang tadi. Lalu kenapa Kiara marah? Lagi pula, misalnya ada hal aneh pun, kenapa Kiara marah juga? "Rara mana, Lang?" Ben bertanya setelah ia menyetel acara kartun di televisi ruang keluarga. Di tangannya, ia sudah memegang salah satu es krim milik Rara yang jelas ia dapat tanpa izin dari sang pemilik. "Di kamar." Ben mengangguk. "Si Rara, kenapa dah Bang?" Rayn bersuara. "Gue minjem charger-an udah kayak izin minta es krim. Galak banget!" lanjutnya mengadu. Mendengar penuturan Rayn, kedua mata Ben langsung jatuh pada es krim yang berada di genggamannya. Untung aja gue gak izin, batinnya bersyukur, sembari mengelus dadanya. Satu keluarga besar Anandita jelas tahu, Kiara itu sensitif sekali dengan yang namanya es krim. Seperti es krim yang ia beli memiliki harga lebih dari dua ratus tibu untuk satu gelasnya. Padahal kenyataanya, es krim kesukaannya hanya memiliki harga tiga ribu. Tiga ribu yang selalu didebatkan oleh Kiara. Gilang menggeleng. "Gue ajak ngomong tadi pas pulang aja dicuekin. Disuruh pindah ke kamar juga gak pakai debat," balasnya. "Tapi pake banting pintu, sih." Gilang melanjuti. "Panggilin Lang," pinta Sami tiba-tiba. Gilang menoleh. "Siapa?" "Rara." Sami menjawab. "Panggil suruh ke sini." Tidak Gilang saja yang menampilkan wajah penolakannya, Ben dan Rayn juga berekspresi sama. "Gila lo! Lagi galak kayak begitu mah, gak bisa disentuh!" timpal Ben. Gilang mengangguk setuju. "Kalau lo berani, samperin aja sana ke atas. Gue sih gak berani!" Sami berdecak. Reaksi tiga orang itu serempak sama, dan tiga-tiganya tidak ada yang mau membantunya. Mendengar aduan dari Rayn dan Gilang juga semakin membuatnya yakin, alasan Kiara galak hari ini adalah dirinya. Memangnya sesalah itu ya Sami berbicara dengan Asya di gudang? Melihat ketidakmungkinan Kiara akan membaca pesannya, Sami akhirnya bangkit dari kursinya. "Kamarnya yang mana?" "Seriusan lo?" Ben berujar tidak percaya. Sami mengangguk tanpa ragu. "Yang ada gantungan tengkorak gede di pintunya." Mendengarnya Sami sempat terdiam. Kenapa Kiara tiba-tiba jadi seram di matanya? Tekad Sami ia bulatkan untuk melangkah menuju kamar Kiara. Ia yakin, Kiara tidak akan membalas pesannya atau bahkan membacanya, dan bila menunggu untuk berbicara di sekolah, pasti cewek itu akan memberikan seribu alasan untuk menolak. Jadi, selagi ia berada rumah Kiara, lebih baik untuk menghampiri cewek itu dan menyelesaikan masalah yang sepertinya disalah artikan oleh Kiara. Rayn tidak berbohong. Pintu kamar kiara memang terdapat gantungan tengkorak. Tetapi ia pikir tidak akan sampai sebesar ini. Ia jadi heran, sebenarnya Kiara itu perempuan atau bukan. Kenapa semua tentang dirinya tidak menunjukkan tanda-tanda ia perempuan. Sudah sering mencari masalah, memiliki kekuatan yang hampir sama dengan cowok, dan sekarang, pintu kamarnya saja diberikan gantungan tengkorak, kalah Sami. Sami terkekeh, sebelum akhirnya mengetuk pintu cewek itu. Sami tidak mau mengeluarkan suara, takut-takut Kiara mengenali suaranya dan berakhir dengan mengabaikannya lagi. Tepat sesuai dugaannya, tidak sampai dua kali mengetuk pun pintu kamar Kiara sudah terbuka. Cewek itu mencepol asal rambutnya dengan balutan kaos oversized dan celana pendek khas orang rumahan. Belum sampai sepuluh detik pintu terbuka, menyadari kehadiran Sami, Kiara berniat untuk menutup kembali pintu kamarnya kalau saja pintunya tidak lebih dulu ditahan oleh tangan cowok itu. "Lo kenapa sih?" Sami mengeluh dengan suara tenangnya. Kiara memutar bola matanya malas. Ia kemudian membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar dan memberikan kesempatan pada Sami untuk berbicara dengannya. "Emang gue kenapa?" Kiara bersuara dengan suara acuhnya itu. "Gue gak ngapa-ngapain sama Asya—" "Gue juga gak nuduh lo ngapa-ngapain sama Asya," potong Kiara cepat. Sami terdiam, kemudian memperhatikan Kiara yang sedang memberikan tatapan malasnya dan wajah tidak berkspresinya. Sami mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum tipis. "Lo gak cemburu 'kan?" "Gila lo!" tandas Kiara tanpa berpikir. "Ya, terus kenapa lo marah?" Sami masih dengan suara tenangnya. Bahkan di saat Kiara sudah bersuara keras pun, Sami tetap memilih untuk tenang, karena Kiara memang sepertinya sedang sensitif hari ini. Kiara menggeleng cepat. "Gue gak marah!" bantahnya. "Lo marah!" tuduh Sami. Kiara tertawa renyah. "Gue siapa sih Sam, sampai bisa marah ataupun cemburu ke lo?" tanyanya dengan nada sinis. Berawal dari tawa dan berakhir dengan kesinisan. Sami jelas bisa menyadari perubahan Kiara. Jadi baginya, mau bagaimana pun Kiara berbohong, ia tetap akan bisa membaca perubahan cewek itu. "Kalau gue bilang lo orang yang gue suka, lo mau ngaku lo cemburu?" Bagi Sami, kalimat tersebut hanyalah ungkapan biasa yang tidak perlu mendapat reaksi berlebihan. Dan bagu Kiara, untuk menutup rapat bibirnya saja sudah cukup, karena jantungnya sudah bereaksi berlebihan. Kiara menelan salivanya dan menatap ke sembarang arah. Sami berhasil membuatnya salah tingkah. "En—enggak lah!" bantahnya kikuk. "Lo kan cuma nyari jawaban—" "Gue serius." Sami memotong cepat. "Emang muka gue kurang serius?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN