JATUH

1910 Kata
Jangan berbuat sesuatu kalau gak mau tanggung jawab - Kiara. Matahari sudah berada tepat di atas bangunan Angkasa. Selain sebagai tanda bahwa sekarang sudah tengah hari, matahari juga sebagai tanda, bahwa sebagian besar murid Sekolah Angkasa sudah masuk ke dalam zona mengantuk. Tetapi, berbeda dari yang lain, Kiara malah terus melamun. Di saat yang lain menguap, menundukkan kepala, atau bahkan terlelap di atas meja mereka masing-masing. Kiara malah mencabuti kulit bibirnya yang kering. Sampai saat ini, kegiatannya belum menyakitkan diri, karena biasanya perih-perih yang disebabkan oleh tangannya yang usil itu akan muncul di hari berikutnya. Hari ini, Kiara harus banyak terdiam, selain karena dirinya malu akan beberapa ejekkan kakak kelasnya juga teman sekelasnya akan kejadian Jumat lalu, otaknya juga belum bisa berpikir jernih akan kejadian Jumat siang itu. Bahkan Gilang mengatakan, sepertinya sesuatu terjadi pada otak Kiara, karena luka di pelipisnya. Sebenarnya, tidak seserius itu masalah luka Kiara. Yang serius adalah tentang perasaannya pada Sami. Otaknya masih terus berpikir, apa dia benar-benar menjatuhkan hati pada Sami? Masalahnya, ini Sami! Cowok ketua angkatan 36 yang pastinya punya banyak penggemar, juga banyak hati yang mengicar. Kiara juga sudah menyempatkan diri untuk memukul kepalanya, menenggelamkannya di bawah bantal kasur, atau juga mejedotkan kepalanya pada pintu kamar, hanya untuk membuat dirinya sadar, siapa yang sekarang ia sukai! Ditambah lagi, Sami yang belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk pindah duduk dari sebelahnya. Bisa-bisa Kiara selalu salah tingkah. Dan masalah utamanya adalah, Kiara adalah orang yang peka terhadap perasaan. Maka ketika ia sudah mengetahui dirinya suka Sami, pasti jadilah kelakuan aneh yang dilakukan Kiara. Astaga, membayangkannya saja Kiara sudah tidak sanggup. "Ra?" Panggilan yang menyadarkan lamunan Kiara, membuat ia menghentikan gerakan tangannya pada bibirnya itu. "Lo gak nyatet?" Seketika Kiara sadar. Ia menatap pada papan tulis yang sudah penuh dengan tulisan, bahkan ia tidak bisa menemukan rongga kosong di sana. Kemudian ia beralih menatap bukunya. Bagus, Kiara hanya menulis judul bab. Sisanya, buku miliknya masih berwarna putih bersih. Kiara mendesah. Mana mungkin ia bersedia untuk mencatat bila sudah ketinggalan jauh. Lebih baik ia melanjuti kegiatannya yang tertunda, dan membiarkan bukunya kelaparan akan tulisan. "Bibir lo bisa berdarah itu." Rasanya Kiara ingin sekali marah pada Sami. Kenapa cowok itu jadi banyak omong? Biasanya Sami tidak peduli dengan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kiara, lalu kenapa sekarang tidak? Ingin juga rasanya, Kiara berteriak lantang. Menyadarkan Sami, supaya cowok itu diam untuk hari ini. Karena otak Kiara kali ini benar-benar tidak bisa lepas dari Sami. "Itu udah berdarah." Suara tenang itu, membuat Kiara mendesah kesal. Ia melemparkan tatapannya pada Sami dan tersenyum paksa. "Iya, gue sadar, Sam!" Sami mendelik. "Kalau lo sadar, kenapa malah lo cabutin sih!?" Seandainya mampu, ingin Kiara mengeluarkan suara tajamnya untuk benar-benar menyuruh Sami diam. Tetapi kali ini, otak dan hatinya sepertinya sedang bekerja sama, sampai-sampai Kiara tidak enak hati untuk berkata itu. "Mending lo nyatet, Sam." Tetapi usulan Kiara sama sekali tidak didengar oleh Sami. Parahnya, cowok itu malah mengambil paksa tangan Kiara yang baru bersiap untuk mencabuti kulit bibirnya itu. "Udah, nanti perih." Kiara memejamkan kedua matanya, rasanya sudah gemas sekali. Tetapi apa yang bisa ia lakukan, selain diam? Astaga, bahkan Kiara rasa ia lupa cara untuk berekspresi. Dalam diamnya, Kiara tidak berhenti meminta pada Tuhan supaya menyadarkan Sami. Ia bisa mati karena jantungnya yang terus berdetak cepat karena perlakuan Sami. "Lo sakit?" Sami bertanya heran. Kiara diam. Sudah, Kiara yakin, diam lebih baik dari segala hal. "Muka lo agak pucet, dan nadi lo detaknya cepet." Sontak, Kiara menarik tangannya. Ya ampun, bahkan tangannya pun bekerja sama dengan hatinya. Sudahlah, Kiara benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Tanpa kata, ia beranjak dari duduknya, dan menghampiri Bu Ajeng yang sedang duduk manis di kursinya. "Kenapa, Ra?" tanyanya. "Saya izin ke UKS ya, Bu." Dan baiknya, tanpa ragu Bu Ajeng mengangguk dan mengizinkan Kiara keluar dengan mudahnya. Bila diingat, ini hari pertama Kiara berdekatan kembali dengan Sami, setelah ia menyadari perasaannya, dan kelakuannya sudah tidak bisa ditebak, lalu bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Kiara rasa, ia benar-benar kehilangan otaknya kali ini. Tujuan awalnya memang ingin ke UKS. Tetapi namanya juga remaja, kemauan dengan tujuannya suka berbeda. Jadi, Kiara memilih untuk berjalan ke kantin saja. Karena pada intinya, Kiara hanya perlu jarak dengan Sami untuk sementara waktu. Kedua mata Kiara jelas bisa melihat beberapa kelas yang ramai karena freeclass, sama dengan yang terjadi di koridor Bahasa kelas dua belas itu. Jangan tanya kenapa Kiara melewati koridor kelas dua belas, karena sebenarnya, Kiara ingin mencari kesempatan, kali saja tiba-tiba matanya menangkap Araya gitu, jadi ia bisa balas dendam. "RA!" Mendengar namanya dipanggil, Kiara menengok pada sumber suara— Bugh Ringisan yang jelas berasal dari Kiara, membuat koridor kelas dua belas ramai seketika. Sepertinya takdir berkata lain untuk tujuan Kiara kali ini. Niat mencari Araya untuk balas dendam, malah ia yang kena batunya lagi. Mungkin kalau hanya terkena lemparan, Kiara masih biasa saja. Tetapi kalau ia sampai tersungkur seperti ini, entahlah. Kiara sudah malu sekali dengan anak kelas dua belas. Mulutnya ingin sekali mengeluapkan amarahnya, pada orang gila yang asal melempar bola di koridor kelas seperti ini. Tolong, apa perlu Kiara perjelas, ini adalah koridor, bukan lapangan. "Kamu gapapa, Ra?" Kiara mendelik kesal. Cowok berambut tebal, dengan kemejanya yang keluar dari celana itu malah nyengir di hadapannya. "Sorry, gak sengaja. Sumpah!" Ben, cowok itu kembali menampilkan cengirannya. Seandainya Kiara tidak tahu tempat, sudah pasti koridor kali ini akan berubah menjadi ring tinju. Beralih dari tatapan kejam Kiara, Ben malah memperhatikan wajah sepupunya itu. Aneh, kenapa Kiara terlihat tidak di tempat? Maksudnya, kenapa Kiara seperti orang yang jiwanya digantikan mahluk halus. "Kamu sakit? Emang sekenceng itu ya? Sorry parah ini mah, Ra!" Kiara memutar kedua bola matanya malas. Ia sedang malas berargumen, ditambah dengan banyaknya murid kelas dua belas yang sedang menjadikan dirinya dan Ben sebagai pertunjukan, lebih baik ia pergi. "Mau ke mana?" Ben bertanya heran. Ia menahan lengan kiri Kiara, membuat Kiara kembali menghentikan langkahnya. "Minggir!" Kiara berucap dengan nada pelannya, namun penuh penekanan. Ben mengerutkan dahinya bingung. Kenapa Kiara jadi sensitif sekali? Tetapi tidak mau memperpanjang masalah, Ben lebih baik menuruti Kiara. Dari penglihatannya, Ben sudah jelas bisa menyimpulkan, sepupunya itu memang sedang dalam kondisi tidak baik. ... Mendengar bel pulang sekolah seharusnya menjadi sebuah kegemaran para siswa. Karena tepat pada saat itu, hampir semua siswa Angkasa merasa beban mereka hilang begitu saja. Deruan keras, serta beberapa teriakan jelas membuat suasana kelas dua belas ramai seketika. Rasanya, ketika bel pulang sekolah berbunyi, mereka benar-benar seperti terbebas dari segala sesuatu yang mencekam sebelumnya. Bayangkan saja, sebelum bel, tidak ada kerusuhan, tetapi setelah pulang, jelas hal itu ada di mana-mana. "Anjir, Ray!"  Ratu, si cewek berambut pirang itu berjalan mendekati Araya yang masih duduk sembari membereskan bukunya. "Ini kenapa ada video lo sama Daffa!?" Suara Ratu yang lebih seperti pekikan itu membuat beberapa pasang mata menatap kepadanya.  "Apasih!?" Araya bertanya dengan tatapan tidak enaknya, setelah ia memperhatikan keadaan kelasnya saat ini. Ia menarik lengan Ratu supaya ponsel cewek itu bisa ia lihat secara keseluruhan. Belum sampai satu menit video itu berjalan, kedua matanya sudah melotot. Masalahnya, ini adalah video dimana Daffa memutuskannya minggu lalu. Araya bergerak gelisah, bagaimana bisa ada yang merekam? "Siapa yang ngirim!?" Araya bertanya tidak sabar. Ratu tersenyum kikuk. "Akun instagramnya Kiara." Tanpa perlu kata-kata lagi, Araya melempar asal tasnya, membiarkan isinya kembali berantakan. Tujuannya saat ini adalah anak baru yang tidak tahu diri baginya itu. Perlu disyukuri, karena koridor kelas sebelas saat ini sedang ramai. Jadi setidaknya, Araya bisa sekalian membuat siswa kelas sebelas lain takut padanya. Cari perhatian? Jelas! Araya sangat menyukai dua kata itu. Setelah matanya mendapati Kiara yang sedang berjalan membelakanginya, senyum sinis jelas terlihat dari bibir Araya. Bahkan setelah mempermalukan Araya, cewek itu masih santai saja berkeliaran di sekolah ini. Sepertinya Kiara harus diingatkan kembali, dengan siapa ia berhadapan sekarang. Dengan amarah yang meliputi dirinya, Araya berjalan cepat, dan dengan sekali layangan tangannya, ia mampu menarik keras rambut Kiara yang panjang itu. Araya tentu ingat jelas, bagaimana dulu Kiara meremehkannya dalm hal menjambak, maka mulai saat itu, ia menekankan diri untuk selalu menjabak siapa pun yang mencari masalah padanya. "WOI GILA!" Kiara meringis ketika kepalanya seketika terasa begitu perih akan tarikan Araya. "Lepasin!" Itu bukan permohonan, tetapi lebih kepada suatu paksaan yang harus segera dilakukan. "Maksud lo apa nyebarin video kayak gitu!?" Araya berujar sinis dengan tangannya yang kembali menguat pada rambut Kiara. "Kak, lepasin!" Itu bukan suara Kiara. Jelas, mana mungkin Kiara masih memakai kata 'kak' untuk memanggil Araya. Karena baginya, Araya sama sekali tidak pantas untuk dihargai ataupun dihormati. Araya melempar tatapan tidak sukanya pada Asya. "Lo diem aja. Bukan masalah lo!" Setelah berbicara demikian, dengan naasnya, Araya menarik kasar Kiara, membawa cewek itu memasuki salah satu kelas, dan mengunci pintu tersebut. Rencana pertamanya sudah berhasil, yaitu mencari perhatian. Maka rencana keduanya adalah membuat orang lain penasaran. Kelas yang memiliki penghalang penglihatan yang cukup tinggi itu jelas mampu menutup penglihatan dari luar ke dalam. Jadi, apapun yang akan dilakukan Araya sekarang, ia tidak perlu khawatir. Araya melepas pegangannya pada rambut Kiara dan mendorong cewek itu tepat ke tembok. Dari wajahnya saja, Araya sudah dapat menyimpulkan, Kiara sedang malas bertengkar saat ini, maka hal itu akan menambah poin baru bagi dirinya. Tetapi yang tidak Araya tahu adalah, ia sudah mempermalukan Kiara minggu lalu. Apa mungkin Kiara akan diam saja, di saat hanya ada mereka berdua di ruangan tertutup seperti ini? "Maksud lo ap—" Belum sampai Araya menyelesaikan kalimatnya, Kiara sudah berhasil memutar balik keadaan. Cewek itu mendorong Araya dengan kasar, memojokkan seniornya itu pada ujung tembok kelas.  "Lo salah masukin gue ke tempat begini." Suara tenang tetapi menusuk bagi telinga Araya membuat cewek itu bergeming seketika. Kenapa Kiara seketika terlihat seperti akan memakannya hidup-hidup? Tatapan cewek itu tajam, tidak seperti yang baru saja ia simpulkan beberapa menit lalu. Kiara menggertakan kedua rahangnya, dan menampilkan tatapan tidak sukanya pada Araya. "Kalau bukan karena Daffa dan Gilang. Udah gue bakar lo hidup-hidup!" Kiara kembali berujar tajam, dengan kedua matanya yang menatap tajam Araya. Tangan kanannya tepat berada di leher Araya, menahan cewek itu supaya tidak bebas bergerak. "Tapi karena gue gak bisa bakar lo..." Araya menggantung ucapannya. Ia mengambil botol minum miliknya yang masih terisi setengah botol, dan membuka tutupnya dengan satu tangan. "Gue akan bales perbuatan lo kemarin," ucapnya, kemudian dengan mudahnya ia menyiram Araya dari ujung kepala dengan air sisa miliknya itu. "Ki—ara!" Araya bersuara dengan nadanya yang tersendat karena air yang masuk ke dalam mulutnya. Kiara tersenyum tipis. "Gue mungkin kalah kalau main keroyokan. Tapi gak ada sejarahnya, gue kalah one on one." Kiara kembali bersuara tenang. Setelah melihat Araya diam saja, barulah Kiara berbalik badan. Lagi dan lagi, sepertinya ia harus berterima kasih pada Araya yang selalu membuatnya dalam situasi yang tepat. Di saat ia sedang malu menghadapi kelas dua belas karena ulah Araya hari Jumat kemarin, cewek itu malah menawarkan diri secara cuma-cuma untuk dihabisinya. "t*i lo!" Araya berujar, kemudian melempar buku yang berada di atas lemari kecil, di dekatnya pada Kiara. Tidak sampai disitu, Araya kembali mengambil segala barang dan melemparnya mengarah pada Kiara yang masih berjalan santai tidak peduli. Kiara mendesah kasar. Mempunyai masalah dengan Araya memang pasti tidak akan ada habisnya. Tetapi entah kenapa, sesuatu dalam diri Araya membuatnya tertarik untuk selalu mencari masalah dengan cewek itu. Dengan santainya, Kiara mengambil beberapa buku yang berada di lantai. Kiara adalah Kiara. Dia tidak suka harga dirinya diinjak-injak seperti itu. Ia berbalik dan menatap tajam Araya. Seniornya itu malah membalas tatapan Kiara dengan takut. Aneh bukan? Yang mengajaknya ke sini adalah Araya, tetapi sepertinya cewek itu sedang menyesali perbuatannya. "Ambil nih!" seru Kiara tenang. Kemudian dengan gaya angkuhnya, Kiara melempar kembali buku-buku serta barang lain yang sempat Araya lemparkan padanya. "Jangan suka berbuat sesuatu kalau gak bisa tanggung jawab!" tajam Kiara. Mendengarnya, Araya tertawa sinis. "Jangan nyebarin video gue, kalau lo gak siap buat hal seperti ini." Kiara tersenyum tipis. "Tapi lo salah..." gantung Kiara. "Gue selalu siap berhadapan sama lo!" Setelahnya, Kiara melenggang pergi. Meninggalkan Araya yang merenggut kesal, dengan tubuhnya yang basah kuyup. Berarti bila seperti ini, Araya menganggap, secara tidak langsung Kiara memang mengajaknya untuk mengibarkan bendera tempur. Tetapi, masalah intinya sekarang bukanlah Kiara. Namun, Gilang. Apakah cowok itu sudah melihat video itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN