Cinta tanpa peduli baik dan buruknya kamu adalah cinta tanpa syarat. Itu cinta aku ke kamu, Ra.
-Gilang Anandita
Langkah kaki Kiara jelas terhenti ketika dirinya baru saja melangkah menuju halaman belakang rumahnya. Tas dan seragam sekolahnya masih terpakai rapi di tubuhnya. Kedua matanya menatap heran dengan apa yang terjadi di rumahnya itu.
Niat awalnya setelah memasuki gerbang rumahnya adalah menuju kamar, tetapi melihat banyaknya mobil box terparkir di luar rumah, membuatnya jadi bertanya-tanya ada apa ini. Bahkan, setelah mendapatkan maksud dari segala barang yang keluar dari berbagai mobil box itu, ia tetap heran apa yang terjadi saat ini.
Biasanya, di sore hari seperti ini, rumahnya dalam keadaan tenang. Tidak ada yang berisik untuk mengganggu ketenangannya di kamar. Tetapi kalau tiba-tiba ramai seperti ini, niat masuk kamar pun tidak ada di otak Kiara.
"Bi Asih!" Kiara langsung menyerukan nama itu, ketika kedua matanya menemukan sosok yang bisa membantunya keluar dari kebingungannya itu.
Dengan senyumannya, Bi Asih berjalan menghampiri Kiara yang masih menatap sekelilingnya itu dengan heran.
"Ini mau ada apa sih?" Kiara bertanya dengan dahinya yang mengerut. Telunjuk tangan kanannya, ia gerakkan untuk menunjuk pada berbagai hiasan dan barang-barang untuk menghidangkan makanan.
"Ohh. Ini mah buat acara makan malam keluarga. Bapak mau buat syukuran, perusahaan yang di China udah mulai stabil. Gitu lah pokoknya. Gak ngerti Bibi mah, begituan!"
Kiara diam, tepatnya terkejut sekaligus heran. Kurang dadakan apa rencana Papanya itu?
"Keluarga besar?" tanyanya memastikan.
"Lah, iya atuh! Masa iya makanan sebanyak itu buat kita doang!"
Ya, jawabannya tidak salah sih. Kiaranya saja yang salah memberi pertanyaan.
"Ada temen-temennya Abang juga nanti. Non Kiara gak mau ajak temen-temennya? Bapak izinin kok!"
"TEMEN-TEMENNYA!?" Kiara melotot tidak percaya.
"Iya, katanya sekitar 50-an lah temen Bang Gilang. Kan temennya Bang Ben, sama Mas Rayn juga."
Kiara diam. Ini, jebakan macam apa? Kenapa dirinya merasa terjebak oleh kelakuan Gilang dan Ben untuk kesekian kalinya.
"KENAPA DIBOLEHIN SAMA PAPA!?" Kiara bertanya tidak terima.
Bi Asih bingung. Apa salahnya? Kenapa Kiara begitu tidak senang mendengar penjelasannya. "Atuh mana Bibi tau! Bibi 'kan cuma iya-iya aja!"
Kiara juga sebenarnya setuju dengan hal itu. Bi Asih mana mungkin menolak kemauan Gilang. Tetapi, masa iya, Simon mengizinkan Gilang membawa teman-temannya ke markas satu-satunya?
Mengundang teman-teman Kiara? Bisa tambah habis Kiara. Siapa yang menolak bila diajak untuk mengikuti acara keluarga Kiara. Meskipun tidak tahu siapa Kiara, jelas pasti teman-teman Kiara akan tetap senang menghadiri acaranya. Kan secara tidak langsung, jadi mendapat alasan untuk keluar rumah bukan?
Dan yang pasti, Kiara yakin, Gilang, Ben, ataupun Rayn pasti tidak akan ambil pusing masalah ini. Ditambah lagi dengan berita putusnya Gilang dan Araya, bisa-bisa Abangnya itu berbuat semaunya.
Bila sampai ketahuan, maka habis sudah tujuan Kiara masuk ke Angkasa. Ia tidak bisa mengalahkan Gilang, walaupun Abangnya itu sudah tidak ada hubungan dengn Araya, dan walaupun Araya-lah musuhnya saat ini. Ah tetapi maksudnya, bila semua orang tahu ia adik Gilang, si ketua angkatan 35, dan merupakan bagian keluarga Adinanta, para siswa Angkasa bisa menganggap Kiara menang karena ia punya banyak penjaga di belakangnya.
"Udah, Bibi mau siapin yang lain dulu. Nanti Non pakai baju yang ada di tempat tidur ya, itu pilihan Ibu."
"Mama udah pulang?"
Bi Asih mengangguk. "Tapi abis itu pergi ke salon."
Sudahlah. Kiara sudah bingung sekali saat ini.
...
Sudah lewat pukul tujuh malam. Keadaan rumah yang sudah dipenuhi dengan mobil-mobil itu jelas membuat keadaan semakin lama semakain ramai. Tidak ada acara resmi, hanya makan malam yang dinamakan 'makan malam keluarga' oleh Simon. Meskipun banyak orang luar yang datang, Simon tetap menganggap semua yang hadir di sana adalah keluarga baginya.
Gilang, cowok yang dibalut dengan kemeja putihnya dengan lengan yang terlipat sampai siku, dan celana pendek berwarna krem itu tidak berhenti mengedarkan pandangannya. Sudah hampir tengah acara, tetapi adiknya itu belum juga menampilkan batang hidungnya.
Sebetulnya, Gilang sudah jelas curiga, mungkin Kiara sedang berniat untuk meminum obat tidur, supaya tidak akan bangun ketika pintu kamarnya diketuk nanti.
Ini bukan acara pertama yang diadakan Simon, yang memberi kesempatan Gilang untuk mengundang teman-temannya. Jadi, ini juga bukan kali pertamanya Kiara mengurung diri di kamar sampai esok hari. Bahkan ia yakin, Kiara sudah menyediakan cooler box di kamarnya untuk menyimpan berbagai macam es krim miliknya.
"Gilang!"
Kedua mata cowok itu beralih, menatap pada cowok dengan kemeja hitam yang membalut tubuhnya sedang menatap malas padanya.
"Ape?"
"Dicariin nyokap lo!"
Rayn, cowok berkemeja hitam itu, kemudian duduk di atas rumput halaman belakang, setelah menyampaikan pesan Tantenya itu.
"Ngapain?" Gilang bertanya.
Rayn mengangkat bahunya acuh tak acuh. Ia mengeluarkan gawainya, dan kembali fokus pada benda itu. Lebih tepatnya, fokus menjawab pertanyaan kakak sepupunya yang masih diam di kamar, tetapi penasaran dengan apa yang terjadi di luar. Karena sedari tadi, Kiara—orang yang membuatnya fokus pada gawainya itu, tidak berhenti menanyakan siapa saja siswa Angkasa yang hadir.
Menatap pada Rayn yang sudah tidak peduli itu, lebih baik Gilang bangkit berdiri, menghampiri Mamanya yang sedang menatap ke arahnya.
"Apa?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Rara mana?"
Sebenarnya, Gilang sudah bisa menebak, kalau Tiara akan mengeluarkan pertanyaan itu. Tetapi ia juga menunggu Tiara untuk mengatakannya, supaya Gilang punya alasan nantinya.
"Di kamar kali," balasnya menebak.
Tiara berdecak. "Kebiasaan deh. Panggil sana, bilang nanti Papa marah kalau dia gak turun juga."
Nah, ini alasan yang Gilang maksud untuk menarik Kiara secara paksa nanti.
"Iya." Gilang menjawab tenang. Setelahnya lelaki itu memasuki bangunan rumahnya itu. Waktunya memulai perdebatan dengan Kiara.
Sesampainya Gilang di depan kamar adiknya itu, ia mendesah. Bahkan, Kiara menyalakan televisu dengan suara yang sangat keras, sampai suaranya pun terdengar di tempat Gilang berdiri.
"RARA!"
Tidak ada pilihan. Jadi lebih baik, menghujani Kiara dengan ketukan pintu dan teriakan keras untuk menyadarkan cewek itu dari ketidak peduliannya terhadap acara keluarganya itu.
"KIARA!"
Gilang mendesah kesal. Ia rasa adiknya itu tidak memiliki niat untuk membukakan pintu baginya.
"RA—"
Teriakan Gilang terhenti, ketika pintu putih kamar adiknya itu terbuka, dan memberikannya pemandangan Kiara yang sedang menatapnya tajam. "Apa!?"
"Kau turun!" Gilang berujar galak dengan nada dramatisnya. Kedua tangannya ia lipat di d**a, sembari memperhatikan penampilan Kiara dari atas sampi bawah. Kaos dan celana pendek, betapa tidak niatnya Kiara itu.
"Adinda tidak mau!"
Gilang berdecak. "Kau turun, atau ku panggil Papaku?"
"Apasih, geli tau!" Kiara lebih dulu menyudahi kelebayan yang terjadi antaranya dan Gilang.
Gilang terkekeh. "Turun, disuruh Mama. Kalau gak, Mama panggil Papa."
Kiara menggeleng, kemudian memberikan raut wajah tidak pedulinya pada Gilang. "Panggilin dong!" tantang Kiara.
"Katanya, kalau gak mau turun, suruh homeschooling."
Di dalam hatinya, Gilang jelas tertawa. Karena bibirnya jelas tidak bisa menunjukkan ekspresi betapa bangganya ia bisa mengancam Kiara.
"MASA!?" Kiara bereaksi tidak percaya. "BOONG YA!"
Gilang tersenyum, Kiara pasti takut dengan ancaman itu.
"Iya, emang boong!" ucapnya dengan menjulurkan lidahnya, kemudian berbalik meninggalkan Kiara berdesis sebal melihat kelakuan Gilang yang barusan.