Dengarkan lah dahulu, bereaksi kemudian. Jangan terbalik.
Kantin sudah ramai sejak pukul sembilan pagi tadi. Belum sampai lima pelajaran, guru-guru sudah meninggalkan kelas karena adanya rapat mendadak. Jelas hal itu menjadi sebuah anugerah bagi para murid Angkasa. Karena siapa yang tidak senang dengan jam kosong? Terlebih ketika tidak ada tugas. Rasanya ingin pulang dan tidur di rumah.
Tidak jauh berbeda dari siswa-siswi lainnya, Kiara juga menempatkan dirinya di kantin. Bersama beberapa teman barunya yang dengan senang hati mengajaknya bergabung. Tidak jarang juga beberapa siswa mendekatinya, hanya untuk sekedar berkenalan. Tetapi tidak seperti di dalam media sosial, Kiara jauh lebih baik di kehidupan nyata, karena ia dengan senang hati berkenalan dengan siapa saja.
"Aldo dari tadi ngeliatin lo, Ra."
Asya, cewek yang berada di hadapan Kiara berujar pelan. Ia tidak mengalihkan matanya untuk menatap Kiara, tetapi malah fokus menatap pada Aldo yang berada tidak jauh dari belakang Kiara.
Kiara tertawa kecil. Kemudian ia mengikuti arah pandang Asya, dan menatap sebentar Aldo.
"Eh lo gila! Ya jangan diliat sekarang juga!" Asya mendelik sebal.
Lagi Kiara hanya tertawa. "Gak apa-apa. Dia fans gue mungkin," balasnya percaya diri.
Asya hanya mengangguk-anggukan kepalanya, tanda ia malas mendengar jawaban itu keluar dari bibir Kiara.
"Lo kemarin ngapain sih?" Asya bertanya. Dan kali ini, kedua matanya menatap pada Kiara yang duduk manis dengan tenangnya dan semangkuk es campur yang menemani gadis itu.
"Pemanasan." Kiara membalas singkat.
Melihat santainya Kiara membalas, Asya jadi terkekeh. "Lo emang nakal begini ya?"
Kiara menggeleng. "Ini belum seberapa, Sya."
"Tapi Ra. Lo itu gak boleh banyak macem di Angkasa. Mungkin lo boleh seenaknya di sekolah yang dulu. Tapi kalau di Angkasa, lo gak boleh begitu." Asya menasehati.
"Lo tau Gilang?"
Pertanyaan Asya langsung dihadiahi dengan tatapan bingung Kiara. Tahu, batinnya menjawab. Tetapi kenyataan, yang ia jawab adalah, "enggak, emang siapa?"
"Dia itu ketua angkatan 35. Nah, kalau kita itu angkatan 36, ketuanya Sami. Kalau angkatan 37, ketuanya Rayn. Nah, biasanya ketuanya itu dari keluarga Anandita. Tapi yang tahun 36, karena gak ada keluarga Anandita, jadi si Sami yang dipilih."
Kiara tahu siapa Sami. Karena Sami berada di kelasnya, dan lelaki itu dingin sekali padanya, bahkan Kiara tidak yakin ia bisa berkenalan dengan lelaki bernama Sami itu.
Sedangkan Rayn, dia itu adik dari Ben. Jadi jelas Kiara mengetahuinya.
Yang tidak Kiara tahu adalah, ternyata kegiatan senioritas di sekolah ini tetap diketuai seseorang. Pantas saja keluarga Anandita betah sekolah disini. Karena mereka bagaikan raja di suatu daerah.
"Tapi lo seriusan gak kenal mereka, Ra? Nama lo tuh ada Anandita-nya juga tau!"
Pertanyaan mengejutkan dari Asya langsung dibalas gelengan semangat Kiara. "Bukan cuma gue doang pasti yang punya nama belakang Anandita." Kiara ngeles.
"Iya sih. Tapi disini, yang punya nama Anandita dan gak kenal sama Gilang aja, malah pada SKSD sama Anandita yang lain. Lo gak niat begitu?"
Kiara menggeleng. Masalahnya, udah kenal semua. Kiara membatin.
"Sebenernya banyak banget yang harus lo tau tentang Angkasa, Ra. Cuma kayaknya gue gak akan hafal sekaligus." Asya berucap sebagai penutup.
"Eh, Ra! Tapi lo harus tau sesuatu!"
Itu bukan suara Asya. Melainkan suara Madeline, cewek yang duduk tepat di sebelah Kiara dengan semangkuk bakso di hadapannya itu.
"Apa?" tanya Kiara.
"Lo jangan sampai cari masalah sama pacarnya Gilang. Karena dia itu manja banget. Kalau ada yang berani ngelawan dia, lawannya bukan cowo-cowo gengnya Gilang doang, tapi angkatan 35 bisa ngelawan lo semua!"
Kiara membulatkan kedua matanya. "Kenapa gitu? Gue ada masalah sama Gilang aja lawannya sama dia dan Aldo doang! Kok sama ceweknya sebanyak itu?" Kiara memprotes tidak terima.
"Itu udah hukum dari awal kita masuk sekolah. Bahkan beberapa ada yang sampai dikeluarin dari sekolah cuma gara-gara Araya!" Asya menambahkan dengan semangatnya.
"Araya?" Kiara bertanya bingung.
"Iya, itu nama pacaranya Gilang. Cantik sih, tapi iblis banget hatinya!"
Oke. Jadi sekarang misi Kiara sekarang bertambah satu, yaitu menghempas yang namanya Araya.
"Lo gak ada niatan cari masalah sama Araya 'kan? Soalnya gue agak takut, karena ngeliat lo kemarin santai banget ngelawan Gilang." Madeline bertanya dengan tatapan cemas sekaligus penasarannya.
Tetapi yang di dapat oleh Madeline dan Asya hanyalah bahu Kiara yang terangkat. Apakah itu jawaban tidak? Atau mungkin iya?
...
Kata orang-orang yang ditakuti setiap angkatan adalah ketuanya itu sendiri. Tetapi ada beberapa orang yang takut juga dengan para seniornya dan biasa saja dengan ketua angkatannya. Bahkan ada juga yang biasa saja dengan senior dan ketua angkatannya, dan salah satunya adalah Kiara.
Sami sudah mendengar semua berita tentang kejadian kemarin dimana Kiara, Gilang, dan Aldo bertengkar. Sebagai seseorang yang dipercayai di angkatannya, Sami jelas merasa terganggu dengan hal itu. Tetapi anehnya, ia seperti tidak percaya saja seorang Kiara melakukannya.
Dari awal masuk ke kelas ini, Kiara terlihat sangat diam, tidak banyak bicara, dan lebih memperhatikan sekitar. Tetapi ternyata otak cewek itu lebih dari kata diam.
Sami bukan memperhatikan, hanya saja ia merasa Kiara terus menariknya untuk melihat cewek itu. Bahkan Sami yakin, saat orang lain takut dengannya, Kiara adalah satu-satunya yang berani dengannya.
"Sam!"
Panjang umur. Yang sedang dipikirkan malah muncul dengan mudahnya di hadapan Sami. Dengan langkahnya yang pasti, Kiara mendekati Sami dengan wajah tidak bersahabatnya.
"Titipan dari Ben."
Tanpa berkata-kata lama, Kiara menaruh kotak kecil yang tadi dititipkan Ben padanya.
Kiara tidak menunggu jawaban dari Sami. Ia kemudian melangkah menuju kursinya yang berada di bagian belakang baris ketiga kelasnya itu.
Aneh, kenapa Sami malah merasa tertarik dengan Kiara? Tidak, Sami tidak suka. Hanya saja, Kiara terlihat aneh saja di matanya. Di saat orang lain berusaha berlama-lama di hadapannya, Kiara malah seperti ingin cepat-cepat meninggalkannya.
Kedua mata Sami beralih pada kotak yang baru saja diberikan Kiara. Seingatnya, Ben tidak pernah meminjam sesuatu padanya. Seingatnya juga, ia tidak baru merayakan apa-apa sehingga membutuhkan hadiah. Dan yang terakhir kenapa Ben menitipkannya pada Kiara, katanya Kiara tidak mengenal siapa-siapa di sini. Apa Kiara dan Ben baru berkenalan?
Ia membuka kotak itu dan matanya tertuju pada jam berwarna silver yang terletak rapi di sana. Melihat benda itu, Sami jadi ingat bahwa ia pernah meninggalkan jam itu di rumah Gilang. Ah tetapi 'kan di rumah Gilang, lalu kenapa kemudian jamnya berada di tangan Ben dan kemudian dititipkan pada Kiara?
Kedua matanya melotot seketika di saat ia mengeluarkan benda itu dari kotaknya. Antara bulat jam dengan rantainya terpisah, yang jelas benda itu patah.
"Heh!" Sami memanggil Kiara dengan nada tak santainya.
Tetapi yang dipanggil jelas tidak sadar. Karena Sami tidak memanggil namanya, hanya sekedar 'heh' yang tentunya bisa untuk siapa saja bukan.
"b*****t!"
Sami melempar kotak kecil itu pada Kiara, membuat cewek itu seketika terkejut karena perlakuan Sami.
"Lo apain jam gue!?" Sami berujar hampir berteriak. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Kiara yang malah memperhatikan Sami dengan tatapan tidak mengertinya.
"Kenapa bisa patah begitu!?"
Kiara melotot. Maksudnya Sami sedang marah padanya?
"Jawab! Lo bisu!?"
Dan lagi, bukannya menjawab, Kiara malah menaikkan alisnya sebelah. Katanya Sami itu terkenal dengan dinginnya, tetapi Kiara tidak tahu kalau Sami terkenal galaknya.
Kiara menghela napasnya, kemudian membuang asal kotak kecil milik Sami. Bahkan dengan sengaja, Kiara malah berakting untuk membersihkan mejanya, seolah kotak itu adalah kotoran baginya.
"Bilang makasih enggak, marah-marah iya!" gerutu Kiara pelan, kemudian kembali fokus pada ponselnya, membiarkan Sami menatap kesal padanya.
Tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Karena dengan kasar, Sami mengambil tas Kiara yang berada di lantai, dan membawanya keluar dari kelas.
Kiara kelabakan. Jelas. Ia pikir, Sami tidak akan berbuat macam-macam, selain marah-marah. "Woi gila lo ya!" teriak Kiara yang masih memperhatikan Sami saat keluar dari kelas.
"Ra, sumpah lo abis buat marah Sami!" Asya menatap Kiara takut-takut. Bukan takut Kiara tidak bisa menghadapi Sami, tetapi takut Sami yang tidak bisa sabar menghadapi sikap Kiara nantinya.
"Nyebelin emang!" Kiara memaki. Ia kemudian mengikuti Sami yang sudah hilang di telan keramaian murid yang ingin menonton pertujukan antara dirinya dengn Sami.
"Ke lapangan coba." Asya berusul, yang langsung dibalas anggukan Kiara.
Dengan berlari, Kiara buru-buru menuruni banyaknya anak tangga. Sebenarnya tidak masalah apa yang akan terjadi pada tasnya kelak. Karena mungkin Kiara bisa membelinya lagi. Tetapi masalahnya, harga dirinya bisa hancur seketika kalau begini. Tidak salah apa-apa, tapi terima dimarahi oleh Sami. Itu bukan Kiara sekali.
"Sami!" Kiara berteriak, ketika ia sudah mendapati Sami sedang membuang berbagai isi tasnya ke dalam got yang berada di dekat lapangan. "WOI GILA LO!" Kiara kembali berteriak.
Tidak sampai disitu, Sami merobek tas Kiara dengan kedua tangannya yang kuat itu. Astaga, jahatnya kamu Sami.
Kiara melotot melihat pada barang apa saja yang berada di dalam got itu. Oke bagus, bahkan dompetnya pun sudah mengambang di genangan air berlumut itu. Tetapi kedua matanya beralih, ketika diingatnya ada sesuatu yang hilang dari penglihatannya. Kacamata. Kacamatanya hilang.
Kedua matanya beralih menatap was-was pada Sami yang masih asik menginjak-injak tasnya. Tunggu. Apa? Diinjak-injak? Kacamatanya!
Dengan ketakutan yang menyelimuti Kiara, cewek itu memberanikan diri mendorong kuat tubuh Sami sampai laki-laki itu kehilangan keseimbangan karena tidak siap dengan dorongan kasar Kiara.
Kiara langsung mengambil alih tasnya, mencari kacamata yang masih terus menyelimuti ketakutannya.
Patah. Benda itu patah, pecah, bahkan sudah tidak berbentuk.
Dengan amarahnya yang memuncak, Kiara menghampiri Sami. Memandang lelaki itu tajam dan menyeramkan.
Bugh
Satu tinjuan mendarat halus di pipi Sami. Sesakit apapun itu, percayalah itu tidak bisa menggantikan rasa sakit hati Kiara karena melihat kacamata miliknya hancur begitu saja.
Sami terkejut. Jelas sangat terkejut. Ia tidak sempat berpikir kalau Kiara mampu melayangkan tinjuan padanya.
Tetapi amarah tetaplah amarah, dan keduanya sama-sama dalam selimut amarah. Maka Sami kembali bangkit, dan bersiap diri untuk membalas Kiara.
"WETS!!"
Sebuah tangan baru saja melingkari perut Sami. Seolah menahan lelaki itu untuk tidak membalas perlakuan Kiara.
"Sam, jangan!"
Berbeda dengan Sami. Kiara sudah tidak peduli dengan balasan apa nantinya. Ia memungut pecahan kacamata miliknya dan memandangnya nanar. Kacamatanya hancur. Miliknya hancur. Peninggalan Rey satu-satunya hancur.
Ben, lelaki yang menahan tubuh Sami itu menegang seketika. Ia jelas melihat benda yang dipegang Kiara. Benda kesayangan adik sepupunya, hancur.
"Sam, udah!" Ben kembali memperingati. Berusaha meredakan amarah Sami.
Tidak jauh dari kejadian, Gilang berdiri. Tepat pada pintu masuk bangunan bertingkat Sekolah Angkasa. Seandainya ia bebas, sudah sedari tadi Gilang menghampiri Kiara. Karena ia sudah bisa menebak, mengapa Kiara tetap terdiam dalam posisinya, dan memperhatikan barang itu.