Bab 1

1459 Kata
Boston, Massachusetts Desember, 2006   Maggie Russell tidak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk menghubungi adiknya, Kate. Sejak siang tadi, Maggie telah menghubungi Kate setidaknya tiga kali dan panggilannya hanya dijawab oleh pesan suara. Malam ini menjadi kali keempat Maggie menghubungi adiknya dan ketika nada deringnya tidak juga tersambung, Maggie merasa kesal. Sembari menyiapkan coke dan kentang siap saji yang dibelinya dalam perjalanan pulang, Maggie mencoba berkali-kali untuk menghubungi adiknya. Meski telepon itu pada akhirnya akan tersambung oleh pesan suara yang terdengar: ini Kate. Hubungi aku nanti. Aku sedang sibuk atau mungkin.. aku tidak ingin bicara denganmu - Maggie tetap mencoba lagi dan lagi. Tapi, itu bukan kali pertama Kate mengabaikan panggilan Maggie. Setelah bertahun-tahun Kate mengabaikan Maggie, dan Maggie tidak punya cara yang tepat untuk memperbaiki hubungan mereka. Maggie hanya melakukan apa yang perlu dilakukan oleh seorang kakak, ibu, sekaligus ayah untuk Kate. Nyatanya, ia hanya bisa memperburuk keadaan. Bukan hanya karena Maggie tidak bisa menahan temperamennya saat berhadapan dengan Kate, melainkan juga karena Kate berpikir kalau Maggie tidak cukup baik untuk menjadi ibu pengganti untuknya. "Berhentilah berpikir kalau kau adalah ibu! Kau bukan dia!" Ucapan itu rasanya masih terpatri dalam benak Maggie hingga sekarang. Saat usianya dua belas tahun dan usia Kate lima tahun, ibu mereka Gladys Russell meninggal akibat tumor yang menyerang otaknya. Maggie tahu kalau saat itu Kate masih terlalu kecil dan adiknya membutuhkan sosok seorang ibu. Sebagai seorang kakak, Maggie melakukan yang terbaik untuk Kate. Ia melakukan apa yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki keadaan. Ayahnya Bill Russell, tidak mau ambil pusing. Pria itu telah disibukkan dengan pekerjaannya mengelola bisnis penyewaan rumah Russell Housetown, yang teah menyita hampir seluruh waktunya. Bill tidak punya waktu untuk membesarkan putrinya dan memilih untuk menyerahkan tugas itu pada adik perempuannya. Yang dilakukan Bill hanya memastikan Maggie mendapat fasilitas pendidikan terbaik dan mempersiapkannya sebagai pewaris Russell Housetown. Maggie dibesarkan dengan kecukupan materil dan pendidikan yang tinggi. Ia tumbuh sebagai wanita cerdas tanpa kompromi. Sejauh yang Maggie tahu, ia tidak pernah merasa kekurangan, kecuali dalam satu hal: tempramennya yang sulit untuk dikendalikan. Kate menyebutnya wanita dengan tempramen tinggi yang otoriter. Semakin Maggie tumbuh dewasa, semakin ia merasa kalau darah Bill mengalir dalam darahnya. Dan sikapnya yang demkian semakin menjadi-jadi setelah kematian Bill tiga tahun yang lalu. Maggie yang saat itu tidak memiliki kesiapan cukup untuk memimpin Russell Housetown tiba-tiba menjadi mimpi buruk bagi seluruh pegawainya. Tidak sedikit dari mereka yang tidak menyukai Maggie dan Maggie benci mengetahui kalau pegawainya berbisik di belakang dan membicarakan hal-hal buruk tentang bagaimana ia mengubah Russell Housetown menjadi penjara yang mengerikan. Pernah sesekali Maggie mengunjungi psikiater dan mengadakan konseling khusus untuk mengatasi bukan hanya masalahnya dengan pekerjaannya tapi juga masalahnya dengan Kate. Hasilnya tidak begitu baik. Maggie berhenti melakukan konseling di minggu kedua dan ia lebih sering membatalkan janji temu konseling itu ketimbang menghadirinya. Semua itu karena Maggie tidak bisa beranjak lebih dari lima menit dari kursinya hanya untuk menghirup udara segar. Seisi kepalanya sudah dipenuhi oleh masalah tanpa perlu ditambah lagi. Pernah sesekali Maggie melihat Kate berkunjung dan mengalami pembicaraan yang hangat dengan pegawainya. Kate wanita yang manis, Maggie tidak bisa menyalahkan hal itu. Adiknya suka berbicara bahkan dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Semua tentang Kate terlalu sempurna. Adiknya mewarisi paras cantik Gladys Russell dengan kulit putih tak bercela, rambut pirang dan bola mata berwarna biru terang yang tampak memesona. Saat Maggie berjalan di samping Kate ia akan melihat beberapa pria menatap mereka, tapi Maggie tahu kalau tatapan itu tidak dikhususkan untuknya. Kate juga telah melibatkan diri dengan banyak pria diusianya yang ke lima belas tahun. Tidak ada yang aneh dengan itu: Kate menarik, pandai, suka bersosialisasi dan yang terpenting ia bukan seorang wanita dengan tempramen tinggi yang otoriter dan membosankan.            Minggu kemarin adalah saat terakhir Maggie menjumpai Kate. Adiknya mengatakan kalau ia akan mengikuti kegiatan tour bersama temannya, Emma. Tapi seharusnya Kate sudah kembali sejak dua hari yang lalu. Dan apa lagi kesibukan yang dimiliki adiknya setelah tiba di tempat penginapan? Kate tidak punya alasan untuk menolak panggilannya kali ini. Tapi Maggie tahu kalau Kate sangat senang berkeluyuran dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Terkadang, adiknya itu menghabiskan malam dengan berkencan, atau sekadar mengunjungi salon kecantikan untuk manikur. Pada usianya yang ke dua puluh empat tahun, sudah seharusnya Kate berpikir dewasa untuk menyelesaikan studinya dengan nilai baik kemudian bergabung dengan Maggie untuk mengurus Russell Housetown. Tapi beberapa minggu lalu Kate juga telah mengatakan keinginannya yang jauh di luar harapan Maggie. “Aku tidak ingin bergabung denganmu dan mengurus semua tumpukan kertas itu. Kalau kau bersedia memberiku sedikit uang di akhir semester ini, aku rasa aku akan menghabiskan waktuku untuk berlibur di Hawaii.” Maggie memutar bola matanya saat mendengar kata-kata itu. Ia melihat bagaimana Kate merengut setelah mendengar reaksinya. “Apa kau tidak pernah bisa berhenti memikirkan dirimu sendiri? Kenapa kau hanya bisa berpikir untuk bersenang-senang sementara aku harus menyelesaikan semua ini?" “Tinggalkan saja!” ujar Kate dengan enteng. Kernyitan terbentuk di seputar dari Maggie. “Apa katamu?” “Tinggalkan saja jika kau tidak ingin melakukannya. Kau tidak harus berpura-pura melakukannya untuk membuat ayah terkesan.” Kata-kata itu nyatanya berhasil memancing amarah Maggie. Emosinya seakan meledak-ledak saat ia menanggapi Kate. Hasilnya, seperti yang sudah-sudah, menjadi semakin buruk. Kata-kata Maggie berhasil membuat Kate marah sehingga memilih untuk pergi jauh dan menempati penginapan kumuh di kota. Maggie hanya pernah datang sekali ke tempat penginapan itu. Ia tidak begitu menyukai suasananya. Lima orang berbagi satu kamar mandi yang sama - membayangkannya saja Maggie merasa geli. Ia tidak habis pikir bagaimana Kate bisa bertahan cukup lama di penginapan itu. Namun jika Maggie memaksa Kate pulang, ia hanya akan memperburuk situasinya. Setelah mengabaikan kentang goreng dan coke-nya dengan melamun, panggilan telepon itu akhirnya diangkat. Namun, suara seseorang di sana tidaklah terdengar seperti yang diharapkan Maggie. "Kate?" "Ini Emma." Kedua alis Maggie bertaut. Sejauh ini Maggie mempertanyakan bagaimana seseorang seperti Kate memutuskan untuk berteman dekat dengan Emma. Sikap dua gadis itu bertolak belakang seperti langit dan bumi: Kate terlalu banyak bicara, sedangkan Emma nyaris tidak pernah bicara. Kate terlalu aktraktif sedangkan Emma adalah wanita pemalu. Berusaha mengabaikan hal itu dan kebiasaan aneh Kate yang lainnya, Maggie angkat bicara. Ia memilih untuk melewati basa-basi dan langsung menyentuh inti pembicaraan. "Di mana Kate?" Emma terdengar ragu-ragu ketika menjawab. Selama beberapa detik Maggie hanya mendengar wanita itu mengatakan mmm.. hingga Maggie hilang kesabaran dan mulai membentak lagi. "Emma?! Ini serius! Di mana Kate?" "Aku minta maaf Maggie, tapi Kate memintaku untuk merahasiakannya darimu." Menggertakkan gigi dengan kesal, Maggie meraih potongan besar kentang goreng dan melahapnya sambil menghitung dalam hati. Terakhir kali ia membentak Emma, wanita itu menangis seperti anak kecil. Masalahnya, Emma terlalu sensitif. Ralat: terlalu sensitif dan pemalu. Setelah menunggu beberapa detik dan ia tidak juga mendapat jawaban yang diinginkannya, Maggie mengangkat kaleng coke, meminumnya beberapa teguk kemudian menelannya dengan cepat. "Emma, kau tahu kan bagaimana Kate.." "Ya.." suara Emma pelan hingga nyaris terdengar seperti bisikan. "Kalau begitu kau tentunya tahu kalau Kate butuh seseorang untuk memedulikannya. Dan aku, aku sebagai kakaknya sialnya akan menjadi orang yang memedulikan Kate. Jadi, aku perlu tahu dimana dia sekarang. Jika tidak aku akan datang ke sana dan memastikan sendiri." "Tidak. Tunggu.." potong Emma. "Dia tidak ingin kau datang." "Kenapa?" "Karena dia bersama Javier dan kau tidak akan menyukainya." "Hah? Si berengsek tukang mabuk itu!" "Kate tidak suka kau menyebut Javier berengsek dan tukang mabuk." "Masa bodoh! Di mana dia? Aku ingin bicara dengannya sekarang!" Emma tertegun. Wanita itu seperti orang yang kebingungan. "Siapa? Javier atau Kate?" Karena kesal, Maggie nyaris berteriak. "Kate!" "Oh. Dia tidak ada di sini." "Demi Tuhan!" Maggie meraih potongan kentang lainnya, memasukannya ke mulut dan mengunyahnya dengan cepat. "Jadi di mana dia?" "Kate ikut bersama Javier untuk pesta makan malam." "Apa? Di mana?" "Aku tidak yakin. Mungkin di rumah Lance." Kedua alis Maggie bertaut. Jika ada orang lain seperti Emma di dunia ini, sebaiknya mereka pergi jauh dari Maggie. "Siapa Lance?" "Teman Javier." "Itu artinya satu tukang mabuk yang lain? Kate bersama dua orang tukang mabuk? Di mana rumah Lance?" "Aku tidak tahu." "Sial!" Maggie tidak menunggu Emma merespons umpatannya ketika ia memutus sambungan telepon itu dengan cepat. Hari ini ia sudah kelelahan setelah menanggapi keluhan dari lima orang pelanggan yang bersikap ngotot. Maggie tidak membutuhkan hal lain untuk memperburuk harinya. Tapi membiarkan Kate bebas berkeliaran dengan dua laki-laki tukang mabuk membuat Maggie tidak bisa duduk untuk sekadar beristirahat sejenak. Godaan untuk pergi ke kamar dan berbaring di atas ranjang terasa sangat mengundang. Alih-alih menuruti keinginannya, Maggie justru meraih mantel dan kunci mobilnya kemudian berkendara menjauh untuk mencari Kate. Ia tidak berhenti mengeluh di sepanjang perjalanan. Karena Kate, Maggie harus menghabiskan sisa hidupnya untuk menghawatirkan adiknya yang kurang ajar itu. Karena Kate, Maggie harus meninggalkan kentang gorengnya dan bayangan untuk tidur nyenyak malam ini. Bagaimanapun, Kate harus menebusnya nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN