BERJUANG

1120 Kata
“Kenapa kau diam? Ayah benarkan, kamu sudah tidak suci lagi. Sudah ayah tegaskan sejak awal, resiko pacaran dengan pria yang lebih dewasa. Dia hanya menjebakmu, memanfaatkan kepolosanmu, dan lihat sekarang! Kamu tidak punya pilihan selain membujuknya menikahimu kan!” Bentak Arman, semakin Vania tutup mulut dan semakin tajam tatapan gadis itu menatapnya, Arman semakin kehilangan akal sehat. “Papa, cukup! Berhenti menjelekkan putrimu!” Bentak Desi, hati dan telinganya panas mendengar suaminya merendahkan darah dagingnya. Sekalipun Vania memang salah, namun Desi tidak sampai hati melontarkan kata-kata kasar padanya. Vania memberanikan diri berdiri, berhadapan langsung dengan ayahnya dalam posisi yang sama. Meskipun kata-kata ayahnya sangat menyakitkan namun tidak mematahkan semangatnya untuk menyuarakan dengan lantang isi hatinya. “Papa, Vania nggak nyangka papa tega menilai Vania serendah itu. Asal papa dan mama tahu, Daniel memperlakukanku dengan terhormat, tak sedikitpun dia menyentuhku! Justru karena dia sungguh mencintaiku, menjaga martabatku, maka dia melamarku. Vania kecewa, ternyata papa dan mama tidak mengenal Vania dengan baik.” “Vania... Vania....” Pekik Desi yang cemas luar biasa. Setelah menjawab lantang ayahnya, Vania bergegas meninggalkan kedua orangtuanya lalu berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya, berharap ibu ataupun ayahnya tidak mengusiknya lagi. Ia ingin menenangkan diri sejenak, meskipun hanya malam ini saja. “Vania... Buka pintu nak, ibu mau bicara sebentar.” Desi mengetuk pintu dari luar, saking cemasnya sampai ia tak sadar meremas tangannya sendiri. Benar dugaan Vania, belum satu menit ia menjatuhkan diri di atas ranjang dan memejamkan mata. Ketenangannya sudah terusik oleh suara ketukan di pintu dan teriakan ibunya. Vania menutup telinganya, tak cukup dengan dua tangannya, lalu ia menarik bantal kemudian membenamkan wajahnya di balik bantal itu. “Biarkan aku tenang, ku mohon....” Lirih Vania, meskipun percuma saja karena suara sepelan itu tak mungkin terdengar sampai ke luar. Arman menyusul langkah istrinya, kini ia berdiri di belakang Desi yang masih berusaha merayu Vania membuka pintu. “Biarkan saja, dia pasti tidak mau diganggu.” Seru Arman seraya menepuk pelan pundak istrinya. Desi tanpa sadar spontan mengelak, hatinya masih terasa sakit hanya untuk disentuh suaminya. Penghinaan Arman terhadap Vania barusan, turut mencabik perasaannya sebagai seorang ibu yang melahirkan dan mendidik Vania. Desi membalikkan badan lalu berjalan meninggalkan Arman yang serba salah karena hubungannya dengan Desi kena imbas dari perbuatannya barusan. *** Vania mulai membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, setelah yakin keadaan di luar telah sepi dan kedua orangtuanya sudah pergi dari depan kamarnya. Tak pernah Vania bayangkan bahwa ia punya keberanian untuk membantah orangtuanya, sungguh ini kali pertama Vania bersikap berani di hadapan orangtua. Gadis cantik itu memegangi dadanya, merasakan degup yang kencang di dalam sana. Perlu keberanian yang besar untuk bersuara lantang pada papa dan mamanya, setelah percekcokan itu reda pun debarannya masih membekas dalam dadanya. “Papa... Vania minta maaf, tapi Vania sakit hati dengan ucapan papa. Terlalu menyakitkan!” Gumam Vania, tanpa ia sadari air matanya berderai. Ia menghapus pelan tetesan bening itu dengan ujung telunjuknya. Sesekali terdengar helaan napas kasar dari gadis itu, sungguh ini menjadi hari yang panjang dan melelahkan baginya. Sudah hampir jam sebelas malam, Vania belum juga bisa tertidur sekalipun ia sudah membersihkan dirinya dan mengganti piyama berbahan nyaman dan lembut. Vania punya ritual yang cukup ribet hingga membuatnya terkesan perfeksionis, ia tidak akan bisa tidur sebelum memastikan tubuhnya bersih, serta pakaiannya baru dari lemari, dan juga krim wajah khusus malam hari harus sudah terpoles di wajahnya. Berkali-kali ia membolak-balikkan tubuh di atas ranjang, tetapi ia tetap merasa gelisah. Hingga suara getaran ponsel yang digeletakkan di atas meja samping ranjangnya bergetar. Di saat itulah Vania baru teringat akan alat komunikasinya itu. Kejadian heboh tadi membuatnya lupa akan ponsel, serta lupa memeriksa apakah Daniel mengirimkan pesan untuknya atau tidak. Vania meraih ponselnya dalam posisi berbaring, dijulurkan tangannya walau setengah memaksa agar bisa menjangkau benda itu. Wajah Vania tampak silau karena cahaya ponselnya yang terang dalam remang kamarnya. Senyum gadis itu mengembang manakala mendapati si pemilik hatinya yang mengubungi. Aku sudah sampai di rumah ya, sayang. Tidur nyenyak dan mimpi indah ya. Love you.... Pesan Daniel yang begitu perhatian dan romantis itu begitu mudah mengembalikan semangat Vania yang sempat redup. Cintalah yang menjadi kekuatannya untuk bertahan, memperjuangkan hubungan mereka agar disahkan dalam ikatan pernikahan. Vania mengangguk sendiri saat selesai membaca pesan itu, beberapa detik kemudian barulah ia sadari bahwa anggukan saja tidak cukup, Daniel tak bisa melihat responnya kalau hanya dijawab dengan isyarat. Jemari Vania lincah mengetik balasan untuk kekasihnya, setelah terkirim ia tetap saja berdebar menantikan balasan. Suara getaran ponsel terasa menggelitik telapak tangan Vania yang terus menggenggamnya. Pesan balasan itu lekas ia buka dan membacanya dengan mata berbinar. Jangan cemas, aku tetap pada pendirianku. Besok aku akan datang melamarmu, tunggu aku dan dandanlah yang cantik, sayang. Vania tersenyum lebar, entah mengapa ia senang sekali membaca pesan itu. “Kau ini... masih sempat menyuruhkan berdandan, padahal kau tahu ayah pasti menentang keras.” Gumam Vania yang ekspresi wajahnya berubah dengan cepat, senyumnya telah hilang berganti raut sedih. Ia meletakkan ponselnya kembali ke posisi semula tanpa membalas pesan Daniel yang sudah terbaca itu. Vania menatap langit-langit kamarnya, remang dan tak menarik, tetapi cukup mendukung baginya untuk merenungi nasib. Mengapa cinta itu begitu rumit? Ketika hendak menikah muda, banyak yang menentang dan bergunjing seolah tindakan itu salah besar dan hanya jadi aib. Tetapi ketika menikah di usia yang terlalu dewasa, sorotan sinis tetap terdengar, menyudutkan seolah tidak laku, egois melajang, dan berbagai tudingan yang tak sedap didengar. “Aku tidak merasa pernikahan ini terburu-buru, aku tidak merasa terlalu muda untuk menjadi seorang istri atau bahkan seorang ibu. Asalkan dia berjuang demi aku, aku pun akan memperjuangkanmu. Aku tidak akan menyesali keputusanku, kita berjuang bersama apapun halangannya!” Vania mengucapkan itu dengan penuh tekad, ia telah mengambil keputusannya. Setelah berpikir cukup lama, Vania merasakan kantuk yang tak tertahankan. Ia bahkan berulang kali menguap namun masih enggan memejamkan mata. Hingga ia sadar bahwa masih ada esok yang cukup berat dan menguras tenaga. Ia harus mempersiapkan diri menghadapi babak percekcokan selanjutnya. Ia akan berdiri di samping Daniel, memperjuangkan restu dan meluluhkan hati kedua orangtuanya. Memikirkan itu saja langsung membuat Vania segera memaksakan diri untuk memejamkan matanya, dan tak lama kemudian akhirnya ia terlelap. *** Pertengkaran Arman dan Desi nyatanya belum berakhir, bahkan ketika mereka kembali ke kamar dan bersiap tidur, Arman kembali menyinggung masalah Vania hingga merusak mood Desi untuk beristirahat. “Pa, jangan terlalu keras sama Vania, bagaimanapun dia anak kita satu-satunya.” Ujar Desi yang mulai habis kesabaran, setelah gagal menghadapi suaminya dengan cara keras maka iapun mulai melunak. Arman tampak mengelak ketika Desi berusaha menyentuh pundaknya, ia berbaring dengan posisi miring membelakangi istrinya. “Keputusanku tetap sama, ma. Aku tidak akan memberi restu, jika dia terus memaksa kehendaknya, jangan salahkan aku jika aku bertindak lebih kasar lagi.” Hardikan Arman membuat Desi memucat, ia cukup mengenal suaminya yang berwatak keras. Dan ia pun tahu ini bukan hal mudah bagi Vania jika terus bertentangan dengan ayahnya. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN