Chapter 1 - Adeline

1408 Kata
Sean hanya penasaran pada perempuan berambut hitam panjang yang dia temui di Petrichor, perempuan yang menyingkirkan cangkir putih berisi matcha tea dari mejanya dan berjalan ke sudut bar lalu memesan whisky. Dia mengernyit, wanita itu memakai gaun merah yang diciptakan untuk tubuhnya yang sempurna namun bukan hal itu yang menarik perhatian Sean. Matanya yang sendu dan kosong tanpa makna seolah ada ribuan ngengat dalam pikirannya dan dia tidak bisa beranjak dalam nyata tetapi setelah seteguk whisky itu melewati tenggorokan yang membuat dahinya mengernyit dia melirik ke arah Sean sambil tersenyum tipis yang bagi Sean terlihat seperti sebuah godaan. Menarik keberaniannya untuk menggapai perempuan itu. Ada banyak perempuan menarik di sana tentu saja, Petrichor adalah salah satu tempat di kawasan elite Jakarta bagian Selatan yang didatangi oleh kaum borjuis untuk menghilangkan penat. Perempuan dan laki-laki yang datang ke sana tentu bukanlah orang sembarangan, minimal meski bukan seorang pengusaha mereka pasti pekerja dengan gaji di atas dua digit di usia yang terbilang muda. Dia bahkan dengan mudah mengenali seorang model yang tengah ramai terkena skandal sedang menikmati cocktail di sudut bar, asik dengan dirinya sendiri tanpa peduli pada perhatian sekitar tapi Sean, matanya tidak bisa lepas dari perempuan ini. Perempuan yang menggodanya samar bahkan mungkin tanpa dia sadari. Sean tidak suka diprovokasi, dia akan mengajari bagaimana caranya mengendalikan situasi seperti yang seharusnya. Dia adalah pemegang kendali. "Lebih suka whisky?" tanya Sean memulai obrolan setelah dia berpindah kursi dan menghilangkan jarak diantara mereka. Perempuan itu tersenyum seolah pertanyaan Sean menggelitik di telinganya. "Pertama kali dan cukup buruk." Dia mengangguk menertawakan dirinya sendiri. Sean terkekeh mengejek, dia tahu betul kalau ini memanglah kali pertama bagi perempuan itu melihat bagaimana dia mengernyitkan dahinya ketika whisky membakar tenggorokannya tadi. "Kalo pertama kali kenapa enggak coba yang alkoholnya rendah aja?" Terang-terangan Sean mengejek pilihannya yang terlalu berani, dia memang cukup menyebalkan jika diajak bicara tapi perempuan ini sepertinya tidak terlalu peduli atau mungkin sudah terbiasa. "Karena pertama kali jadi harus ambil risiko, kan?" Lagi, dia tersenyum menatap Sean dan membuat pria itu nyaman dengan senyumnya yang memberi kesan hangat, jelas bukan ditujukan untuk menggoda tapi sesuatu dalam aliran darah Sean berdesir. Sean yang hari ini menikmati vodka dalam batas normal sepertinya menjadi cukup mabuk ketika dia mendekat pada perempuan di sisinya dan menyentuh rambut panjang yang menjuntai lurus menutupi bahunya yang kecokelatan, eksotis dan sangat seksi. Pikiran gila Sean muncul ketika dia ingin menyentuhnya dan menghirup aroma lembut dan segar dari parfum yang perempuan ini gunakan. Mengecup tengkuknya yang terbuka dan menyalurkan hasrat gila. Tidak ada kalimat yang keduanya ucapkan selain sentuhan sederhana yang seperti sengatan di tubuh masing-masing hingga membuat kelopak mata perempuan di depan Sean ini terpejam. Dia tahu kalau keduanya memiliki hasrat yang sama. Tapi kali ini Sean memang cukup gila saat mengajak perempuan tak dikenalnya itu untuk pergi ke apartemennya, dia benar-benar tidak waras. Sean tidak ingat bagaimana dia memulainya tapi perempuan itu sekarang duduk di samping kursi kemudi, di sampingnya. Kesadaran Sean jelas sudah kembali mengingat dia bisa mengendarai mobilnya dalam kecepatan yang baik dan matanya mencuri pandang berulang kali pada perempuan gugup di sisinya. "Biasa datang ke Petrichor?" tanya Sean mencairkan suasana setelah dia menyalip truk besar di depannya dan berhasil. "Beberapa kali." Kegelisahan jelas tergambar di wajah perempuan itu tapi Sean tidak ingin memastikannya dia tidak mau perempuan ini menolaknya dan pergi karena keraguan itu juga tergambar di sana. Apartemen besar milik Sean sepertinya tidak cocok ditinggali seorang diri tapi nyatanya begitu, dia bahkan hampir jarang berada di tempat ini kecuali waktunya istirahat. Mini bar di salah satu sisi rumah sudah terlihat ketika keduanya masuk dan menarik perhatian perempuan itu. "Kenapa harus keluar kalau punya tempat seperti ini?" tanya perempuan itu menunjuk mini bar milik Sean dengan dagunya. "Minum di luar hanya untuk bersenang-senang tapi jika membawanya ke sini berarti hal itu cukup serius sampai harus dinikmati dengan cara yang intim." Sean menarik tangan perempuan itu berjalan menuju sudut dengan rak besar berisi puluhan botol alkohol yang baru dilihatnya sedangkan si wanita sedang terpaku dengan kata-kata yang keluar dari mulut Sean. "Wine?" Pria itu mengeluarkan botol besar berwarna hijau helap dengan label besar di bagian tengah juga tahun pembuatan yang menunjukkan umur minuman tersebut. Cukup tua. Perempuan itu mengedik mengambil tempat duduk pada kursi dengan kaki yang tinggi hingga ia perlu sedikit berjinjit ketika menaikkan bokongnya. "Sounds good!" Sean tersenyum, perempuan ini menarik meski jelas dia tidak terbiasa dengan alkohol tapi dia tidak menolaknya seolah ada batasan yang sedang dia lampaui. Bahkan ketika Sean menyodorkan wine dalam gelas perempuan itu menenggaknya habis meletakkan kembali gelasnya di atas meja dan menggeleng. Sean terkekeh sambil menunduk, dia tidak pernah tahu ada seorang amatir yang seperti perempuan ini. "Hei, kamu tahu kalau wine lebih nikmat jika kamu memainkannya lebih dulu di dalam mulut sebelum membiarkannya melewati tenggorokan." Perempuan itu tersenyum, senang mendengar informasi semacam itu kemudian memberi isyarat agar Sean menuangkan lagi minuman beralkohol itu untuknya. Kali ini dia menuruti apa yang Sean lakukan, menggoyangkan gelasnya dan meminumnya perlahan sebelum memainkannya di dalam mulut dan merasakan manisnya melewati setiap celah dalam tenggorokannya yang membuatnya hanyut. "Kamu menyukainya?" Damn! Sean tidak pernah selembut ini kepada perempuan manapun dia bahkan tidak peduli tentang perasaan mereka tapi bagaimana sekarang bisa begini. Mengangguk sambil tersenyum, perempuan itu tampak begitu senang setelah gelas keduanya tapi matanya mulai sayu karena alasan yang sama, alkohol. Sean bahkan tidak meneguknya sedikitpun karena perempuan itu tidak bisa mengalihkan perhatiannya, dia bahkan berani mendekat tanpa berubah pikiran meski sekarang sangat sadar. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk yang terbuka dan membuat perempuan itu mengangkat kepalanya menatap wajah Sean. Ciuman panas mendarat di bibir si wanita, begitu posesif dan bergairah memaksanya untuk mengikuti alur yang Sean buat. Rasa manis yang tertinggal di bibir perempuan itu membuat Sean ingin memainkan lidahnya di sana, menggoda dengan hasrat yang besar hingga dia sendiri yang kecanduan. "Katakan kalau kamu mau berhenti." Sean memberi peringatan ketika ciuman mereka terlepas, ibu jarinya menyentuh bibir bawah perempuan itu yang bengkak, perlakuannya barusan mungkin terlalu panas. "Karena aku enggak akan melepaskan kamu meskipun kamu memohon nanti." Tatapan perempuan itu menggodanya dengan senyum yang ia tunjukkan juga, kali ini tanpa ragu tangannya yang menarik Sean mendekat merapatkan jarak diantara mereka dan Sean tahu kalau dia tidak bisa berhenti lagi. Keduanya bergerak memutar tumit menuju tempat tidur dengan langkah yang bergerak seirama seakan sepakat pada apa yang hendak mereka lakukan dan menjatuhkan diri di sana sedangkan Sean melakukan tugasnya melucuti apa yang menutupi tubuh mereka, dia tidak bisa berhenti bahkan meski ini adalah kali pertama baginya juga. Dia tidak pernah merasa begini bertindak dengan mahir seolah sudah ahli. "Aku menyakiti kamu?" tanya Sean memastikan, dia juga tidak pernah selembut ini kepada perempuan, tidak karena predikat pria kasar dan otoriter yang dia terima dari pendapat sekitar tapi dengan perempuan ini Sean menunjukkan bahwa dia tidak begitu, dia tidak tahu kenapa. Menggeleng, perempuan itu menarik Sean untuk berada di atasnya memegang kendali penuh atas dirinya karena dia takut dia akan ragu dan berhenti di tengah jalan. "Aku belum tahu nama kamu ...." Sean mencium tengkuk perempuan itu dengan tubuh mereka yang sudah menyatu sepenuhnya menimbulkan suara mengerang yang menggoda mereka sendiri. "Bukannya nama tidak penting ...." Perempuan itu menolak namun suaranya yang parau membuat Sean malah ingin menghentakkan tubuhnya semakin dalam melupakan pertanyaan yang tadi membuatnya penasaran, besok, dia akan tahu besok. Tapi Sean tidak mendapat jawaban, bahkan ketika pagi hari dia bangun dari tidurnya dia sudah kehilangan perempuan itu. Tangannya bergerak mencari pinggul yang semalaman dia peluk penuh kepemilikan namun sekarang tidak ada. Padahal Sean ingin mengajaknya sarapan dan mengantarnya pulang, dia tidak ingin bersikap lembut dan tidak pernah begitu tapi pagi ini ketika bangun dengan suasana hati yang baik, dia ingin memperlakukan perempuan ini dengan baik juga. Tapi hal tergila yang dia dapati adalah perempuan itu menaruh secarik kertas di meja dengan beberapa lembar uang dollar di atasnya. Menggelitik perut Sean dengan tingkahnya yang misterius. Maaf, aku enggak bawa uang cash. Lain kali aku akan berikan lebih. Kalau kita bertemu lagi. "Sialan!!!" Sean mendengus kesal, meremas robekan kertas itu kemudian menyugar rambutnya yang berantakan, perempuan itu mengira kalau dia sudah membelinya dengan beberapa lembar uang seratus dollar. Lelucon ini benar-benar menggelikan. Sean tidak habis pikir hingga dia tidak bisa berkomentar. Meraih ponsel di atas meja, Sean menghubungi seseorang sambil bangkit dari tepi ranjangnya dengan dada terbuka, menyugar rambutnya lagi ke belakang kemudian menyimpan tangannya bertolak di pinggang ketika panggilannya dijawab. "Gue perlu lo cari orang, ASAP! Detailnya gue kirim lewat w******p!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN