Bab 1 : Tragedi kecelakaan

3606 Kata
Aroma wangi gurih menyeruak saat pintu oven itu dibuka dari luar. Asap putih legit menyapu wajah kala sebuah pie panas dikeluarkan dengan perlahan. Cantik sekali. Bentuknya lingkaran sempurna. Dengan atap garis vertikal dan horizontal seperti layaknya sebuah keranjang. Kulit luarnya berwarna cokelat karamel. Begitu pas untuk tingkat kematangan pie dengan diameter dua puluh dua senti meter. Pie itu dibuat susah payah selama dua jam dan cukup spesial dikhususkan untuk customer langganan di toko ini. "Wangiiii!" Seseorang tiba-tiba menyelatuk dari arah belakang. "Udah jadi, Del?" tanyanya penasaran. Adel, wanita yang baru saja menyelesaikan tugasnya memanggang pie itu mengangguk, menatap sekilas pria tinggi besar dengan tubuh sedikit berisi.. Dia Bobby. Rekan kerjanya di kafe minimalis ini. Adel melepas sarung tangan tebal anti panas kemudian mencuci tangannya. "Baru ada pesanan lagi. Pie s**u satu kotak,” ujar Bobby memberi informasi. Adel menghela napas. Wanita yang rambutnya dikucir satu itu memilih untuk mengeringkan tangannya dengan serbet. "Apa Pak Bos gak ada niatan tambah karyawan ya? Pegawai di sini cuma dua belas orang. Tapi pesanan terus masuk. Lama-lama bisa tipes gue." Wanita itu menggerutu. Seperti tengah mengeluh. "Haha. Lo tipes atau encok badan? Faktor usia emang gak bisa bohong ya, Del." "Apaan bawa-bawa faktor usia? Lo ngatain gue tua?" Melotot mata Adel. Wanita itu langsung berkacak pinggang tidak terima. "Ye, siapa juga yang ngatain. Lo sendiri ngaku tuh." Bobby menjulurkan lidahnya sedikit. Sengaja meledek Adel. Adel langsung mengembuskan napas kasar seraya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Gak usah sok paling muda. Inget, usia lo satu tahun di bawah gue." Sudut bibir Bobby menyeringai kecil. "Faktanya lo lebih tua kan?" Adel menggeram. Tanpa sadar dia mengepalkan kedua tangannya. "Bawa-bawa umur lagi, gue tebas pala lo!" Cuping hidung Adel kembang kempis. Wanita itu memang sensitif sekali jika sudah menyangkut pautkan usia. "Iya-iya. Sorry. Buset dah. Galak amat." Bobby berlalu menuju meja dapur. Laki-laki itu terdiam seraya menatap barang-barang dan peralatan makan yang ada di sana. Otaknya seketika kosong. Bahkan Bobby lupa tujuan utamanya datang ke sini untuk apa selain menyampaikan pesanan. Dia tampak berpikir keras. Mengingat-ingat. Karena ada sesuatu kini yang mengganjal penasaran sampai dia kesal sendiri. Cling! Suara lonceng di pintu kafe terdengar berdenting nyaring tanda orang masuk. Kepala Adel refleks menoleh ke belakang. Meski ia tahu ada sekat tembok sehingga tidak bisa melihat siapa yang datang. Tapi sudut bibirnya terangkat. Wanita itu sepertinya tahu siapa orang yang berkunjung siang ini. "Bob, kalau pie udah dingin, tolong kasih hiasan irisan apel dan strawberry di atasnya. Jangan lupa kasih sedikit taburan gula bubuk juga. Gue mau ke depan dulu." Yang ditegur tersadar. Laki-laki itu tampak terbengong sejenak sebelum mengangguk-angguk. Entah dia paham maksud Adel atau tidak karena raut wajahnya benar-benar tidak meyakinkan dan penuh keragu-raguan. Adel melangkah ke depan. Membuat kuncir kudanya turut bergoyang mengikuti irama kakinya. Manik mata Adel langsung tertuju pada orang yang tengah duduk di meja depan barisan tengah dengan membawa bayi laki-laki lucu, usianya mungkin baru menginjak satu tahunan. "Selyn, hi!" Adel mengenalinya. Dia langsung menghampiri ibu satu anak itu. Keduanya langsung bertegur sapa dengan hangat. Lalu duduk di hadapannya dengan tersenyum kepada bayi laki-laki tersebut. "Anak lo udah gede aja." Adel memegang satu tangan bayi mungil itu. Lalu menggerakkannya ke atas dan ke bawah seolah mengajaknya bersalaman. "Iya. Lucu kan? Tapi nyebelin. Wajahnya lama-lama mirip banget sama Papanya. Yang mirip sama gue cuma hidungnya doang. Pesek." Selyn memajukan bibir bawahnya. Lalu mencium pipi anaknya dengan gemas. "Hmm. Untungnya niru Gavin. Memperbaiki keturunan." "Heh! Secara gak langsung lo bilang kalau mirip gue merusak keturunan, Del? Gue cantik ya, gila lo!" Melotot mata Selyn. Adel tertawa. Lalu mengelus pipi bayi itu dengan jari telunjuknya. Sangat lembut. Seperti tidak ada tekstur. "Lo mau minum apa? Pasti haus jauh-jauh datang ke Bogor cuma mau incip pie varian terbaru gue." "Yee! Pede banget lo! Tapi bener juga sih ... Lo keterlaluan, suruh gue datang ke sini jauh-jauh. Salah macet. Belum lagi ini si Kelvin rewel. Repotnya minta ampun. Kok gak lo aja yang ke Bogor." Selyn cemberut. Dia menunduk saat anaknya itu tiba-tiba menangis. Selyn menidurkan Kelvin di atas tangannya. Lalu membuka kedua kancing atas untuk memberikan asi pada Kelvin. Dan Selyn dengan sigap menutupi payudaranya menggunakan selendang yang ia buat untuk menggendong Kelvin. Diam-diam Adel memperhatikan. Sorot matanya seperti menampakkan kesenduan. Raut wajahnya juga berubah. Adel tersenyum getir. Lalu kembali mengulang pertanyaannya yang belum dijawab oleh Selyn. "Lo mau minum apa? Kurang ajar lo buat gue nanya dua kali." "Oh, iya. Hehe." Selyn tersadar dan langsung memberikan cengiran kuda. "Emm, sebenarnya gue pingin kopi dingin, kayak biasanya. Tapi dokter kasih batasan kadar konsumsi kopi buat ibu menyusui. Jadi, gue pesen smoothies strawberry aja deh. Yang dingin ya. Tenggorokan gue kering banget." "Oke!" Adel segera berdiri dari sana untuk membuatkan pesanan Adel. Sekilas dia melihat para customer memadati kafe ini. Bibirnya tersenyum simpul. Cukup ramai. Dia juga melihat ke dalam etalase berbagai pie ukuran kecil, brownies, dan roti sudah terjual setengahnya dan bahkan sudah ada yang habis. Adel memasukkan beberapa buah strawberry segar dan sudah dicuci ke dalam blender. Dia menoleh pada Bobby dan Sisil yang tengah sibuk memasukkan jajanan ke dalam etalase. "Bob, pesanan Bu Nadia sudah lo kasih buah sama taburan gula halus belum?" Adel sedikit mengeraskan suaranya untuk menyamai bunyi mesin. Yang ditanya menggeleng kecil. "Belum, masih panas pol." "Kak Adel. Untuk pie susunya kita buat berapa adonan lagi?" Kali ini Sisil yang bertanya. Adel mematikan mesin blender itu sebelum menjawab. "Buat pesanan satu kotak tadi apa sudah dibuat?" Adel menjawab sembari meracik pesanan Selyn. Sehingga dia tidak menatap lawan bicaranya. "Sudah, Kak. Masih proses pencetakan." Adel mengangguk paham. Lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kalau dilihat-lihat pie varian s**u cepat habis. Tolong buat empat adonan dulu ya." "Baik, Kak." Adel sendiri merupakan karyawan tetap di kafe ini. Dia juga karyawan setia dan sudah bekerja dari lulus kuliah. Tidak pernah bosan. Adel begitu menyukai pekerjaannya. Karena memang sedari dulu ia suka membuat beraneka kue yang dipelajari di sekolah karena ia memang lulusan tata boga. Tapi jauh sebelum itu, Adel memang sudah jualan kue basah terutama pie sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di kafe ini Adel turut ikut andil dalam memasak menu makanan yang tersedia. Seperti pasta, olahan ayam, olahan kentang, junk food dan sebagainya. Meski kafe ini terbilang kecil di ibu kota, tapi tempatnya tak pernah sepi didatangi pembeli. Itu berkat konsistensi Adel dalam menyuguhkan kudapan yang enak sekali diterima lidah. Bahkan nama kafe ini juga cukup terkenal di kalangan warga ibu kota. Para pengunjungnya juga banyak yang menggunakan kendaraan roda empat. Dari segi data statistik dua tahun belakangan ini, kafe yang terbilang tidak terlalu luas justru kerap didatangi orang-orang berkemeja dengan laptop-laptop di atas meja untuk bekerja atau mengerjakan tugas. Didukung dengan suasana kafe yang didominasi ornamen hijau muda serta banyak printilan bunga-bunga dan dedaunan plastik membuat kesan nyaman dan rileks tersendiri bagi konsumen. Melihat perkembangan Adel yang sangat membantu pertumbuhan ekonomi kafe, jabatan di kafe ini bukan lagi sebagai karyawan. Melainkan sudah seperti anak bos dengan gaji dua sampai tiga kali lipat dari uang saku karyawan biasa. Oleh karena itu semua karyawan di sini segan pada Adel. Gajinya memang sangat sebanding dengan kerja kerasnya. Tetapi semakin ke sini, Adel merasa kewalahan karena kurangnya jumlah karyawan. Dikarenakan pemilik kafe tidak sedang berada di Indonesia. Sehingga semua tugas diserahkan pada Adel. Meski Adel memiliki kuasa andil memegang perkembangan kafe, dia tidak berani untuk membuka open rekruitmen dan menambah karyawan baru. Karena beberapa bulan lalu, Bobby pernah bilang, jika karyawan terus bertambah, besar kemungkinan gaji mereka akan stagnan dan tetap. Selama ini memang bos besar suka sekali memberikan bonus-bonus tambahan uang saku tanpa diminta. Bobby juga bilang, sesuai hukum ekonomi dari teori dari David Ricardo yang ia ubah sedikit bahasanya, berpendapat bahwa semakin banyak orang diterima kerja dengan posisi yang sama, maka upah atau gaji yang diberikan akan menurun dan bahkan stagnan. Adel jelas menentang teori itu. Dia hanya butuh lima sampai enam karyawan saja. Tidak akan langsung menurunkan gaji bukan? Teori dari David Ricardo jelas menyinggung tentang pertumbuhan penduduk yang semakin besar akan menghasilkan banyak tenaga kerja, sehingga upah menurun dan perekonomian menjadi stagnan. Itu baru bisa terjadi jika Adel memasukkan jumlah pekerja yang tak seimbang dengan income perusahaan. Meski Adel tidak ada latar pendidikan ekonomi, tapi dia tahu sedikit-sedikit dari jurnal-jurnal yang sering ia baca. Dan Boby terlalu membesarkan masalah sampai mengaitkan dengan teori ahli ekonomi. Seperti halnya kasus kerja nyata. Mengapa orang-orang yang ahli teknologi mendapat upah yang sangat mahal? Karena ilmu mereka juga mahal. Dan pesaing masuk ke dalam industri tersebut tidak lah mudah. Pesaingnya juga tidak terlalu banyak seperti pada jurusan yang memang memiliki banyak peminat. Sehingga perusahaan juga cukup susah mencari orang-orang dengan skill dan kemampuan yang mumpuni ada dalam perusahannya. Adel sendiri pernah melihat bagaimana pusingnya anak teknik dalam mengelola berbagai coding dan mencari pemecahan trouble shooting dengan menggunakan rumus-rumus yang mampu membuat kepalanya pusing sendiri. Adel sangat tahu itu adalah alibi Bobby saja yang takut posisinya tergeser dengan karyawan baru dengan skill barista yang lebih mumpuni dari dirinya. Karena di sini Bobby memang masih awam dalam bekerja. Akan tetapi, jika dalam tiga bulan ke depan kas keuangan kafe meningkat di atas target, Adel akan segera berkomunikasi dengan bosnya. Setidaknya menambah tiga sampai lima karyawan lagi untuk meringankan pengerjaannya. Terlebih bos meminta ada menu baru bulan depan, jelas itu meremas otak Adel untuk mencoba resep-resep dan menentukan mana yang terbaik untuk layak masuk ke dalam kafe ini. Adel membawa pesanan Selyn. Juga varian pie terbarunya bulan ini. Kepala wanita itu melongok menatap Kelvin yang begitu anteng di pangkuan Selyn. Tak lagi menghisap asi. "Tidur." Selyn meringis. Lalu menerima gelas smoothies pesanannya lantas meminum isinya menggunakan sedotan besi dengan rakus. Bahkan voume minuman dingin itu langsung tersisa setengahnya. "Ini pie terbaru lo? Keren juga." Selyn mengambil pie brownies yang begitu memikat mata dan juga lidah. Menggigitnya setengah. Lalu netra matanya membesar setelah dihajar rasa baru yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. "Gimana?" Adel tersenyum sombong melihat ekspresi wajah Selyn yang seperti tengah merasakan kenikmatan hakiki. "Gilak! Enak banget! Buanget malah. Sumpah." Adel speechless. Menatap temannya itu lebih takjub. Lalu memasukkan sisanya ke dalam mulut begitu saja. "Kan?" Adel tersenyum pongah. Hatinya begitu menghangat mendengar orang memuji masakannya. "Buatin gue tiga kotak, Del. Gue mau kasih ke mertua. Kebetulan gue malam ini nginep di sana." "Jangan peres deh, Lyn. Beneran enak atau cuma buat nyenengin gue doang?" Adel jadi memicing curiga. Membuat Selyn langsung membuka mulutnya yang penuh dengan cokelat. "Lo itu ya! Maunya apa sih!" Adel dan Selyn kaget saat Kelvin tiba-tiba menangis. Mungkin bagi itu juga terkejut saat ibunya tiba-tiba berteriak. Selyn segera membenarkan posisi gendongannya. Menepuk-nepuk pelan anaknya dan memberikan dia rasa kenyamanan. "Maaf-maaf, Nak. Sayangnya Mama." Selyn menciumi anaknya yang langsung tenang. Kelvin kembali memejamkan mata. Dan bersembunyi di ketiak Selyn. "Gue tadinya mau lepeh. Tapi beneran enak gimana doang!" Selyn kembali mencomot pie brownies cokelat itu. Dia benar-benar menikmatinya. Tidak ada kebohongan yang tampak pada raut wajahnya. "Makasih." Kali ini Adel luluh dengan pengakuan Selyn. "Oke. Kalau gitu gue siapin dulu." Adel berdiri. Bertepatan dengan suara lonceng pintu kembali terdengar. Seperti sudah impuls otak manusia, beberapa kepala refleks menoleh. Juga Adel. Melihat siapa orang yang memasuki kafe ini. Adel seperti terpaku. Menatap seorang wanita yang begitu anggun dan cantik sekali. Setelan dress hitam menjuntai di atas lutut begitu pas dengan postur tubuhnya yang tinggi jenjang. Pinggang wanita itu benar-benar ramping. Kulit wajahnya putih bersinar seperti tidak ada tekstur dan bekas jerawat. Seperti rutin melaksanakan perawatan. Lipstik merah mawar mekar terpoles apik pada bibirnya yang mungil. Kedua pipinya tirus. Bentuk rahangnya sedikit lancip ke bawah. Rambutnya panjang sepunggung dengan ujung bergelombang dicat dengan warna cokelat muda sedikit gelap. Kulit wanita itu juga putih bersih bersinar paling terang. Hidungnya kecil mancung. Bulu matanya tampak lentik dibantu oleh polesan maskara begitu pas sebagai payung di kedua bola matanya yang besar. Cantik sekali. Sangat tampak dia bukan orang sembarangan. Maksudnya, bisa dibilang segi ekonominya termasuk ke dalam deretan atas. Didukung dengan sebuah tas kecil dengan merek ternama terlampir di lengan tangannya. Sepasang sepatu heels hitamnya juga menggema halus bergesekan dengan lantai kafe yang dingin. Adel melangkah mendekat pada Sisil yang bertugas sebagai kasir siang ini. Tidak untuk ikut melayani wanita cantik nan elegan itu, tapi untuk membungkus pesanan Selyn. "Saya baru mendengar ada pie strawberry yang katanya enak di sini. Apa ada tester untuk saya coba?" Sisil mengerjap. Dia langsung menoleh pada Adel. Pasalnya kafe ini memang tidak menyediakan tester. Dan Adel segera cepat tanggap. Dia tersenyum. Lalu mengambil pie mini yang dalamnya memang ada isi buah segar strawberry pada wanita tersebut. "Silakan Anda coba. Kami juga menyediakan beberapa varian pie. Diantara ada pie buah, pie s**u, dan yang terbaru ada pie brownies cokelat dengan beberapa toping gurih renyah, tidak terlalu manis dan cocok disantap sebagai teman kerja, atau teman bersantai. Ada penawaran khusus untuk harga dari pie terbaru kami." Adel tersenyum. Dia mengambil tiga varian yang ia sebutkan tadi. Melihatkan pada konsumen. Wanita yang baru saja mengigit pie strawberry tampak mengangkat kepalanya kaget dengan melebarkan kedua matanya. Rasa asam, manis, asin, gurih, renyah, bercampur menjadi satu menerjang lidahnya. Wanita itu bahkan mengangkat tangan kirinya untuk menutupi mulut. Seperti tengah terkejut dan tercengang. Sstttt! Itu adalah salah satu trik marketing Adel mempromosikan produknya. Dengan memberikan bumbu keunggulan produk sebagai benefit bagi konsumen. "Sangat enak." Wanita itu memuji. Adel dan Sisil serempak tersenyum lega mendengarnya. "Saya mau pesan yang ini." Wanita itu menunjukkan pie yang sudah ia gigit setengah, sebelum memasukkan semua ke dalam mulutnya. "Baik." Adel menggeser tubuhnya menuju meja kasir agar tidak terhalang etalase kue. Sehingga ia dapat dengan mudah menawarkan penjualan. Dan Sisil otomatis melangkah mundur. Dia beralih menata kue-kue di dalam lemari kaca. "Untuk pembelian langsung, hanya bisa mendapatkan pie ukuran mini dan ukuran kecil. Untuk ukuran sedang, besar dan ekstra, harus memesan satu hari sebelum diambil. Dengan uang muka lima puluh persen." Adel menunjukkan poster menu pie. "Ini nomor pemesanan jika Anda berminat ingin memesan dengan ukuran yang lebih besar." Wanita cantik itu menerimanya. Melihatnya sekilas sebelum ia masukkan ke dalam tas. "Kalau begitu, saya mau ukuran kecil dua." "Baik. Apa tidak mau mencoba varian pie yang lain sekalian? Rasanya tidak kalah enak dan unik dan wajib untuk Anda coba." "Boleh. Kasih yang mini tiga-tiga." Adel tersenyum ramah. Lantas segera membungkus pesanan itu. "Sil. Tolong kamu siapin tiga box sedang pie brownies." Adel memintanya bantuan rekan kerjanya menyiapkan pesanan Selyn. Sisil mengangguk. Gadis yang tingginya tidak sampai seratus lima puluh lima itu dengan sangat cekatan dalam pekerjaannya. Juga dengan Adel. Wanita itu tak membuat pelanggannya menunggu lama untuk menerima pesanan. Setelah memasukkan box ke dalam kantung plastik, jemari Adel tampak sibuk menari di atas mesin ketik untuk mencetak bon harga. "Berikut totalnya, Kak. Mau pembayaran tunai atau debit?" "Debit aja." Adel mengangguk. Menerima kartu dari wanita itu lalu segera menyelesaikan transaksi. "Terima kasih sudah berbelanja. Ditunggu kedatangan berikutnya." Adel menyatukan kedua tangannya memberi salam. Dibalas dengan senyuman halus dan anggukan pelan dari wanita itu sebelum pergi meninggalkan kafe. "Del, Waktunya antar pesanan Bu Nadia." Bobby tiba-tiba datang menemuinya. Adel menatap jam sekilas. Kepalanya mengangguk. Dia lantas melepas celemek cokelat muda di tubuhnya. "Pesanannya udah siap?" Bobby mengangguk. "Gue tunggu di mobil ya." "Oke." Adel menghela napas. Dia sedikit merasa gerah. Meski ruangan ini telah didukung dengan pendingin ruangan dan rambutnya sudah diikat ke atas. Tapi suhu panas di tubuhnya akibat mondar-mandir membuat dia lelah sendiri. Adel membawa pesanan Selyn. Meletakkan bungkusan besar itu ke atas meja. Bibir Adel mengembang melihat Kelvin sudah bangun dan tengah bermain bersama Selyn. "Lyn. Boleh gue gendong Kelvin gak? Gemes banget." Adel memajukan bibir bawahnya. Tangannya sudah gatal untuk memegang bayi gembul itu. Selyn mengangguk. Tersenyum. Segera memberikan anaknya untuk digendong Adel. Kelvin memang pintar. Bayi itu sama sekali tidak menolak atau menangis saat lepas tangan dari ibunya. Dan hal itu membuat Adel merasa senang. Bahkan Kelvin tertawa-tawa melihat ibunya yang tengah menggodanya dari bawah. Adel bahkan mengeratkan tangannya saat Kelvin seperti ingin loncat dari gendongannya dengan tertawa nyaring menggemaskan yang mampu membuat Adel dan Selyn turut tertawa. Selyn berhenti menggoda anaknya. Kali ini dia mendongak untuk menatap Adel lebih lekat. Senyum di bibirnya seketika memudar. Sorot matanya juga tampak sayu melihat Adel yang mengayun-ayunkan anaknya dengan pelan. Sosok keibuan sudah tampak di diri Adel. "Del, lo seriusan gak kepingin nikah?" Satu pertanyaan yang sangat sensitif itu langsung mengentikan Adel. Barulah saat itu senyuman di bibirnya hilang. Dia sedikit membenarkan posisi Kelvin agar bayi itu lebih nyaman. Lalu kepala Adel menggeleng pelan. Dengan bibir yang terasa kelu, dia akhirnya menjawab. "Gue takut, Lyn." Selyn tampak menghela napas. Dia cukup prihatin melihat Adel yang sudah ia kenal baik selama di perkuliahan tak kunjung juga ada tanda-tanda menikah. "Gak semua pernikahan seperti itu, Del. Lo gak usah--" Kalimat Selyn terputus saat ponselnya berdering. Wanita itu meraihnya. Mengangkat dan menyahut. "Iya. Ini sudah selesai. Oh, kamu sudah di depan. Oke. Aku ke sana." Sambungan itu terputus. Selyn berdiri. Sembari membenarkan posisi selendang. "Del, gue udah di jemput. Makasih ya. Sukses buat karier lo. Gue ada firasat lo bau-bau diangkat jadi CEO dah." Selyn menerima anaknya. "Hahaha. Aamiin ye, kan. Makasih juga udah nyempetin mampir jauh-jauh cuma buat rasain pie terbaru gue." Adel mengantarkan Selyn sampai wanita itu masuk ke dalam mobil. Adel juga sempat bertegur sapa dengan Gavin, suaminya Selyn yang notabennya laki-laki itu adalah teman kelasnya dulu. Bahkan Adel sendiri yang dulu dalang comblang keduanya. Ujung-ujungnya Adel kaget sendiri kedua orang itu justru jadi sampai ke pelaminan. Adel mengeratkan ikatan rambutnya yang sedikit kendur. Dia kini melangkahkan kakinya menuju mobil kantor untuk mengantarkan pesanan Bu Nadia. Sebenarnya ada karyawan khusus delivery. Akan tetapi entah kenapa Bu Nadia meminta Adel yang mengantarkan pesanannya. Bahkan beliau sampai membayar lebih mahal pie itu untuk Adel mau menemuinya. Sementara itu Adel sendiri tidak bisa menggunakan kendaraan baik motor maupun mobil. Sehingga ia meminta bantuan Bobby dalam mengatasi permasalah ini. "Lama amat ditungguin dari tadi." Bobby mengeluh saat Adel masuk dan duduk di sebelahnya. "Bawel. Udah jalan." Adel tak mau berdebat. Dia memakai sabuk pengaman. Bernapas lega kala Bobby ternyata sudah menghidupkan AC. Sementara Bobby mendesis. Laki-laki itu menurut dan menjalankan mobilnya. Mobil putih mereka meluncur mulus membelah jalan aspal panas siang ini. Beruntungnya jalanan cukup lenggang. Hanya ada beberapa rute saja yang sedikit macet tapi tidak terlalu lama. "Ngapain Bu Nadia ngebet banget mau ketemu lo ya?" Bobby bertanya saat mobil mereka terjebak lampu merah. Adel mengedikkan bahunya, lantas menjawab, "kangen gue kali. Sampai repot-repot bayar mahal." Bobby mendesis mendengar tingkat percaya diri Adel sampai bilang dirindukan konsumennya. "Terus ini ke mana?" tanya laki-laki itu yang memang tidak tahu arah rumah Bu Nadia. "Belok kanan. Itu yang orang-orang pada belok." Adel mengarahkan dagunya. "Terus masuk perumahan Aster. "Lo pernah ke rumah beliau sebelumnya?" Adel mengangguk. "Pernah. Sekali. "Ngapain?" "Ya antar pie! Lo kira ngapain?" Adel memutar bola matanya malas. "Oh. Gue kira dia saudara lo gitu." Mobil mereka melintas pada areal taman yang begitu sejuk. Di sekelilingnya terdapat banyak pohon-pohon besar berdaun lebat dan rindang. Di sepanjang jalan itu juga dipenuhi daun-daun keemasan yang kering selepas gugur dari ranting. Meski siang ini cukup panas, tapi di tempat ini begitu sejuk. Terlihat banyak orang yang berada di sana. Entah itu duduk-duduk santai. Jalan-jalan bersama hewan peliharaan, dan juga ada yang berlari kecil dengan earphone tanpa kabel di kedua telinga. Adel sibuk menatap luar jendela. Memperhatikan sekitar. Adel sendiri berkeinginan suatu saat nanti akan punya rumah di lingkungan ini. Menatap hijau-hijau daun dan merasakan semilir angin segar pasti mampu meredam letih karena kerja yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Bobby melongok. Laki-laki itu sepertinya merasa haus. Karena matanya tertuju pada botol mineral yang tergeletak di dashboard. Dia hendak meraihnya. Sehingga fokusnya tidak terarah penuh pada jalan di depan sana. Dan bertepatan dengan kepala Bobby yang menunduk, di saat itu juga seekor anjing besar jenis Husky yang mirip seperti seekor serigala tiba-tiba melintas ke arah mobil mereka. Adel dengan refleks menjerit kaget memanggil nama Bobby. Sementara itu Bobby kelabakan karena teriakan Adel. Bobby membanting setir ke kanan saat menyadari anjing itu benar-benar tepat di depan matanya. Niat Bobby yang menghindari anjing itu justru membawa bencana karena mobil mereka justru menabrak mobil lain yang terparkir di sana. Bunyi hantaman yang sangat keras dengan teriakan Adel diiringi klakson panjang dari Bobby mengagetkan semua orang yang berada di sana. Adel terpental hingga kepala kirinya menabrak jendela kaca dengan keras. Sementara itu juga kepala depan Bobby juga terpentok setir yang bunyinya dapat membuat telinga siapapun ngilu. Dalam beberapa detik pandangan Adel dan Bobby menggelap. Tidak ada darah. Keduanya masih sadar dan remang-remang. Mendengar bunyi kegaduhan di luar sana. Jantung Adel bergemuruh kencang saat pengelihatannya perlahan-lahan mulai normal. Dia menatap Bobby dengan wajah yang sudah memucat. Begitu juga Bobby yang kini tengah mengerang sembari mengusap-usap dahinya yang nyut-nyutan. "Mampus." Adel membeku. Dia terpelonjak kaget saat jendela mobilnya diketuk-ketuk dari luar. Jantungnya semakin berdetak tak keruan mendengar seruan dari luar yang berteriak Molly dengan sangat keras. Seperti meraung. Tubuh Adel seperti disiram air es. Dingin menusuk sampai tulang. Otaknya seperti tidaka da isi. Dia bingung harus melakukan apa. Melihat Bobby keluar dari mobil karena diamuk masa, Adel mau tidak mau juga ikut keluar dari sana. Saat itu juga Adel langsung menutup mulutnya yang terbuka lebar. Lututnya benar-benar lemas setelah melihat seekor anjing tergeletak mengenaskan dengan darah mengalir deras keluar dari dalam tubuhnya. Wajah Adel semakin pucat mendengar tangisan dari si pemilik anjing yang menjatuhkan dirinya di samping peliharaannya dengan menangis dan meraung. Adel rasanya ingin pingsan di tempat. Ini benar-benar kacau. Mobil milik kantor rusak begitu juga dengan mobil entah milik siapa menjadi korban dengan seekor anjing yang entah masih hidup atau tewas. "Mati gue." Adel merutuk dalam hati. Seribu ketakutan langsung menyerang isi kepala Adel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN