BAB 1 – Malam Pertemuan Keluarga

2019 Kata
“Halo, Bun?” sapaku begitu mengangkat panggilan dari Bunda. “Kak, kelasnya udah selesai?” “Udah, ini Kakak baru mau keluar. Kenapa?” “Jangan main, ya. Langsung pulang ke rumah? Masih ingat nggak kalau kita ada acara makan malam keluarga? Kakak harus siap-siap lebih awal. Udah jam empat juga, keburu enggak cantik nanti mukanya. Ini Bunda lagi ngebut masak-masak sama Mbak Yati.” Biasanya juga nggak seribet ini. Jangankan dandan, enggak mandi-pun aku bisa gabung makan malam. Aneh banget Bunda, tapi nggak mau nanya takutnya malah ribet. “Iya, ini Kakak ke parkiran. Enggak main, kok, udah sore. Lagian Haura pulang duluan. Katanya mau ke klinik, kontrol bulanan mamanya.” “Syukurlah. Ya sudah, hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa motornya. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,  iya, Bun.” Setelah sambungan telepon terputus, aku langsung memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Berjalan menyusuri lorong, menuju parkiran motor yang ada di belakang gedung kampus. Suasana sore masih ramai, sebab kelas-kelas lain juga terlihat baru selesai. Rata-rata semester tujuh hampir punya jam masuk yang sama. Kalau masuk siang, maka siang merata. Kalau masuk pagi, maka pagi merata. Untuk semua jurusan. Motorku ada di blok B. Nggak jauh dari lorong penghubung, cukup berjalan beberapa menit maka akan sampai. Sebagai tanda supaya nggak salah kenali, aku menekan tombol yang ada di kunci, hingga terdengar bunyi ‘pip’ dan aku langsung mengenali dodo–scoopy kesayanganku. Sebelum menaiki dodo, aku memasang helm lebih dulu. Tapi, gerakan tiba-tiba terhenti karena mendengar suara yang nggak asing. Kepalaku otomatis menoleh, seketika langsung terkesima melihat dua orang berjalan sambil mengobrol. Salah satu di antaranya dalah Kak Gian. Aku pengagum rahasianya dari satu setengah tahun yang lalu. Dia pernah mengepalai berbagai organisasi. Terkenal ramah dan murah senyum. Menjadi favorit banyak perempuan, salah satunya aku. Kak Gian berkharisma, nggak sedikit yang menyatakan cinta tapi berujung ditolak halus. Entah kenapa karena apa, tapi yang pasti sampai sekarang nggak ada yang berhasil berkencan dengan Kak Gian. Padahal rumor yang kami dengar, dari dulu dia nggak punya pacar. Tapi, Kak Gian ngapain di kampus? Setahuku magister jam kuliahnya malam atau kalau nggak akhir pekan. Ah, nggak perduli juga! Intinya ini hari keberuntungan. Kapan lagi aku bisa lihat Kak Gian dari jarak dekat? Ya meskipun hanya selintas karena dia terlihat menuju parkiran lantai dua. Tiga menit terlewat, aku kembali tersadar begitu punggung Kak Gian menghilang. Tapi, sisa-sisa kehadirannya masih tertinggal dalam bentuk senyum-senyum nggak jelas di bibirku. Ah, memang seperti ini jadi pengagum rahasia seseorang. Suka tanpa ada yang tahu. Bebas mengamati, namun belum tentu bisa memiliki. Capek, tapi seru. Bergegas aku memasang helm, kemudian menstarter dodo. Setelah itu mundur perlahan, lalu melajukan dalam tempo sedang. Area parkir belakang ini terhitung luas, perlu melewati lorong samping dulu sebelum bertemu jalan raya. Tapi, hanya butuh lima menit menyusuri, sekarang aku sudah bergabung dengan kendaraan lain. Jam sore memang padat-padatnya, karena selain para mahasiswa/mahasiswi, ada juga karyawan kantor yang pulang. Macet sudah pasti nggak bisa dihindari, untungnya aku jago selap-selip, jadi mudah menerobos sampai depan. Detik di perempatan masih di angka 48, artinya cukup lama menunggu giliran jalan. Aku menikmati sekitar sambil menatap ke berbagai sudut. Wajah-wajah kuyu terlihat jelas, mungkin karena seharian memeras otak dan tenaga, pulangnya mereka jadi nggak punya semangat tinggi lagi. Yang ada di pikiran pasti hanya seputar mandi, makan, lalu istirahat. Itu-pun kalau bisa. Gelak tawa dari arah samping membuatku menoleh. Kening otomatis mengernyit, heran melihat seseorang bertelepon dengan kaca setengah terbuka. Posisinya dari samping membuat sulit untuk melihat wajah, tapi aku berani jamin orang ini punya pangkat di sebuah perusahaan. Menilik dari stelan jas yang dia kenakan, serta mobil mahal mengkilap yang dia kendarai. “Malam ini aku ada pertemuan keluarga. Malam Sabtu nanti free. Kau siap-siap saja, aku dan Diaz datang mengacau. Menyambut sekaligus mengadakan perayaan untuk keponakan pertama dalam pertemanan kita. Ingin mendengar cerita dari Asha tentang ekspresimu saat dia melahirkan.” Suaranya sampai kedengaran, tapi nggak aneh memang karena kami cukup berdampingan. Paling jaraknya setengah rentang tangan. “b******n, kau melarang pasti karena tidak mau kelemahanmu kami dengar? Dasar singa jinak!” Aku terlonjak mendengar umpatannya. Orang ini benar-benar nggak punya sopan-santun sama sekali. “Tidak perduli, kami tetap datang mengacau. Kau tunggu saja. Setidaknya hadiah dari kami cukup untuk menyenangkan istri seksimu.” Aku bergidik ngeri mendengarnya. Beruntung lampu merah berganti ke kuning, lalu jadi hijau. Hingga nggak butuh lama aku langsung tancap gas. Sempat tadi melirik spion, berusaha untuk mengingat nomor platnya. Takut kalau-kalau nanti nggak sengaja kertemu lagi. Jadi, secepatnya bisa menghindar. Soalnya pemilik mobil itu orang tua aneh. Mulutnya terlalu ringan untuk berucap kasar. *** Tatapan Eyang seperti mesin pemindai. Sebelum keluar kamar, aku diminta bolak-balik dulu karena beliau sedang menilai penampilan. Katanya kalau sudah lolos, baru kami bisa menuruni keluar kamar. Bibirku nyaris mengerucut mendengar hal itu, tapi nggak bisa memberontak takutnya dibilang pembangkang. “Sudah cantik, Eyang suka kamu yang begini,” katanya seraya melambai, meminta untuk mendekat. “Dress-nya tidak terbuka, tidak juga tertutup. Kulitmu putih pucat, jadi warnanya menonjol di tubuh. Mereka pasti senang melihatmu tumbuh seanggun dan seayu ini.” “Makan malam kayak biasa ‘kan, Eyang? Kenapa juga harus rapi kayak gini. Biasanya pakai piyama juga nggak apa. Terus nggak perlu dandan sah-sah aja. Karena yang dilihat keluarga sendiri. Bunda, ayah, adek sama Eyang. Enggak kurangm, enggak lebih.” “Pokoknya kali ini beda. Ayo keluar, supaya ikut nyambut di depan nanti.” Kernyitan heran nggak bisa kusembunyikan. Tapi, lebih memilih bungkam dibanding bertanya lagi. Eyang pasti sudah bosan mendengar, karena sejak tadi mulutku nggak lama mengantup. Ada-ada saja yang dikeluarkan. Entah itu mengeluh. Entah itu mengomentari penampilan. Atau entah itu membicarakan hal-hal yang nggak biasanya terjadi di rumah ini. Kami menuruni tangga dengan Eyang melingkarkan tangannya di lenganku. Obrolan Ayah dan Azka mulai terdengar saat kami menapaki undakan tangga terakhir. Kata Ayah, “Dek, nanti jangan sering main di luar kalau kakak sudah tidak ada di rumah. Waktunya pulang sekolah, langsung pulang saja. Temani bunda. Mainnya bisa, asal izin dan tidak lama.” “Memangnya Kak Kia mau ke mana, Yah?” “Nanti kamu pasti tahu.” Aku si empu diri saja nggak tahu mau ke mana, lantas kenapa Ayah bilang kayak gitu ke Azka? Berasa kayak, nggak lama lagi aku diusir dari rumah. Padahal, aku nggak macam-macam. Kalau waktunya pulang kuliah, ya pulang. Kalau mau main, pasti izin. Enggak pernah juga larut banget. Paling telat ya pukul delapan malam. Itupun sama Haura, teman dekatku satu-satunya. “Yeni mana, Har?” tanya Eyang tiba-tiba, membuat lamunanku buyar. “Tadi habis dari kamar Kia katanya mau cek dapur. Semua sudah beres, kan? Takutnya nanti keburu mereka datang, tapi orang tua Kia malah belum lengkap.” “Ke kamar mandi, Ma. Gara-gara gugup jadi mau buang air kecil.” “Ada-ada saja.” Eyang terkekeh geli, kemudian menuntunku untuk duduk di samping Azka. Mereka juga nggak kalah rapi, berbanding jauh dari malam-malam sebelumnya. Sebenarnya aku curiga, mungkin saja mereka membuat rencana tanpa sepengetahuanku. Tapi, apa? Kenapa harus disembunyikan coba? “Sudah pada datang, kah?” Kami semua kompak menoleh, mendengar garasak-grusuk Bunda dari arah kanan–kamar utama. Terlihat beliau merapikan gamis yang dikenakan. Bunda memang tipe ibu-ibu heboh. Dandan paling cepat, tapi selesai paling akhir. Nggak heran memang, di umur beliau yang 46 tahun, masih cantik cetar membahana. “Bentar lagi kayaknya.” “Syukurlah. Bunda sampai cebok cepat-cepat, eh malah kesiram dalaman. Jadi terpaksa ganti. Untungnya mereka belum datang.” Kemudian Bunda duduk di sebelah Ayah, lalu repot dengan kerah kemeja Ayah yang nggak rapi. “Habis ngapain, sih? Padahal udah bagus banget tadi. Ayah nih pasti garuk-garuk leher.” “Gatal, Bun, masa tidak digaruk.” Aku jadi tertawa melihatnya. Sepele banget mancing Bunda buat ngomel-ngomel. Tapi, interaksi mereka menyenangkan. Kadang cerewet, tapi Ayah selalu punya tanggapan yang adem. Atau kadang Ayah yang inisiatif mengajak bercanda di saat Bunda yang nggak mood. Ujung-ujungnya nanti dirayu, lalu Bunda langsung luluh begitu saja. Manis banget pokoknya. “Nah, nah, itu suara mobil. Ayo langsung berdiri!” Mataku megerjap bingung, tapi nggak sempat lama karena Eyang menarik tanganku untuk bangkit. Kami kemudian berkumpul, dengan aku diapit oleh Eyang dan Bunda. Sementara Ayah dan Azka memimpin di depan. Satu rombongan berjalan ke depan. Saat tiba di pintu, Ayah membuka lebar keduanya, kemudian kami keluar. Terlihat jelas dari halaman, satu ... dua ... tiga orang turun dari mobil. Mereka otomatis tersenyum melihat sambutan kami. Aku jelas menyipitkan mata karena merasa kenal. Berusaha mengingat, namun gagal. “Maaf kalau kami telat, Umma.” “Ah, tidak. Pas dengan waktu yang dijanjikan,” sahut Eyang. Kemudian mereka saling cipika-cipiki. Azka diminta untuk salim, aku juga nggak jauh berbeda. Malah aku kena peluk dan cubitan gemas di pipi oleh wanita yang memanggil Eyang ‘umma’. Beliau kayaknya senang melihatku. “Ayo masuk-masuk. Yang bungsu mana?” “Masih di dalam. Nanti sama abangnya keluar.” Kami kemudian masuk beramai-ramai. Iseng aku menoleh, tapi ‘bungsu’ yang dimaksud belum muncul. Penasaran sebenarnya, tapi nggak terlalu juga. Lagipula perhatianku secepat itu teralihkan, saat mendengar kehebohan Bunda. Lawan bicara beliau kayaknya tua, cuma masih cantik jadi terlihat sepantaran sama Bunda. “Sudah lumayan lama tidak ketemu Kia. Makin cantik, ya, anaknya. Ini sih dijamin langsung suka.” “Begitulah, Mbak. Agak tinggian dari terakhir kali.” Percakapan demi percakapan terjalin saat kami berjalan menuju ruang makan. Tapi mendadak konsentrasiku buyar mendengar langkah-langkah di belakang. Apa itu orang yang dimaksud? Aduh, ingin sekali menoleh, tapi harus pura-pura kalem dan terkesan nggak perduli dulu. Pada akhirnya, sampai duduk-pun aku berlagak acuh. Kami menempati kursi masing-masing. Tidak ada kursi untuk kepala keluarga, karena posisinya memang berjejer saja. Di sebelah kiriku ada Azka, sementara di sebelah kanan ada Bunda. Ayah sendiri diapit oleh Bunda dan Eyang. Lalu di depan kami, ada kakek tua–seumuran Eyang mungkin–kemudian tante dan om yang familiar tapi lupa pernah melihat di mana. Saat mereka sibuk bicara, aku meraih gelas yang baru diisi air putih oleh Mbak Yati. Ketika menoleh ke samping untuk minum sesopan mungkin, tiba-tiba saja aku tersedak dan terbatuk-batuk. Tenggorokan sampai panas, bahkan mata berair saking dibuat kagetnya oleh objek yang nggak sengaja kulihat. “Malam, Eyang, Om dan Tante,” sapa pria dewasa–mungkin layak dipanggil om-om. Aku seperti pernah mendengar suara jenis ini, tapi lagi-lagi lupa. Duh, kenapa harus lupa lagi, sih? “Lama tidak bertemu. Apa kabar?” “Alhamdulillah baik, Mas. Kamu sendiri bagaimana?” “Baik juga, Om.” “Syukurlah.” “Kalau Gian gimana kabarnya?” Nah, satu nama itu yang buat aku tersedak! Kenapa bisa Kak Gian muncul di rumah? Dengan gantengnya dia menarik kursi, lantas duduk berhadapan dengan Azka. Astaga! Aku sampai malu dan merona sendiri. Kami bisa sedekat ini, mimpi apa aku semalam? “Alhamdulillah baik, Eyang.” “Ini Kia. Masih ingat tidak?” Seketika tatapan semua orang terpusat padaku. Membuat salah tingkah, tapi harus jaga image. Ini Giandra yang kumaksud, kakak tingkat yang sudah kusukai satu setengah tahun lebih. Tapi, aku hanya sebatas pengagum rahasia, jadi nggak boleh bertindak memalukan. “Ha-halo, Kak, Om.” Pria di depanku berdehem nyaring, membuat keningku mengernyit. Ditambah jari-jari bunda menusuk pinggang, membuat konsentrasi ingin menatap Kak Gian buyar begitu saja. “Kak,” bisik Bunda pelan. “Mereka itu adik-kakak. Kamu panggil dia mas, lalu panggil Gian kakak.” “O-oh.” Seketika aku malu sendiri. Langsung aku meralat, demi mencairkan suasana, “Maksudnya tadi, halo Kak Gian dan kakaknya Kak Gian.” Bunda seketika menepuk jidat, yang lain justru terkekeh geli. “Kia mungkin lupa, ya? Nah, ini Tante Rima, lalu Om Sajad. Yang ujung itu panggil saja Opa. Sementara yang di samping Gian namanya Danu. Kamu bisa panggil dia Mas Danu. Dia kakaknya Gian.” Aku meringis sambil mengangguk. Saat menoleh lagi pada Mas Danu–bermaksud ingin minta maaf–aku kaget mendapati dia menyipitkan mata. Terlihat tidak suka, kah? Kenapa? Apa gara-gara panggilan ‘om’ tadi? Tapi, aku nggak salah karena dia beneran lebih dewasa dari Kak Gian. “Maaf, a-aku –” “Danuaji,” ujarnya singkat, disertai sodoran tangan. “Calon kakak iparmu.” H-ha?! ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN