1. Teror menikah

1250 Kata
Rexvan menatap mendelik ke arah gadis gendut yang tengah berjalan dengan kesusahan. Gadis bernama Intan yang merupakan anak magang di devisi keuangan, selalu membuat hiburan sendiri oleh Rex. Rex memfokuskan pandangannya pada sepatu yang dipakai gadis itu. Intan sering dipanggil Cebol oleh teman-temannya, sekalipun gadis itu tak marah. Entahlah, ekspresi gadis itu selalu membuat Rexvan yang notabennya seorang CEO terpesona. Makin lama, mata Rex terasa perih melihat sepatu hak tinggi yang dipakai Intan. Bagaimana bisa gadis itu memakai sepatu setinggi itu dan malah menyusahkan langkahnya sendiri. "Intan!" panggil Rex yang membuat Intan tersentak. Gadis itu berkeringat dingin hanya mendengar panggilan Bosnya. Padahal, Rex terkenal sebagai CEO yang ramah terhadap karyawannya. "Iya, Sir!" jawab Intan kikuk. "Lepas sepatu jelekmu itu!" titah Rex yang membuat Intan melotot. Bagaimana mungkin seorang CEO berpendidikan mengatai sepatunya dengan kata-kata jelek?. "Aku bilang lepas, Intan! Sepatumu sungguh membuat mataku gejala rabun." ucap Rex lagi. "Tapi, Sir. Apa yang salah dengan sepatu saya?" tanya Intan bingung. "Kamu hampir jatuh beberapa kali karena sepatu sialanmu itu. Kalau tidak bisa pake sepatu hak tinggi, ya gak usah pake. Dasar cewek ribet, sukanya mempersulit diri sendiri," ucap Rex dengan pedas. "Terus kalau saya lepas sepatu, saya pakai apa dong?" tanya Intan bingung. "Berapa ukuran kakimu?" Intan makin membeo mendengar penuturan Bossnya. Dapat ia lihat kalau Rex tengah menatap kakinya. intan jadi malu sendiri. Kakinya sangat besar dan gemuk. "Apa kau mendadak bisu, hah?" tanya Rex melotot. Intan jadi ngeri, kenapa Rex hoby melotot. "Cepat, jangan membuang waktuku!" "Saya tidak membuang waktu anda, Sir. Tapi Anda sendiri yang membuang waktu Anda sekaligus waktu saya!" protes Intan. "Katakan saja berapa ukuran sepatumu!" teriak Rex. Karena teriakannya, membuat orang yang berlalu lalang di koridor kantor menatap Rex dan Intan dengan penuh tanda tanya. Sebagian dari mereka berspekulasi kalau intan telah membuat kesalahan pada Rex. Makanya Rex marah seperti itu. Padahal, Rex tipe atasan yang jarang marah kalau memang bukan kejadian yang fatal. "Aku tanya sekali lagi, kalau kau tidak menjawab, kau tau akibatnya! berapa ukuran sepatumu?" "Eh ... tiga puluh sembilan, Sir!" jawab Intan kikuk. Rex tak berbicara lagi, ia merogoh hp nya yang ada di saku celananya. Mendiall nomor Bu Dina. "Bu, belikan aku flatshoes ukuran tiga puluh sembilan, tiga pasang. Warna hitam, grey dan satunya bebas. Aku tunggu di lobby!" titah Rex. "Sir, bolehkan saya pergi sekarang?" tanya Intan takut-takut. "tidak!" jawab Rex singkat padat dan jelas. "Tapi saya ada tugas-" "Biar saya yang mengurus managermu nanti!" Intan diam. Berdiri mematung sambil mendekap berkasnya. Sedangkan Rex duduk di kursi yang ada di lobi. Mengamati dari atas sampai bawah penampilan Intan. Selang beberapa lama, Bu Dina datang membawa Papper bag. Rex langsung memeriksa isinya. Memastikan sepatu yang dibeli Sekretarisnya adalah sepatu berkualitas yang tidak akan membuat kaki lecet. "Nih pake, buang sepatu bututmu itu di tempat sampah!" titah Rex memberikan sepatu warna hitam. "Tapi Sir-" "Masih topa-tapi? minta dipakein juga?" geram Rex melotot. Buru-buru intan menerima sepatu itu, memakainya dengan cepat. Dan segera membuang sepatu bututnya ke tempat sampah. Mau ditaruh di mana mukanya kalau Rex beneran mau memakaikannya sepatu. Dalam hati, Bu Dina tersenyum tipis. Dapat dia lihat ketertarikan di mata Rex untuk Intan. Walau orang lain menilai Intan jelek, bukan tidak mungkin kalau Intan cantik di mata Rex. "Ekheem." suara deheman membuat ketiga orang menoleh. Gerald, Papa Rex berdiri di belakang anaknya. Intan langsung kabur tunggang langgang dengan sepatu barunya. Tak lupa Papper bag yang masih berisi dua sepatu ia bawa sekalian. Rex mengangguk pada Bu Dina, mengisyaratkan Bu Dina boleh pergi. "Wah wah wah, seorang CEO membelikan sepatu buat anak magang. Terdengar sangat hebat." ucap Gerald memandang anaknya penuh arti. Sebagai orang tua, Gerald merasa susah saat anaknya yang sudah berumur dua puluh tujuh tahun, namun tak kunjung menikah. Padahal, kedua adik Rex sudah mempunyai anak istri. "Bukankah Rex terlihat gentle, pa?" tanya Rex dengan bangga. "Iya, sangat menunjukkan kamu orang gentle, apalagi kalau kamu nikahi dia. Tambah tinggi nilai kelelakianmu!" jawab Gerald. Rex mencebikkan bibirnya, sudah dia duga kalau ujungnya pasti soal menikah. Rex malas menikah bukan karena dia tak laku, tapi memang belum ada yang cocok. Ia malas melihat perempuan yang berbelit-belit. Seperti tadi contohnya, Intan menggunakan sepatu yang menyusahkannya bejalan. "Sampai kapan kau melajang seperti ini? apa kamu tak takut kalau senjatamu berkarat, saking lamanya dianggurin?" "Sabar dulu lah, Pa. Walau umur Rex udah tua, kalau Rex banyak uang mau cari dara muda pun Rex bisa," jawab Rex dengan sombong. "Lihatlah drimu itu, Rex! penampilan kacau balau, rambut acak-acakan. Kalau kamu punya istri, pasti akan ada yang mengingatkanmu tentang kerapian." jelas Gerald. Rex mencebikkan bibirnya. Kenapa juga kalau ia tidak rapi. Toh tidak akan ada yang memarahinya. dia boss, siapa yang berani mengomelinya. Mungkin hanya Papa Mamahnya yang selalu mengomelinya menyuruh menikah. "Sampai kapan kamu jadi perjaka tua seperti ini?" "Pa, sudahlah jangan ngomongin nikah mulu. Suatu saat Rex juga nikah," jawab Rex segera melenggang pergi dan memasuki ruangannya. Ia tak mau terus-terusan bahas nikah. Sedangkan Gerald hanya menghela napas. Salah apa dia hingga Rex tidak mau menikah. Sudah beberapa kali Gerald dan istrinya menunjukkan beberapa foto wanita cantik yang bisa Rex pilih untuk jadi istri. Namun, Lagi-lagi Rex tidak minat. Rex selalu mengatakan kalau semua gadis itu tidak ada yang menarik. ****** Intan memandang hujan yang turun dengan deras. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan hujan tak kunjung Reda. Intan sudah kedinginan berdiam diri di basment Kantor. Ia tak membawa mantel lantaran lupa. Mau nekat juga takut besoknya sakit. "Kamu bagai hujan, sedangkan aku bagai tanah. Hadirmu-" "Menyinari duniaku," Intan menengokkan kepalanya saat sebait puisinya disambar seseorang. Intan menunduk malu mengetahui ternyata itu adalah Rexvan. Dalam hati, Intan menyalahkan mulutnya yang tak bisa mengontrol ucapannya. Intan bercita-cita menjadi sastrawan dan penulis cerita. Namun sayang, semua cerita yang dia tulis minim pembaca. "Sir!" sapa Intan canggung. "Wah wah wah, selain kau jago hitung-hitungan, kamu juga jago berpuisi," puji Rex. "Terimakasih," jawab Intan tersenyum malu. "Jago berpuisi sampai membuat telinga saya berdengung." Intan membulatkan matanya. Apa tadi atasannya baru saja menghina puisi ciptaannya? "Tidak usah melotot gitu, saya hanya becanda," ucap Rex terkekeh sambil memukul kening Intan pelan dengan kunci mobilnya. Dalam hati Intan mendumel kencang. Bisa-bisanya Rex bersikap seperti ini dengan anak magang. Sungguh Intan yang ternistakan. "Kamu tidak pulang?" tanya Rex sambil melihat hujan. "Apa Anda tidak melihat cuacanya, Sir?" tanya balik Intan. "Ya ya, sedang hujan hingga membuatmu berpuisi." Intan memilih diam. Dia enggan dekat dengan Rex, selain malu ia juga merasa tak pantas walau sekadar bersandingan. Ia merasa seperti pasak dan tiang listrik. "Intan, pulanglah bersama saya!" ajak Rex yang membuat Intan kaget. "Ekheem, maksud saya biar sekalian saya antar pulang." Rex membenahi cara bicaranya. Tidak mau membuat Intan salah paham. "Motor saya di sini, Sir." "Besok biar sekalian saya jemput." Tanpa tahu malu, Rex menggenggam tangan gendut Intan. Menariknya menuju mobil mewahnya. Beberapa pasang mata mencuri-curi pandang ke arah mereka, membuat Intan takut adanya fitnah-fitnah yang menyudutkannya. "Sir, tap-" "Masuk, Intan! Jangan kebanyakan protes!" ucap Rex mendorong Intan masuk. Rex duduk di balik kemudi. Setelah Intan memakai sabuk pengaman, pria itu mulai menjalankan mobilnya. "Di mana rumahmu?" "Jalan melati nomer 1, Sir." jawab Intan. Merasa tak enak hati karena merepotkan. Intan meremas tasnya. Ia seperti menaiki keong saking lambatnya Rex mengemudi. Intan ingin protes, tapi lirikan Rex membuatnya diam. "Kamu ingin protes? Protes saja saya persilahkan!" ucap Rex dengan santai. "Maaf, Sir." ucap Intan menunduk. "Saya tidak suka melihat wanita yang sering menunduk begitu!" ucap Rex menggelengkan kepalanya. Intan diam, lagian kalau Rex tidak suka, apa urusannya dengannya? Sangat tidak penting.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN