BAB 1

1068 Kata
"Hukum dia! Hukum pendosa ini!" teriak para penduduk Nirvana dengan serentak. "Kami memohon kebijakan, Paduka! Berikan hukuman seadil-adilnya," teriak mereka lagi. "Hukum dia, atau akan terjadi bencana jika kita tetap membiarkannya!" Sorakan dan teriakan para penduduk Nirvana tidak dapat dikendalikan oleh para prajurit kerajaan. Mereka memaki gadis yang kondisinya babak belur itu tanpa henti. Mereka meminta keadilan pada sang Raja. Pemimpin para dewa-dewi di negeri itu. Agar memberikan hukuman berat pada gadis yang berani mencuri lotus keabadian. Gadis itu lemah tak berdaya. Tubuhnya yang kecil diikat dengan rantai yang telah diberi mantra terlebih dahulu. Mantra untuk mencegah gadis itu melepaskan diri dari ikatan rantai besi itu. Kondisinya begitu mengenaskan. Begitu banyak siksaan yang telah ia terima. Tubuh kecilnya penuh bekas cambukan. Luka memar, luka terbuka dan berdarah bekas siksaan membekas di mana-mana. Entah bagaimana gadis itu menahan semua kesakitan yang ia rasakan. Mereka sudah menyiksanya dengan begitu kejam. Tak cukup membuatnya menderita, mereka kini menginginkan kematiannya. Sang raja yang terkenal bijaksana dalam memimpin itu terdiam, mendengar pendapat para rakyatnya. Sebenarnya ia begitu bingung, karena yang ingin mereka adili adalah putri panglima perangnya, Athura. Raja merasa segan pada panglima yang selalu menjaga keamanan negerinya. "Tuanku, Paduka! Tolong segera ambil keputusan atau mereka akan membuat kekacauan. Mereka tidak salah menuntut kematian putri bungsu Tuan Athura. Karena Lotus suci itu adalah benda berharga bagi kerajaan Nirvana ini," ucap Yama, penasehat raja Philips. Yama adalah orang yang paling raja Philips percayai. Yama dipercaya sebagai dewa yang paling bijak di Nirvana. "Bagaimana, Athura? Apakah Kamu rela jika aku memberikan hukuman mati kepada putri bungsumu?" tanya raja Philips pada Athura, ayah Aurora sang terdakwa yang sebentar lagi akan diadili. "Mohon ampun, Paduka. Hamba akan menerima apa pun keputusan paduka. Hamba sebagai ayah ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan besar yang putri bungsu hamba lakukan." Pria bertubuh kekar itu berlutut di hadapan sang raja dengan menundukkan kepala. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya ia dipermalukan seperti itu. Kehormatan yang telah ia pupuk selama ratusan bahkan ribuan tahun, lenyap dalam seketika. "Aku sangat kecewa, Athura. Putri yang ingin dinikahi oleh putraku. Putri yang kelak akan menjadi ratu, sangat tamak hingga berani mencuri lotus. Aku tidak menyangka dia memiliki kepribadian yang seburuk itu. Mereka bilang putri bungsumu sangat baik dan aku percaya. Ternyata, semua itu hanya bualan semata. Beruntung Kai belum resmi menikahinya," ucap raja terdengar marah. "Maafkan hamba, Paduka. Hamba siap menerima hukumannya." Athura semakin menundukkan kepala. "Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Aku tidak akan menghukummu atau keluargamu, mengingat jasa-jasamu untuk kerajaan selama ini. Namun, maafkan aku Athura, aku tidak bisa mengampuni Aurora, meski dia adalah anak kesayanganmu sekali pun," ucap sang raja. Lantas raja Philips memberikan titahnya. "Aku sebagai raja menjatuhkan hukuman mati kepada dewi Aurora, putri bungsu panglima perang Athura dan dewi Gaia. Dan aku ingin Athura yang melakukan proses eksekusi pada putrinya. Ini bertujuan agar kejadian buruk seperti ini tidak akan terulang kembali." "Panjang umur yang mulia." "Terima kasih Paduka yang bijaksana." Semua orang bersorak gembira, akhirnya keinginan mereka terkabulkan. Tangan Athura mengepal kuat. Pria itu sangat berat menjalankan titah sang raja yang sangat ia hormati. Bagaimanapun juga, sebesar apa pun juga, Aurora tetaplah putri kandungnya yang sangat ia sayangi. Terlebih, gadis itu terlalu polos dan penurut. Ia hampir tidak dapat memercayai apa yang putrinya lakukan. Putri polos dan baik hati itu mana mungkin memiliki ambisi seperti itu. Hati Athura begitu berat untuk memutuskan. Bagaumana bisa seorang ayah mengadili putrinya. Namun, Athura tidak bisa melawan titah sang raja yang sangat ia hormati. "Baiklah, Paduka. Hamba akan menjalankan tugas hamba," ucap Athura menyetujui. Selama Aurora disiksa, gadis itu hanya diam tak bersuara. Mengeluh atau menangis pun tidak. Namun, saat mendengar sang ayah menerima perintah sang raja, hatinya terasa begitu sakit. Air mata gadis itu mengalir tanpa henti. Ayah yang sangat ia cintai, sebentar lagi akan membawanya kepada kematian. *** "Aurora! Katakan sejujurnya pada Ayah! Katakan kalau Kamu tidak melakukannya. Katakan siapa yang memengaruhimu hingga jadi seperti ini. Agar Ayah bisa menyelamatkanmu, Nak," pinta Athura untuk yang ke sekian kalinya. Aurora menggeleng cepat, tanpa berpikir panjang. "Aurora yang melakukannya, Ayahanda. Tidak ada yang memengaruhi putri Ayahanda ini. Hukum saja Aurora, buat Aurora tidak merasakan kesakitan lagi," pinta gadis itu dengan suara yang lemah. "Kenapa Kamu begitu keras kepala, Nak? Ayah yakin Kamu tidak mungkin seserakah itu ingin memiliki lotus keabadian. Ada orang lain yang berada di belakangmu. Iya kan?" Athura masih belum bisa memercayainya. "Tidak, Ayahanda. Ini murni kesalahan Aurora. Hukum aku Ayah! Cepat jalankan perintah raja!" pinta Aurora. Athura menyerah untuk membujuk putrinya. Berapa kali pun ia mencoba untuk bertanya, jawaban Aurora selalu sama. Itu artinya, tidak ada jalan keluar lagi selain mengeksekusi putrinya. "Maafkan ayah, Nak. Maafkan! Tapi ayah janji, Kamu tidak akan merasakan kesakitan sedikit pun." Aurora hanya tersenyum dengan wajahnya yang pucat seperti mayat. "Terima kasih, Ayahanda. Sampaikan salam Aurora untuk Ibunda. Aurora sangat menyayangi kalian." Ucapan Aurora membuat getaran di d**a Athura. Membuat panglima perang itu semakin sedih. "Prajurit! Bisakah aku melakukan eksekusi ini sendirian? Sesungguhnya, aku kesulitan untuk mengadili putriku sendiri," pinta Athura. "Apakah Anda memerlukan orang untuk menggantikan Anda, Tuan? Saya akan memanggil petinggi kerajaan yang lainnya," ucap prajurit itu. "Tidak! Jangan berani memanggil siapa pun. Karena itu hanya akan mempermalukan aku. Raja sudah memercayakan ini padaku. Bagaimana bisa seorang panglima kepercayaan raja tidak sanggup menjalankan tugas seremeh ini," ucap Athura. "Lalu bagaimana, Tuan?" "Kalian bisa tetap ada di sini. Tapi bisakah kalian menutup mata saat aku melayangkan pedangku?" pinta Athura. "Tentu saja, Tuan. Kami akan melakukannya untuk Tuan. Kami juga akan membalikkan badan." Kepala prajurit itu segera menyuruh anak buahnya berdiri membelakangi tempat penjagalan. Athura mulai membaca mantra. Seketika tempat itu dipenuhi oleh kabut yang sangat tebal. Hingga tak ada seorang pun yang dapat melihat dengan jelas. Athura mengangkat pedangnya yang panjang dan sangat tajam. Tanpa suara pria itu mengayunkannya, menebas leher sang putri yang siap di penjagalan tanpa ampun. "Selamat tinggal putriku." "Kalian sudah bisa melihat. Aku sudah menjalankan perintah dari paduka dengan baik. Aku juga yang akan mengurus jasadnya. Sampaikan pada beliau bahwa Athura, panglima perangnya ini telah selesai menjalankan titah paduka raja." Athura menggendong jasad putrinya yang berlumuran darah, juga menenteng kepala Aurora yang ia tebas dan pergi dari tempat itu. Semua orang memandang Athura dan Aurora dengan perasaan yang begitu sedih. Mereka tahu betul bagaimana sifat Aurora yang baik hati dan penyayang. Mereka juga tidak dapat memercayai bahwa Aurora melakukan hal buruk itu. Mereka juga tahu, bagaimana Tuan Athura sangat menyayangi putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN