Ketika Suami Meminta

3390 Kata
Aisha geleng-geleng kepala mendengar keributan di atas. Dina yang sedang ngomel-ngomel sambil ngepel gegara kamarnya yang dimuntahi Ardan. Cowok sableng yang satu itu malah masuk angin gegara gak jadi ke Puncak tapi nongkrong di Margo kemarin. Muntahnya usai solat subuh saat ingin menjahili saudara kembarnya yang baru akan membuka laptop di kamar. "Giliran sakit ajaaaaa," Dina mulutnya komat kamit mulu. Tapi pas liat Papanya yang berdiri mematung di dekat pintu kamarnya, ia terdiam seraya mengeluh dalam hati. Papanya sih gak melototin, gak kayak emaknya. Tapi diam Papanya itu emang suka bikin merinding. Kadang juga bingung. Sebenarnya, Papanya itu sedang marah atau apa sih? Sementara Ardan yang tak berdaya malah tidur di tempat tidurnya. Padahal niat cowok itu, tadinya mau gangguin Dina. Bosen gak ada kerjaan usai sahur pertama tadi tapi malah teler yang berujung muntah. Isi perutnya berhamburan tepat di sebelah tempat tidur Dina. "Badannya panas gak?" Wira bertanya pada Dina yang sedang mengerucutkan bibir. Anak gadisnya itu dengan terpaksa melangkah mendekati Ardan lantas menyentuh keningnya. "Lumayan, Pa," jawabnya lantas kembali menyambung kegiatan ngepelnya. Sementara Papanya sudah berteriak memanggil Mamanya agar memeriksa anak mereka. Setengil-tengilnya Ardan, kalau sudah sakit begini sama seperti sudah tewas. Kalah total sama keadaan badan apalagi keadaan hati eeeh.... "Panas banget gak, Din?" Kini Aisha yang muncul tanpa membawa apa-apa. Wira mengekor di belakangnya. Sementara Dina malah mengendikan dagu. Menyuruh Mamanya memeriksa sendiri. "Gak panas-panas banget kok, Wir." Tuturnya usai menyentuh kening Ardan lantas melirik Wira yang malah nampak khawatir. Yah....sesablengnya Ardan itu, ia tetap anak kesayangan Papanya yang ganteng ini. "Paling hamil itu sih, Ma!" Dina menyahut. Aisha langsung terkikik tapi Wira malah berdeham. Diam-diam anak gadisnya itu terkikik. "Ardan itu gak perlu diobatin, Ma. Tapi perlu ditobatin!" Wira geleng-geleng kepala lantas menarik selimut untuk Ardan. Aisha masih terkekeh sambil keluar dari kamar anaknya itu. Omongannya Dina kan emang suka ngaco! ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Kamu gak kerja kan?" tanya Wira saat baru menuruni tangga. Lelaki itu sudah rapi dengan kemejanya seperti biasa. Aisha, yang sedang merapikan meja ruang keluarga, menoleh lantas menatap lelaki itu. "Kerja lah. Tapi hari ini memang sengaja mau datang telat," tuturnya. Karena kebetulan juga, ada beberapa dokter koass di rumah sakit yang bisa diandalkan. Jadi ia tak perlu terburu-buru ke rumah sakit. Wira hanya diam. Sebenarnya ia ingin Aisha di rumah saja biar Ardan ada yang mengurus. Tapi ia tak berani melarang istrinya. Hadeeeh. Sementara Dina pun turut tampil dengan rapi dan baru keluar dari kamarnya. Biasa, ia akan diantar Papanya ke butik Tiara sebelum Papanya ke kantor. "Kamu mau ke butik juga, Din?" Ho-oh. Dina mengangguk. Pandangan tak biasa Papanya membuatnya heran. "Gak izin aja hari ini?" "Emangnya kenapa sih, Pa?" ia heran. Biasanya juga cuek bebek. Ditanya anaknya begitu, Wira malah menggeleng lantas berjalan lagi menuju dapur. "Kasihan Ardan sendirian di rumah." Tuturnya lantas hendak mengambil gelas. Dua perempuan di depannya mengamati apa yang dilakukannya secara seksama. "Biasanya juga sendiri, Pa. Ardan udah kuat sekarang," Dina sempat-sempatnya bercanda. Hahaha. Soalnya kan, si Talitha sudah menikah dengan lelaki lain dua bulan yang lalu. Jadinya ya..... "Wir!" panggil Aisha saat Wira baru saja mengangkat gelasnya. "Gak inget kalau puasa?" tanyanya yang sekonyong-konyong membuat suaminya tersedak. Dina terkekeh sementara Aisha geleng-geleng kepala. Untung ceritanya lupa, kalau sengaja kan, itu artinya emang sengaja dibatalin puasanya. Ia mengelap mulutnya dengan tangan lantas dengan kikuk menaruh gelas itu di atas meja. "Nanti aku pulang siang," tuturnya sambil berjalan meninggalkan meja makan. Kening Aisha mengerut. Tumben-tumbennya pulang cepat begitu. "Gak ada kerjaan emang di kantor?" Dina mengangguk-angguk. Ia tadi hendak menanyakan hal yang sama pada Papanya. Soalnya, ia saja di butiknya Tiara, banyaaaaaak banget kerjaannya. Entah nge-bully Tiara, bikin Tiara kesal sampai urat nadi Tiara putus hahaha.... "Gak apa-apa. Mau cepat pulang aja," tuturnya sambil memakai sepatu lantas pamit. Aisha mengendikan bahu saat mobil Wira bergerak meninggalkan rumah mereka. Bingung akan sikap Wira yang aneh sejak kemarin. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Loh, kak?" Caca kaget saat melihat Icha sudah tiba di rumahnya. Padahal janjinya jam sepuluh. Sementara sekarang baru jam setengah sembilan. "Aku masuk ya? Tata sama Rain mana?" "Tata lagi tidur. Rain ngampus, kak. Baru mulai UAS katanya." Icha mengangguk-angguk. Farras juga ke kampus sih tapi belum UAS. Anak perempuannya itu jadi rebutan pagi-pagi tadi. Gegara Ando pengen nganterin ke kampus dan si Ferril lebih ngotot lagi mau nganterin naik motor dengan alasan kalau naik mobilnya Ando bakalan macet. Anak bungsunya itu kan orangnya 'ngototan' dan gak mau mengerti situasi kalau kakak perempuannya itu sudah menikah. Akhirnya, Ando yang mengalah. Sementara Farrel geleng-geleng kepala. Padahal dulu aja, kalau Farras minta anterin Ferril  ke kampus, ada aja alasan tuh bocah. Lah sekarang? Cemburuan amat sama Ando hahaha! "Mau pesan kue?" tanya Caca. Ia sedang sibuk melipat kain baju sementara iparnya malah bengong sambil ngeliatin. Biasanya, ramadhan begini, Icha suka memesan kue kering padanya. Sekedar untuk cemilan. Toh Caca juga menolak pesanan yang banyak. Wanita itu tidak berencana membuka bisnis kue meskipun kue buatannya enak-enak. Sementara Icha malah sedang berpikir tentang apa yang diucapkan Fadlan semalam. Perihal apa yang ia lakukan saat ini dan apa yang diinginkan lelaki itu ternyata sudah tak sejalan. "Nyesel gak, jadi ibu rumah tangga  yang kerjaannya di rumah, ngurusin rumah sama anak?" tanyanya pelan. Pertanyaan yang membuat kening Caca mengerut pada awalnya. Tapi lama-lama paham. Ia bisa merasakan sesuatu sejak Icha masuk ke dalam rumahnya tadi, kalau ada hal yang disembunyikan oleh iparnya itu. "Kalau aku sih enggak, kak." Ia menjawab santai. Meskipun ia bergelar S2 tapi gak ada salahnya memilih untuk diam di rumah. Sejak awal, Caca memang sudah merencanakan hal itu kalau ia menikah. Karena sejak awal ia kuliah pun, itu diniatkan untuk semata-mata mencari ilmu. Kalau pun gak bekerja dengan menggunakan ijazahnya saat itu tapi yang namanya ilmu kan gak ada yang sia-sia? "Memangnya ada apa?" tanya Caca lantas berdiri saat telah menyelesaikan kegiatan melipat bajunya. Ia membawa tumpukan baju itu ke kamarnya. Icha menarik nafas dalam. Teringat lagi dengan ucapan Fadlan semalam. Ucapan yang membuatnya lebih banyak diam sejak sahur tadi. Membuat Farrel yang begitu memperhatikan kedua orang tuanya malah agak-agak khawatir. Makanya, sewaktu bundanya berangkat tadi, ia ikuti dari belakang. Dan kini sedang garuk-garuk kepala di depan rumah Fasha tanpa berniat masuk sampai akhirnya dipanggil Adit yang baru saja keluar dari rumah. Berakhir dengan mengobrol panjang dengan lelaki itu. "Abang minta kakak untuk di rumah aja?" tanyanya pelan pada iparnya itu usai menaruh baju di kamar. Icha hanya mengangguk. Sejujurnya ia sedang dilema sekarang, bagaimana pun, posisinya saat ini terlalu sulit. Ia mengemban tanggung jawab di kampus. Sementara suaminya meminta untuk mengemban tugas sebagai istri saja di rumah. Ditambah lagi, saat Farrel dan Ferril sudah balik lagi untuk lanjut kuliah, lelaki itu ingin mengajaknya ke Banjarmasin. Mendirikan rumah sakit kecil disana seperti informasi yang ia dapat dari anaknya. Dan Fadlan ingin ia mendampingi bukan dengan terpisah jarak begini. Makanya semalam Fadlan tidak memberikan pilihan selain ikut dengannya. Toh anak perempuan mereka juga sudah menikah. Sudah ada yang akan menjaganya terlebih besannya pun adalah kakak kandungnya sendiri. Jadi ia tak khawatir. Yang Fadlan khawatirkan justru istrinya yang ia tinggal sendiri disini sementara ia jauh disana. "Coba aja pikir kan dulu, kak. Caca paham kok, gimana rasanya yang biasanya sibuk ini dan itu lalu mendadak diam saja di rumah." Tutur Caca. Wanita itu berjalan ke dapur. Hendak membuat kue-kue kering untuk cemilan selama bulan puasa atas permintaan Rain yang bawaannya selalu laper tapi herannya, badannya gak gemuk-gemuk. "Kamu mau bikin kue apa? Aku mau bantuin." Tutur Icha lantas beranjak dari karpet. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Fadlan merenggangkan tubuhnya lantas keluar dari ruangannya. Ia hanya tersenyum saat beberapa dokter koass yang magang di rumah sakitnya menyapa. Kemudian berjalan menuju lift dan berpapasan dengan Fahri yang juga ingin keluar. "Kemana aja lo?" tanya Fahri sambil menepuk bahu Fadlan. Lelaki itu baru melihat sahabatnya meskipun Fadlan sudah ke rumah sakit sejak kemarin. "Biasa lah," sahutnya. Fahri geleng-geleng kepala. "Si Regan kemarin kesini, katanya mau ngajak kumpul." "Gue ikut aja," sahutnya. "Ada masalah?" tanya Fahri. Ia sadar betul dengan gelagat 'sok baik-baik' sajanya Fadlan ini. Hal yang membuat Fadlan terkekeh tapi ia enggan memberitahunya. Fahri geleng-geleng kepala melihat responnya. "Jangan sering-sering pergi lo," pesannya. Ngomongnya sih santai tapi cukup membuat d**a Fadlan berdesir tiba-tiba. "Kasian bini lu di rumah." Tambahnya lantas berlari duluan saat melihat ada pasien yang dilarikan ke UGD. Langkah Fadlan terhenti. Sejenak ia menarik nafas. Sejujurnya, ia memang kepikiran istrinya. Makanya ia gak fokus kerja hari ini. Bahkan sejak tiba di rumah sakit tadi pun, ia hanya duduk sambil melamun. Teringat keterdiaman istrinya sejak semalam hingga pagi tadi. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Kalau aku sih, emang kemauanku sendiri, kak. Toh, Fa juga mampu nafkahi jadinya ya udah, urus rumah aja." Cerita Caca saat diminta cerita tentang pilihannya menjadi ibu rumah tangga. Icha memang sengaja menghampiri iparnya ini. Sekedar butuh pandangan dari sudut yang berbeda. Tadi pagi pun, ia sempat menelepon Airin, sesaat setelah suaminya berangkat ke rumah sakit. Kalau Airin kan jawabannya beda lagi walau konteksnya sama. Adik iparnya itu memilih untuk di rumah saja karena merasa tidak mampu jika harus bekerja sekaligus mengurus suami dan anak. "Kalau Airin sih begitu, kak. Apalagi kan anak-anak Airin masih pada kecil-kecil. Kasian kalau sering Airin tinggal-tinggal. Profesi Airin juga menuntut profesional. Kadang kalau ditelpon malam harus datang atau mendadak harus jaga malam ya harus tanggung jawab. Makanya, Airin pilih berhenti. Bukan semata-mata karena Abi bisa menafkahi tapi Airin juga merasa tidak mampu kalau mengerjakan dua hal yang bersamaan." Begitu jawaban bijak Airin. Jawaban yang membuat Icha termenung. Sebenarnya, ia tak merasakan beban sama sekali ketika ia harus bekerja di kampus atau harus menjadi istri sekaligus ibu ketika di rumah. Maka ia merasa, pendapat Airin boleh menjadi masukan untuknya. Namun bedanya, ia masih merasa mampu. Hanya saja, kini keadaan yang telah berbeda. Kalau dulu, Fadlan memang sering ke luar kota. Tapi tak pernah lama. Mungkin saat itu yang menjadi patokan lelaki itu adalah anak-anaknya yang masih pada sekolah. Nah, kalau sekarang? Meski masih pada kuliah tapi kan jarak yang memisahkan terlalu jauh. Ditambah dengan usia anak-anak yang semakin bertambah. Fadlan merasa bebannya sudah berbeda. Makanya bisa enteng saja meninggalkan rumah untuk ke luar kota. Tapi semakin lama, ia merasa ada yang kurang dan ada yang selalu membuatnya khawatir. Ia tak bisa berhenti karena sejak awal sudah memilih memulai. Bagaimana pun, mendirikan banyak rumah sakit kecil di daerah perbatasan atau pun terpencil memang sudah niatkan sejak dulu. Bahkan ia tak pernah terpikir akan mendapatkan istri yang bekerja juga. Walau sebenarnya, ia lebih senang istrinya di rumah. Bukan mengekang, tapi ia tak mau istrinya lelah. Toh, ia bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi ternyata, pemikiran istrinya ini berbeda. Bagi Icha, bekerja itu bukan sekedar memenuhi kebutuhan hidup tapi juga memaknai hidup dan memenuhi hidup dengan banyak hal yang bermanfaat. Tapi sekarang, Fadlan merasa keadaannya sudah tak sama. Maka kini adalah saatnya, ia tak memberikan pilihan lain pada istrinya. Karena toh yang ia tawarkan bukan skedar pahala kan? Jalan taat padanya itu adalah jalan menuju surga kan? Maka apalagi yang dikejar manusia jika bukan akhirat-Nya? "Itu kan Caca, kak. Kalau kakak mungkin beda lagi. Karena posisi kita sejak awal berbeda, kak." Icha mengangguk paham. Ia juga mencoba memahami situasi. Apabila ia bandingkan dirinya dengan Caca, maka itu dua hal yang bertolak belakang. Caca yang dengan keinginannya sejak awal memang berniat menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sementara ia punya banyak mimpi yang ingin ia gapai. Tidak sekedar menjadi ibu rumah tangga. Kalau dibandingkan dengan Airin pun, sebenarnya hampir sama. Namun ia masih merasa sanggup untuk memikul dua beban sekaligus. Disatu sisi menjadi dosen, disisi lain menjadi ibu rumah tangga. Kalau dibandingkan dengan Sara, maka berbeda juga. Sara memang tidak meniatkan diri sejak awal untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya seperti Caca. Wanita itu pun sesekali masih sering ke luar negeri bersama Tiara untuk fashion show desain-desain bajunya. Tapi Feri tak mempermasalahkannya. Karena mungkin, Sara lebih banyak di rumah ketimbang jalan-jalan keluar. Maka ia tak bisa disamakan dengan Sara. Terakhir Aisha. Ia jelas berimbang dengan wanita yang satu ini. Sama-sama berambisi punya impian tinggi. Bedanya, Wira tak pernah komplain meski istrinya sering menghilang tengah malam. Makanya wanita itu santai saja, masih bekerja di rumah sakit. Kalau ia? Ia sih santai saja. Tapi balik lagi, kondisi sekarang sudah berbeda. Jika dulu, Fadlan bisa menerima maka kini tidak lagi. Ini lah yang membuatnya pusing walau ia paham, siapa sih yang mau berjauhan dengan istri atau suami? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Kerja?" "Tadi abis operasi, kak," tutur Aisha. Ia baru saja selesai membersihkan badan. "Udah jam dua, gak pulang aja?" tanya Fadlan. "Masih ada pasien yang belum aku kunjungi, kak." Fadlan berdeham. "Setelah ini, jangan terlalu sibuk disini," tuturnya kalem tapi menusuk sekali. Aisha sampai balik badan demi melihat ekspresi wajah kakaknya yang datar. "Kodratnya seorang istri kan lebih bagus di rumah." "Tapi aku disini kan bukan santai-santai, kak," Aisha menyangkal. Agak-agak tersinggung dengan ucapan kakaknya ini. Ia tahu kalau sejak tiga bulan lalu, kakaknya ini menyuruhnya berhenti bekerja. Tapi ia tak bisa. Toh, anak-anaknya sudah dewasa. Wira juga sibuk. Ia akan merasa bosan di rumah kalau ia menuruti ucapan Fadlan. "Kakak tahu. Tapi coba lah," tutur Fadlan dan enggan ngotot dengan ucapannya. Lelaki itu memilih segera keluar dari lift. Sejujurnya ia agak-agak sensitif akhir-akhir ini kalau melihat perempuan yang lebih banyak bekerja di luar rumah ketimbang di dalam rumah. Aisha menghela nafas. Sejujurnya, ini cukup menganggunya. Tapi ia menganggap enteng saja karena Wira tak pernah komplain. Lelaki itu selalu mendukungnya. Ia sih merasa begitu. Tapi terkadang, kita tak perlu menunggu seseorang untuk berbicara dulu kan? Ada kalanya kita yang perlu bertanya lebih dulu. Kita yang perlu memulai lebih dulu. Barang kali dia sungkan meskipun telah lama hidup bersama kita. Sama halnya dengan Wira. Mungkin karena ia membiasakan Aisha untuk mengambil keputusan sendiri, maka Aisha pun merasa, ia selalu mendukung apapun yang Aisha lakukan. Padahal terkadang ia agak berat namun selalu belajar ingin menerima. Yang akhirnya, jika ia tak bisa menerima, ia hanya akan diam ketimbang mengungkitnya. Dulu, saat Ardan dan Dina jatuh sakit, istrinya itu akan mengurusinya di rumah. Tapi ketika melihat anak-anaknya itu mulai sembuh, akan dititipkan lagi oleh Aisha pada mertuanya. Hal yang membuatnya malah khawatir. Sementara Aisha enteng saja bekerja di luar sana. Makanya, ia sering pulang terlebih dahulu demi melihat keadaan anak. Hal yang dulu sering mengundang tanya mertuanya kalau ia mendadak pulang cepat. Sekarang, anak-anaknya sudah besar. Tapi bukan berarti perhatiannya terhenti. Ia masih Wira yang sama. Maka ketika tiba di rumah, yang dicarinya pertama kali adalah Ardan yang ternyata sudah tiduran di depan televisi. "Udah makan, Dan?" tanyanya. Padahal ia membawa makanan untuk anak lelakinya itu. Berhubung ia tak menemukan gerobak bubur ayam di sepanjang jalan, akhirnya ia malah membeli nasi Padang. "Batalin puasa, Pa?" Mata Ardan berbinar. Sejujurnya ia belum minum atau pun makan sejak muntah tadi. Ragu-ragu membatalkan puasanya. Tapi kalau tubuh lemas begini, jika dipaksa malah makin tidak karuan. Wira hanya tersenyum kecil lantas menyodorkan sebungkus nasi Padang untuk anak sablengnya itu. "Aseeek ayamnya gede!" soraknya ketika membuka bungkusan nasi itu. Wira geleng-geleng kepala. Ia berjalan menuju kamar lantas menaruh tasnya sekaligus mengganti bajunya. Kemudian turun lagi dan berjalan menuju dapur untuk mencari kotak obat. Ia lupa Aisha menaruh dimana tapi seingatnya, ia pernah melihatnya di dapur. "Tumben, Pa, udah pulang. Gak ada kerjaan lagi, Pa?" tanya Ardan disela-sela melahap habis nasi Padang tanpa mencuci tangan. Wira enggan menjawab pertanyaannya. Ia sok sibuk mencari kotak obat. Padahal kalau Ardan tahu alasannya pulang cepat, bisa terharu anaknya itu. "Oh iya, Pa. Tadi yang presentasi siapa jadinya?" Ia baru teringat tugasnya. Harusnya sih ia yang presentasi dalam rapat bulanan. Tapi ia malah muntah tadi pagi. Boro-boro berangkat ke kantor. "Tadi Papa," sahut Wira saat berhasil mendapatkan kotak obat. Ia membawa kotak obat itu menuju karpet dimana Ardan duduk sambil menghabisi ayam. "Ini, kamu minum obat," tutur Wira sambil menyodorkan obat yang biasa Aisha berikan padanya kalau ia masuk angin. Ardan hanya mengangguk. Tangannya kotor karena tidak menggunakan sendok. Bahkan rasa-rasanya, Wira seperti tak merasa kalau anak sablengnya ini lagi sakit. Soalnya, makannya kayak orang gak pernah makan nasi Padang. "Pa, si Dina suruh berhenti kerja aja, Pa. Nanti dia gila kerja kayak Mama," tuturnya disela-sela menggigit tulang ayam. Wira terkekeh. Itu lah alasan sebenarnya, kenapa ia tidak memberikan izin pada Dina untuk bekerja. Khawatirnya, anak gadisnya itu tidak bisa lepas dari pekerjaannya. Ia juga mewanti-wanti Tiara supaya memberikan banyak pekerjaan berat untuk anaknya seraya berdoa agar anaknya tidak betah bekerja disana. Tapi kenyataannya, biar pun Tiara memberikan banyak pekerjaan, anaknya itu tetap saja menikmati. Untuk setengah tahun ini sih masih ia biar kan. Tapi setelah Tiara menikah nanti, ia perlu berbicara dengan Dina agar anaknya itu berhenti bekerja saja. Dan sekarang ia juga sedang berpikir untuk menikahkan anaknya dengan seseorang. Yah...siapa gitu. Ia belum menemukan calon lelaki yang cocok untuk anak gadisnya yang sableng itu. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Mau pulang kamu?" tanya Fadli saat ia hendak keluar lift sementara anaknya hendak masuk ke dalam lift. Fasha hanya mengangguk, mengiyakan. Pekerjaannya sudah selesai hari ini. Meski sebenarnya masih ada beberapa desain yang harus ia selesaikan. Berhubung deadline-nya masih lama dan ia sedang bosan di kantor jadi ia memilih mengerjakannya nanti. "Bilang sama ibu, nanti ayah pulang agak mepet waktu berbuka," pesan Fadli yang lagi-lagi hanya diangguki Fasha. Fasha segera masuk ke dalam lift. Ia sebetulnya tidak berniat pulang. Ini saja, ia tak tahu harus kemana. Yang jelas, ia tidak akan ke butik Tiara dimana sekarang Rain yang baru pulang kampus langsung nongca (nongkrong cantik) disana. Anne yang juga sedang ada disana sepulang sekolah. Tiara dan Dina yang memang ada disana. Cuma kurang Farras aja karena sepupunya yang satu itu kuliah hingga sore. Setelah masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobil, ia memutuskan untuk berjalan-jalam tanpa arah saja. Menghabiskan bensin. Sekaligus melupakan sejenak pekerjaannya. Tapi tetap saja, otaknya tak bisa berhenti berpikir. Apalagi saat ia tak sengaja berpapasan dengan Adit tadi pagi saat ia hendak berangkat ke kantor. Ia sudah dengar kabar lelaki itu. Adit baru saja menyelesaikan S2-nya dan kini memilih kembali ke Indonesia. Padahal Fasha berani bertaruh, kalau Adit tak kan pulang dan bekerja di Indonesia tapi kenyataannya? Lelaki itu memilih kembali. Dan....ia tak tahu harus berekpresi apa. Karena disatu sisi, ia sudah menyerah dengan perasaannya sendiri. Namun disisi lain, ia ingin memunculkan harapan namun tidak siap jika harus dikecewakan. Bagaimana pun, kini mereka telah berbeda. Dengan adanya jarak yang memisahkan juga keengganan untuk saling menyapa. Seolah-olah semua pintu untuk kembali bersama sebagai teman saja, sudah tidak mungkin lagi. Ini lah yang membuat Fasha sering menghela nafas seharian ini. Seolah-olah beban di pundaknya berat sekali. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "SERIUSAN?!" Biasa, butik itu akan langsung berisik kalau Rain yang datang. Pasalnya, gadis yang itu selalu membawa gosip atau fakta terbaru. Kali ini tetangga depan rumahnya yang menjadi bahan cerita. "Makin ganteng loh, bang Adit! Padahal beberapa tahun kemaren, agak gendutan!" Mulutnya yang gak kalah panasnya sama cabe itu mulai berkoar sampai monyong. Tiara sih menyimak. Seperti biasa, belum berkomentar terlalu banyak. "Kakak lo masih suka sama dia? Kalau gak suka, buat gue aja!" ujar Dina yang membuat Tiara terkikik sementara Anne geleng-geleng kepala. Semenjak putus sama Pras lalu dikejar-kejar Razi, yang akhirnya, Razi lelah karena Dina selalu bersu'uzzan kalau Razi mendekati Dina hanya untuk memanfaatkannya, kini tidak ada lagi lelaki yang mendekatinya lagi. Razi juga sudah pergi jauh. Calon tukang gigi eh dokter gigi itu entah sedang koass dimana atau mungkin akan lulus juga Dina sudah tak tahu. Pras? Apalagi dia yang sudah menjadi masa lalu? Mana mau Dina mengurusi masa-masa suram yang disebut kenangan. Tapi kadang, ia tak bisa bohong, ada kalanya ia merindukan masa-masa dimana kenangan itu seolah sedang terjadi. "Emangnya bang Adit itu barang? Bisa dioper-oper?!" Rain senewen. Dina terbahak mendengar responnya. Lagi pula, ia tak pernah serius. Sekarang ini hatinya telah hampa walau ia juga tak yakin, apakah hatinya bakalan goyah kalau ia bertemu Pras lagi. Tapi hampir setahun ini, hidupnya hepi. Bebas dari beban-beban galau karena lelaki. Makanya ia memberi gelar untuk diri sendiri, yaitu si jomblo hepi tanpa lelaki. "Tapi dia masih suka sama Fasha, Rain?" Baru Tiara bertanya. Rain mengendikan bahu. Ia tak bisa meraba hati lelaki. Eeaaak! Tapi kalau yang ditanya perasaan kakaknya, ia tahu jawabannya. Walaupun kakaknya itu tak pernah menunjukan secara gamblang perasaannya. Karena diam pun terkadang sudah cukup menjadi jawaban. Ya kan? "Lagi pula, bang Adit kayaknya udah punya pacar deh," tuturnya yang membuat tiga kepala di depannya kompak menatapnya. Tatapan mereka seolah berkata 'seriusan? Adit bisa move on?' "Lo tahu dari mana?" "Abisnya, udah ganteng begitu, arsitek pula, masa gak ada yang suka sih?" Ya elaaaaah. Bibir Tiara sampai senewen dan mata Dina sampai juling. Dikira Adit punya pacar beneran ternyata hanya asumsinya Rain aja. Anne? Sudah terkikik. Harusnya ia juga tak perlu percaya setiap kata-kata Rain dan muka yang selalu penuh ekspresi dramatis itu. Makanya gak heran, kalau rain dicap sebagai ratu gosip di keluarga Adhiyaksa. Karena tuh bocab dan ekspresinya memang pinter banget mempengaruhi orang lain dan bisa bikin orang mendadak percaya. "Ya elaaah. Gue kira beneran! Kalau gitu sih, gue juga kali! Gue udah cantik begini, udah sarjana, gak ada yang suka! Woles-woles aja hidup gue!" sungut Dina yang membuat tiara terkikik. Nada nyinyiran ditambah mata juling itu benar-benar mengocok perut. Sementara Rain sudah memaki-maki karena kenarsisan Dina yang menyebut diri sendiri 'cantik' itu. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN