Part 2 : Cinta Tak Bisa Dipaksakan

1051 Kata
Hanania menghabiskan waktu dengan merebahkan badan di kamar. Perumahan jauh lebih asing dibanding apartemen. Ditambah ukuran rumah yang jauh lebih luas membuatnya semakin merasa sepi. Ranti-salah satu orang yang membantu membereskan rumah itu sudah selesai membersihkan rumah dan menghangatkan menu untuk makan malam. Praktis Hanania harus melalui malam ini seorang diri. "Gak nginep sini saja, Bu? Saya kok takut sendirian?" tanya Hanania saat Ranti hendak kembali ke rumah. "Wah nanti rumah saya dibawa semut, Mbak. Toh dinding nempel, Mbak. Kalau ada apa-apa Mbak Hanania bisa teriak," ujar Ranti malah semakin membuat Hanania takut. "Bu Ranti!" Asisten rumah tangga itu membalas dengan kekehan lantas berpamitan. Hanania mengunci pintu utama. Ia juga memastikan lampu teras menyala. Dalam kondisi rumah sepi yang ditakutkan bukanlah hantu. Melainkan orang-orang jahat yang perbuatannya bisa melebihi makhluk-makhluk itu. Dengan perut yang semakin buncit, Hanania berjalan lambat kembali ke ruang televisi untuk menghibur diri. Sengaja siaran televisi ia biarkan menyala untuk menemaninya. Tubuhnya memang menyaksikan acara itu, namun pikirannya tertuju pada Arafan yang tak kunjung memberi kabar. Apakah suaminya akan menginap atau pulang larut? Hanania semakin merasa kalut. Ponsel miliknya yang sejak tadi menemani ia buka kembali. Sekadar mengecek apakah ada balasan dari suaminya. Lagi-lagi ia jutru mengetikkan sebuah pesan. Menanyakan kembali kapan pulang. Memang kekhawatiran seorang istri kadang terlihat berlebihan. Namun, begitulah sebenarnya cinta yang ia punya. *** Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Arafan dan Syara yang tadinya masih ingin jalan-jalan pun berubah pikiran. Dengan kecewa mereka langsung kembali ke rumah Syara, mengingat kondisi kota itu yang kadang mudah tergenang. Mobil Arafan melaju beserta alunan lagu yang bersahutan dengan suara hujan. Sengaja Arafan menyalakannya. Untuk menghalau kecanggunga di antara mereka. Sebuah insiden yang seharusnya tidak Arafan lakukan. "Maaf, Syara. Aku tak bermaksud jahat padamu." Arafan mencuri pandang pada Syara yang menatap kosong jendela kaca sepanjang perjalanan pulang. "Its Okay. Aku juga tidak menghalangimu. Kalau aku tidak mau harusnya sejak awal aku menolak. Kadang, aku memang membutuhkan hal semacam itu." Syara tersenyum simpul. Tampak tidak tulus. "Baiklah kalau begitu. Aku tidak perlu merasa tidak nyaman." Syara mengangguk. Meski sebenarnya ia mengharapkan melakukan hal semacam tadi dengan Abbas. Jarang sekali lelaki itu memberikannya. Sementara Arafan dengan mudah menghangatkan hatinya. Perempuan itu mulai meragu akan apa yang ia jalani kini. Empat puluh lima menit perjalanan, mobil Arafan menyentuh parkiran di rumah Syara. Hujan yang semakin deras disertai petir menggelegar membuat keduanya terlonjak kaget. Arafan tak membawa payung. Ia pun berinisiatif melepas jaketnya untuk memayungi Syara dari tetes hujan yang mengalir sedikit lewat genting. Lagi-lagi Syara menerima perlakuan manis dari Arafan. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Jika langsung bertolak, Arafan akan sampai dua jam berikutnya di Harapan kita Kota Tangerang. Namun, kondisi hujan jelas akan menunda itu semua. "Masuk dulu. Aku buatin makanan. Dari siang kamu belum makan." Arafan tak mau kehilangan kesempatan. Ia memang menyukai Syara begitu dalam. Seperti cintanya pada Hanania bahkan lebih. Laki-laki itu memang menemukan kehangatan yang berbeda saat bersama Syara. Syara mengikuti saja. Pikirannya sedang kacau. Ia terus membayangkan Abbas lah yang memberinya cinta tanpa syarat dan permintaan. Ia ingin mendapatkan perlakukan semacam ini, namun bukan dari Arafan yang jelas sudah memiliki istri. Rumah Syara tampak sepi. Arafan langsung menuju dapur menyiapkan menu dengan bahan seadanya di kulkas. Ia ahli dalam hal memasak. Syara membiarkan Arafan begitu saja. Ia melangkah menuju kamarnya di lantai dua dan mengganti pakaiannya.  Jantungnya seakan diremas menyaksikan hujan begitu deras. Sederas aliran air mata yang sejak tadi ia tahan. Perempuan itu meratapi nasibnya yang malang. Terlebih ia baru saja melakukan kecurangan. Semua karena salahnya. Semua karena keegoisannya tak mau bersbar lebih dulu. Syara larut dalam kesedihan yang membuatnya terperosok jauh. Ponselnya bergetar. Syara buru-buru menyambar. Ia selalu menanti kabar. Mata perempuan itu seketika berbinar. Ia tak percaya dengan apa yang ia terima. Dengan cepat Syara keluar dari kamar. Menuruni anak tangga segera. Pintu utama rumahnya ia buka. Saat itu juga ia membekam mulutnya. Air mata tiada henti membasahi. Tak ada salam sapa serta kata-kata. Laki-laki itu hanya merentangkan tangannya. Meminta sebuah pelukan dari wanita yang ia rindukan. Abbas datang dengan tubuh basah kuyub. Entah apa yang melatarbelakanginya. Syara dengan cepat menghambur ke tubuh kekar itu. Melepas rindu serta benci yang menjadi satu. Hati dan cintanya masih utuh untuk Abbas. Arafan masih dengan celemek memasak bersiap memberitahu Syara jika hidangannya sudah siap. Namun, ia disuguhi pemandangan yang membabat habis rasa yang ia punya untuk perempuan itu. Syara dan Abbas melepas rindu bersama tetesan air hujan. Keduanya menyalurkan kata-kata dengan anggota tubuh mereka. Dekap peluk hangat disertai adegan romantis khas drama korea. Arafan pun mengurungkan niatnya. Kini, ia sadar hati Syara tak akan berpaling dari cinta pertamanya. Menyadari hal itu, Abbas yang tengah melumat bibir Syara melirik sekilas. Ia mengehentikan aktivitasnya bersama Syara. "Fan," ucapnya sedikit berteriak. Arafan sudah ingin berlari dan meninggalkan rumah itu, namun ia tertahan. Dengan berat hati Arafan berbalik. Ia menampakkan senyum di wajahnya. "Hai, Bas," sapanya santai. Meski tetes demi tetes air membasahi lantai, Abbas tetap menghampiri Arafan. "Makasih udah jagain Syara. Cuma aku mau ngingetin Hanania nunggu kamu sendirian di rumah. Buat sekarang, kamu gak perlu lagi sering ke rumah ini." Abbas menunjukkan siapa dirinya. Ia jelas tak terima saat Syara bermain dengan Aarafan yang memiliki istri. "Iya, Bas. Aku ngerti. Kebetulan saja hari ini ada acara di Jakarta, sekalian aku temenin Syara. Aku ikut senang kalian bisa berdapingan lagi." Dengan berat hati kata itu muncul dari mulut Arafan. Ia tak bisa mengakui perbuatan yang telah ia lakukan. "Oke, Fan, Thanks." Abbas menepuk lengan Arafan. Membuat kesan bahwa mereka masih saling akrab. Syara mendekat ke arah mereka. Ia mengulas senyum menawan yang menggetarkan hati keduanya. "Sorry, semua ini salah aku. Aku harap hubungan kita bisa kayak dulu lagi. Gak ada salah paham dan saling mencurigai. Aku ingin kembali hidup normal," ujar perempuam itu. "Pasti, Syara. Terlebih Abbas sudah kembali. Aku yakin hubungan kalian akan lebih hangat setelah ini. Aku pamit dulu, ya, Tadi Hanania telepon. Katanya dia takut kalau sendirian." Dengan cepat Arafan membuka celemek dapur itu. Ia menyambar jaket di salah satu kursi tamu serta mengambil kunci mobilnya. Secepat mungkin meninggalkan rumah Syara beserta sesak yang memuncak. Arafan mengayunkan langkah panjang. Ia memasuki mobilnya segera. Sebelum menyalakan stater mobil, ia mengamati pintu utama rumah Syara yang langsung tertutup rapat. Entah apa yang akan mereka lakukan di dalam sana. Napas Arafan kembang kempis memikirkan Abbas dan Syara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN