Meneduhkan

1055 Kata
Flashback.. "Kamu masih betah sendiri, Mas?" tanya Mega pada Ahmad suatu sore, ketika sedang menunggu pesanan kerupuk kulitnya dikemas. Haris suami Mega, seorang wirausahawan yang menggeluti bisnis produksi kerupuk kulit ikan, kulit ikan yang digunakan Haris hanya kulit ikan kakap, karena tekstur dan rasa kulit ikan kakap ini lebih unggul dibandingkan dengan jenis kulit ikan lainnya. Meski tidak bisa dipungkiri harga bahan baku yang lebih mahal sehingga membuat harga jual pun menjadi lebih mahal dibandingkan dengan jenis kerupuk kulit ikan lainnya. "Belum nemu yang cocok Bun," jawab Ahmad sambil tersenyum. "Ya dicocokkan, masa mau jadi perjaka tua sih," gurau Mega sambil mencibirkan bibirnya. "Dih Bunda ya, amit-amit jabang bayi, Bun. Jangan gitu sih, Bun, cariin atuh masa malah doain jadi perjaka tua," protes Ahmad seraya mengetukan jari pada meja, ketika mengucapkan amit-amit jabang bayi. Mega tertawa mendengarnya, "Segitu teman sekantor banyak yang lajang, nggak ada yang cocok?" "Belum sreg saja Bun. Pengen cari istri yang soleha, yang nurut sama suami. Kalau bisa yang diem di rumah saja Bun.” "Nyindir nih?" Mega mengerutkan dahi dan melotot ke arah Ahmad, kemudian mengambil Ponsel pintarnya. "Ya nggak juga, Bun. Bunda mah memang diijinkan sama Ayah buat tetap ngajar." "Nih, pernah ketemu kan?" Mega menyodorkan ponselnya pada Ahmad. ‘Cantik, bulu matanya lentik, pipi tembem dengan hidung yang tidak mancung, pesek juga tidak. Satu hal yang paling menarik adalah wajahnya kalem, meneduhkan,’ nilai Ahmad saat memandang foto Salamah yang terpampang di layar ponsel Mega. "Ini yang mongmong Salsa ‘kan, Bun. Kemarin juga dibawa Bunda pas acara Aksioma?" tanya Ahmad masih memperhatikan foto Salamah. Aksioma adalah singkatan dari ajang kompetisi seni dan olahraga madrasah. Merupakan media peningkatan prestasi sekaligus pencarian bakat olahraga siswa berprestasi, yang nantinya akan menjadi wakil pada Aksioma di tingkat Propinsi. "Iya namanya Salamah. Sama kayak kamu dari Haurgeulis juga. Ini tahun terakhirnya mondok, insyaallah sebentar lagi khotmil Qur'an," tutur Mega menjelaskan. "Cantik," desis Ahmad hampir berbisik, namun tetap bisa didengar. "Biasa saja kali, Mad mandengin fotonya." Haris menepuk pundak Ahmad, dia membawa satu ball kerupuk kulit pesanan Ahmad. (Satu ball itu terdiri dari dua puluh pack kerupuk kulit, setiap packnya berisi 12 bungkus kecil kerupuk kulit.) "Emang bener cantik ‘kan,Yah?" Ahmad mendongak menatap Haris. "Cantik juga mamahnya Eza sama Salsa." Haris menaik-turunkan alisnya menggoda Mega. "Receh banget." Mega mencibirkan bibirnya menanggapi godaan Haris "Receh tapi seneng juga," sela Haris menjawil dagu istrinya seolah lupa ada Ahmad diantara mereka. Ahmad geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. “Hadew, kacang-kacang, dikacangin. Dunia milik berdua, Aku mah apa, lalat yang numpang hinggap,” sindir Ahmad membuat tawa Haris meledak. “Maaf, Lat, Maaf,” gurau Haris kemudian duduk di samping Mega. “Jadi bagaimana?” tanya Mega meminta pendapat Ahmad tentang Salamah. "Suka. Dia orisinil, alami dan terpercaya, Bun." Ahmad menyerahkan kembali ponsel Mega. “Penilaian model apa itu, Mad, orisinil, alami dan terpercaya, nggak nyambung banget,” protes Haris yang langsung ditimpali tawa Ahmad. “Udah diam, ngelawak mulu,” sergah Mega dengan mata melotot. “Ya sudah, atur saja, Bun. Ayah dukung Ahmad nih." Haris mengacungkan jempol ke arah Ahmad. Sejak sore itu, Ahmad mulai mencari tahu sendiri tentang Salamah. Kata pepatah pucuk dicinta ulam pun tiba, ketika di suatu sore Ayah Ahmad, Restu, mengajak Ahmad ke rumah rekan seprofesi sang Ayah. Mereka sama-sama berkecimpung di usaha budidaya ikan Lele, dari sana Ahmad tahu kalau Pak Mulyana, teman Ayahnya ternyata bapak dari Salamah. Flashback end. Setelah kembali ke pondok pesantren Al-Hikmah, Salamah kembali mengikuti rutinitas para santri. Jam setengah sepuluh malam mereka baru menyelesaikan kelas mengaji kitab kuning di madrasah. Kitab kuning yang mereka pelajari berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kelas masing-masing santri. Setelah makan malam dan beristirahat sejenak, barulah dia bisa berbaring santai di kamarnya. Di pondok pesantren Al-Hikmah bilik santriwati tertutup gerbang setinggi dua setengah meter, sehingga aktivitas mereka tidak terlihat dari arah luar. Jarak antara bilik santriwan dan santriwati juga dipisahkan bangunan sekolah yang berada di bawah naungan yayasan Al-Hikmah. Biasanya setelah salat malam, dan merapalkan doa-doa dan amalan yang biasa Salamah baca sebelum tidur, kantuknya akan segera datang. Akan tetapi malam ini matanya enggan terpejam. Dia masih memikirkan bagaimana nanti kelanjutan hubungannya dengan Ahmad. Benarkah dia sudah siap menikah. "Ya Allah, Kau yang maha membolak-balik kan hati hamba-hambamu, Aku mohon petunjuk-Mu, semoga hamba ikhlas menjalani semua ini. Tetapkanlah hati hamba dijalan-Mu, amin." Setelah mengusap telapak tangannya ke wajah, Dia kembali mencoba memejamkan mata sambil terus membaca salawat agar kantuk segera datang. *** Kokok ayam peliharaan keluarga yayasan terdengar di pagi hari, membangunkan para santri untuk kembali menjalankan rutinitas mereka. Jarum jam berada tepat diangka empat, ya memang masih jam empat pagi. Namun, para santriwati sudah sibuk berebut dan mengantri di depan kamar mandi. Sebagian dari mereka hanya meletakkan gayung yang berisi perlengkapan mandi di depan pintu kamar mandi sebagai penanda antrian. Salat subuh jamaah di musala bilik santriwati biasa diimami Ibu Munawaroh, keluarga pesantren adik dari Bu Nyai. Setiap waktu salat, mereka diimami para ustazah atau pun keluarga pesantren secara bergantian sesuai dengan jadwal yang ada. Usai subuh, para santriwati langsung mengikuti kelas mengaji Al-Qur'an, bersama Bu Nyai. Bu Nyai memanggil Salamah ketika dia hendak kembali ke bilik selesai mengaji. Salamah kembali duduk di depan Bu Nyai dan bersalaman dengan penuh takzim. "Cincinnya bagus ya, Mah." Bu nyai mengangkat jari manis dari tangan kiri Salamah, mengelus cincinnya sebentar dan meletakan kembali tangan Salamah di atas paha gadis itu. Salamah menunduk, dahinya berkerut, seolah berpikir, darimana bu Nyai tahu pertunangan mereka. "Amih kamu cerita masalah pertunangan kamu sama Ahmad," tutur Bu Nyai seolah mengetahui rasa penasaran di batin Salamah. "Alhamdulillah, Umi senang kalau Salamah bisa berjodoh dengan, Mas Ahmad. Insyaallah dia lelaki yang soleh, tapi..." Bu nyai menarik nafas perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya. "Meskipun kalian sudah bertunangan, itu bukan berarti Salamah bisa berduaan sering-sering tanpa muhrim yang mendampingi, karena bagaimanapun kalian belum sah dan halal untuk bersentuhan.” Bu Nyai kembali menjeda kalimatnya, Salamah masih menundukkan kepalanya menyimak wejangan dari Bun Nyai. “Bu Mega sama Haris sering mengajak Ahmad kemari, makanya Umi dan Abah sedikit tahu tentang dia. Kami juga setuju ketika Ahmad mengutarakan keinginannya meminangmu, tetapi Salamah harus khotmil Qur'an dulu," nasehat Bu Nyai seraya tersenyum mengakhiri tutur kata penuh kelembutan. "Inggih Umi," jawab salamah disertai anggukan kepala. "Mulai sekarang, jangan sering-sering keluar sama Bu Mega apalagi menghadiri acara sekolah,” larang Bu Nyai yang membuat Salamah mengangkat wajahnya karena kaget.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN