3. Ledakan Ingatan

1152 Kata
"Dah, Bu. Mira berangkat dulu." Kucium punggung tangan Ibu. Aku sudah menghindari keresek hitam itu, tetapi tatapan mata Ibu membuatku urung. "Ah, Ibu. Mira malu kalau harus mampir ke sana. Lagian Mas Arhab sama Mira juga gak ada hubungan apa-apa." "Lah, Ibu kan cuma minta tolong buat antarkan kue. Apa hubungannya sama hubungan kalian? Jangan-jangan beneran naksir, ya." Ibu berhasil menangkap gelagat anehku. "Gak, Bu. Gak ada yang naksir Mas Arhab!" seruku. Tak mau menjadi ledekan, aku pun menyambar keresek hitam itu. Berjalan ke tempat teman dan harus pulang mampir ke rumah Mas Arhab. Sejak pagi sebenarnya aku menantikan pesan dari Mas Arhab. Biasanya saat ia pulang, ia akan langsung memberikan kabar. Namun, tidak untuk kali ini. Setelah menyelesaikan tugasku di rumah teman, aku benar-benar harus ke sana. Meski aku tidak percaya diri. "Kenapa, Mir? Sakit perut?" "Gak, Mar. Itu, kita lewat kanan, ya." Kutunjuk turunan di sebelah kanan. Sebenarnya rumah kami tak jauh kalau mengambil jalan lurus. "Lah, ngapain sama aja muter jauh, Neng. Ogah, ah, aku." Martia sahabtku satu-satunya selalu seperti itu. Ia paling suka semua hal yang serba cepat. "Please, lah. Aku harus nganter pesenan Ibu. Rumahnya ke arah kanan." "Sejak kapan nganter pesanan harus diantar teman? Kamu paling jago kan kalau antar-antar begitu." Dahi Martia mengernyit. "Ke rumahnya Mas Arhab," ungkapku jujur. Aku benar-benar tidak percaya diri kalau harus sendiri. "Hmmm...hmmm. Lagi pulang? Pantas kamu malu, ya." Aku hanya tersenyum. "Oke,lah. Kita belok kanan." Martia memimpin langkah. Aku pun dengan senang mengekor di belakangnya. Turunan menuju arah rumah Mas Arhab selalu mendebarkan. Bisa dibilang Mas Arhab adalah orang paling beruntung di desa kami. Ia bisa kuliah di kota dan mendapatkan segala akses kemudahan. Saat pemuda pada umumnya lebih banyak yang bekerja. Mas Arhab punya kesempatan lebih. Dari jauh rumah bercat biru itu sudah membuatku gugup. Aku bisa dengan jelas melihat motor Mas Arhab terparkir di depan. "Itu, tuh, motor pujaan hati." Martia menyikut lenganku. "Apaan, sih. Ikutan masuk, ya." Mataku berkedip. Membujuk sahabatku yang memiliki rambut keriting itu. "Ogah. Aku mau tunggu di luar." Dengan terpaksa aku berjalan ke arah pintu rumah Mas Arhab yang tidak tertutup. Sepertinya sedang ada beberapa tamu di rumah itu. "Assalamualaikum," ucapku. Berusaha menenangkan diri agar tidak gugup. "Waalaikumsalam. Amira, ya." Perempuan berkerudung dengan gamis menyambutku. "Iya, Bu. Ini saya mau antar pesanan dari Ibu. Sudah jadi." Kuangkat keresek hitam yang berisi kue pesanan Ibu Setia. "Makasih, ya. Kebetulan teman Arhab lagi datang ke rumah. Jadi Ibu pesankan ini." "Oh, iya, Bu." "Duduk dulu, ya. Ibu ambilkan uangnya." Bu Setia berbalik. Ia menuju ke dalam rumah lagi. Aku pun duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari pintu. Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari suara perempuan. Setahuku, Mas Arhab tidak punya adik dan kakak perempuan. Apa teman Mas Arhab yang dimaksud adalah perempuan? Kepalaku berpikir macam-macam. Tawa itu kian renyah dan kian terdengar. Seorang dengan jilbab berwarna hitam dan pakaian modis keluar dari ruang tengah rumah itu. Ia memukul manja lengan Mas Arhab. Yang dibalas senyum menawan miliknya. "Kalian itu guyonan saja. Mbok ya sabar berduannya, nunggu halal dulu, aja." Bu Setia mendorong sedikit tubuh perempuan itu. "Maunya sih, gitu, Bu. Tapi Mas Arhab belum mau. Katanya nunggu lulus. Ya, meski udah molor, sih dari janji." Perempuan itu menimpali. Senyumnya tak lepas dari wajah cantiknya. "Hmmm... Emang, anak ibu yang bagus ini sulit sekali buat menyelesaikan kuliah." Bu Setia pun berjalan maju ke arahku. Ia sepertinya sadar ada aku di sana. Aku pun berdiri. "Ini, Amira, uangnya. Sampaikan terima kasih sama Ibu, ya." Satu lembar lima puluh ribuan Bu Setia serahkan. "Saya gak bawa kembalian, Bu." "Bawa saja. Besok paling saya ada pesanan lagi." Aku pun menerima uang dari Bu Setia. Bersiap pamit dari rumah itu. Mas Arhab hanya berdiri. Ia melihatku dengan tatapan sama. Seakan ingin menanyakan kabar, namun sebuah sekat menghalangi. Sejak awal aku tahu. Mas Arhab tidak mungkin benar-benar menyukaiku. Terlalu mustahil untuk kami bersatu. Mas Arhab terus melihat ke arahku. Aku pun tertunduk untuk menutupi resah hati. Martia menungguku di luar. Aku segera pergi mengayunkan langkah dan juga hati. Sepertinya Mas Arhab sudah punya calon istri. *** "Lihatlah, dia membeli dan memamerkan novelmu." Tangan Mas Baja menunjuk layar ponselnya. "Terus apa salahnya, Mas? Bukankah itu hal baik tandanya ada yang mau membeli bukuku?" Aku mencoba tetap tenang. Komentar itu tidak akan mempengaruhiku. "Cih. Paling habis ini dia inbox kamu. Tanya kabar, say hello dan bilang rindu." Ekspresi Mas Baja benar-benar menyebalkan. "Jangan suudzon, Mas. Bukankah ada yang beli berarti malah menambah keuntungan buatku, buat kita? Dengan begitu bisa menambah ekonomi keluarga kita?" Aku harus berpikir jernih. Tidak boleh mengaitkan ini semua dengan masa laluku. "Dasar munafik. Sejak awal aku bilang kamu tidak perlu mencari tambahan sana-sini. Cukup jadi istriku yang baik, nurut, dan fokus pada satu pekerjaan saja. Aku tidak suka kalau pendapatan kamu lebih besar dariku." Cekcok semacam ini sering kami lewati. Mas Baja tidak pernah bisa menerima jika ia berada di bawahku dalam segala hal. Dulu saat bisnisnya baik, dia memang punya segalanya. Namun, gaya hidupnya yang boros membuat kami nyaris tercekik masalah ekonomi. "Kamu bilang munafik, Mas? Saat aku berusaha membantu ekonomi keluarga kita?" Kata-kata Mas Baja sangat tajam. Ia menusuk hingga ke hati terdalam. Meski terlahir bukan sebagai orang kaya, aku tahu betul bagaimana cara mencari uang. Bulir bening mulai membahasi pipi. "Pakai nangis segala. Memang yang paling bisa membuatmu seperti itu hanya dia. Aku muak denganmu, Amira. Aku benci setengah mati melihatmu seperti ini. Setelah semua pengorbanan yang aku berikan untuk kamu!" Mas Baja mulai tampak sifat aslinya. Mengungkit semua hal yang sudah ia berikan. "Membiayai kuliahmu. Merenovasi rumahmu dan yang paling parah adalah membeli hatimu. Apa itu tidak cukup membuatmu mencintaiku, Amira! Apa selamanya kamu akan menantikan laki-laki bodoh itu?!" Sesuai dugaan ia mengungkapkan semua. "Kamu jangan salah paham, Mas. Tidak ada yang salah saat Mas Arhab membeli bukuku. Dia hanyalah pembeli seperti yang lainnya. Sangat tidak bijak saat kamu justru membedakannya." Aku tetap mencoba kuat. "Mas Arhab kamu, bilang? Kamu berani sebut nama itu di depanku? Hah!" Mas Baja meneriakiku tepat di telinga. Ia benar-benar murka. Dibentak, diperlakukan secara kasar sangat membuatku tidak nyaman. Aku benci setengah mati untuk urusan ini. "Dasar perempuan murahan!" Mas Baja mengumpatku dengan sepenuh hatinya. Ia beranjak dari ruang televisi. Murahan dia bilang? Murahan? Persis kata-kata seseorang. Aku tak bisa menguasai diri. "Stop, Mas! Cukup!" teriakku. Kuletakkan kedua tangan pada daun telinga. "Murahan. Murahan. Perempuan murahan." Mulutku mulai meracau. Mas Baja tetap berjalan. Ia tidak melihatku sama sekali. Aku tidak suka ditinggalkan. Aku tidak mau diabaikan. "Mas!" ucapku. Bisa jadi Akila mendengarnya. "Mas jangan pergi!" kali ini suaraku lebih keras. Namun, Mas Baja tetap berniat membuka pintu utama rumah. Mataku nanar menatap punggung itu. Satu langkah ia pergi, ia pasti akan bersenang-senang dengan caranya. Aku harus mencegah Mas Baja dengan cara apapun. Sebuah siaran televisi kartun favorit Akila masih belum selesai. Aku menatapnya. Dengan cepat kuraih televisi tabung itu. Merobohkannya ke lantai. "Brakk!!!" Mas Baja mengurungkan niatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN