11. Tak Jodoh

1049 Kata
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya. “Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya. “Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu. “Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku. “Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya. “Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseorang.” Keningku mengernyit. “Maksud kamu?” “Tuh, dia,” ucap Martia seraya mendongak. Aku pun membalikkan badan. Laki-laki itu berjalan maju ke arah kami. Membawa beberapa dokumen di tangan kanannya. Tangan kiri memegang selempang tas di depan d**a. Gayanya sama sekali tidak berubah. “Mas Arhab yang bawa ibu kamu ke rumah sakit.” Ucapan Martia menjawab semua tanya yang tercetak jelas di wajahku. “Hai, Mir. Gimana kabarnya?” Suara itu masih sama. Lembut dan sangat menentramkan jiwa. Sontak aku berdiri untuk menjawab sapaannya. ”Hai, Mas. Alhamdulillah baik. Mas gimana?” Meski canggung, aku tetap menyapanya. “Baik juga.” “Mir, aku ke toilet bentar, ya. Kamu bisa tanya soal ibu ke Mas Arhab.” Martia berlalu meninggalkan kami berdua. Aku hanya mengangguk dan tak menghentikannya. Lengang. Suasana sepi menyelimuti. Duduk bersisihan seperti ini memunculkan keheningan yang tiada terperi. Kami tak bisa saling bicara seperti dulu. Kami tak bisa senyaman itu melakukan komunikasi. “Kamu datang sendiri?” Pertanyaan itu muncul juga. “Iya.” “Suami sama anak?” Aku benar-benar menghindari pertanyaan semacam ini. Namun, Mas Arhab tetap menanyakannya. “Nanti nyusul. Tadi aku buru-buru jadi langsung pergi ke sini,” jawabku bohong. Lengang. Susasana hening kembali menyerang. Kian sepi rasa yang muncul di antara kami berdua. Beruntung pintu kamar inap ibu terbuka. Dokter dan perawat sudah selesai melakukan pemeriksaan. “Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” sergahku begitu melihat pria berjas putih itu. “Anda walinya?” “Ya. Saya anaknya, Dok.” “Mari ikut saya.” Pria berjas putih itu memimpin langkah. Aku menatap bingung pada orang-orang ini. Kenapa aku harus ikut? “Ayo, aku temani.” Suara lembut itu menyelamatkanku. Ia mengikuti langkah dokter dan perawat. Perlahan aku juga melangkah. Ruangan yang berada di ujung koridor area ini tampak sepi. Pria berjas putih itu duduk ke meja kerjanya. “Silakan, Mbak,” ucapnya seraya menunjuk kursi di depaannya. Meski ragu aku melangkah maju. “Baiklah kalau anda anak dari Ibu tersebut. beruntung ibu anda segera dibawa ke rumah sakit ini. Jika tidak akan fatal akibatnya. Namun, kondisi ibu anda tidak bisa diremehkan.” Kalimat pembuka pria berjas putih ini membuatku bingung. “Ibu saya sakit apa, Dok?” Pria berjas putih itu menghela napas. Seakan mengumpulkan penyampaian terbaik yang bisa ia ucapkan. “Ibu anda terkena stroke. Ini masih awal. Semoga saja kondisinya tidak memburuk.” Sebaik apapun berita itu disampaikan, tetap saja hatiku hancur berkeping. Stroke? Bagaimana keadaan ibu kedepannya? Pikiran kacau seketika menyerang. Membuatku tak yakin dengan berita ini. “Pastikan anda menjaganya. Nanti kita lihat perkembangan beliau setelah sadar.” Kuusap wajah kasar. Aku tak bisa membayangkan keadaan Ibu. Ya Tuhan, kenapa di saat seperti ini? Bulir bening di pelupuk mata tak bisa kutahan. Tampak dokter mendiamkan. Mengizinkanku menangis di ruang ini. “Maaf, Dok.” “Tidak apa-apa. Informasi tentang ibu anda sudah saya sampaikan semua.” Pria berjas putih itu mengulas senyum tipis. Aku paham maksudnya. Segera kutinggalkan ruangan tersebut dengan air mata yang kian menggenang. Pintu ruangan itu ketarik. Aku akan langsung melihat Ibu. Namun, Mas Arhab berada tepat di balik pintu. Dengan tatapan teduhnya melihatku yang sedang mengusap air mata. Tak ada satu kata pun yang diucapkannya. Ia hanya menarikku ke dalam peluknya. Membiarkan tangis yang memang sudah ada sejak tadi kian menjadi. Aku tak kuasa menolak sandaran ini. Segala rasa kutumpahkan semua beserta air mata. *** “Kamu yakin mau nikah sama Baja, Mir?” kala itu Ibu bertanya untuk ketiga kalinya. “Yakin, Bu. Mas Baja dari awal mau serius sama Amira.” “Bukan karena kamu kecewa Arhab menikah, ‘kan?” Ibu terus meyakinkanku soal itu. “Kecewa? Kenapa Amira harus kecewa, Bu?” “Ibu tahu kalian sejak awal saling berhubungan. Hanya saja kalian belum jodoh.” Baju yang sudah kupersiapkan untuk dibawa saat akan bertemu keluarga Mas Baja kuletakkan kembali. Pertanyaan itu terlalu mengusikku. “Jangan gegabah, Mir. Pernikahan bukan sebuah permainan. Terlebih kamu sama Baja baru kenal enam bulan.” Ibu terus mengingatkan. Pertemuan dengan Mas Baja memang tergolong singkat. Saat itu Mas Baja menjadi salah satu kontraktor pembangunan jalan di desa. Aku mengenalnya karena sering bertemu di toko temptku bekerja. “Amira yakin Mas Baja baik, Bu. Bahkan Mas Baja menawari Amira buat kuliah selepas kami menikah. Gak ada lagi yang perlu diragukan,” ucapku kembali melipat baju. “Ya sudah, Ibu ndak bisa maksa. Ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik buat kamu. Tapi, kalau kamu mau membatalkan juga tidak masalah, masih ada waktu. Ini pertemuan kamu sama keluarganya Baja, kan? Kalau ada hal-hal yang tidak sesuai kamu bisa mundur, Mir.” Ibu beranjak dari tempat tidurku. Beliau selalu ingin aku mengakhiri hubungan dengan Mas Baja. Tak kuhiraukan nasihat ibu kala itu. Aku yang memang patah hati hanya fokus mencari pengganti. Saat Mas Arhab benar-benar menikah dan aku dicampakkan, Mas Baja datang dengan sejuta pesona yang menyilaukan. Kali ini di depan ibu yang terbaring lemah, aku menyesal. Aku terlalu egois meneruskan hubungan yang sejak awal juga tidak diretui oleh kedua keluarga. Aku terlalu percaya diri bahwa Mas Baja akan terus mencintaiku tanpa cela. Kuusap lembut tangan ibu yang mulai keriput. “Maafkan, Mira, Bu. Maafkan Amira.” Tersedu aku menahan air mata. Kembali sebuah usapan lembut kuterima. “Yang kuat, Mir,” ucapnya seraya tersenyum tulus. Aku pun mendongak. Senyum itu selalu berhasil membuatku luluh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN