Dunia Seakan Berhenti

1213 Kata
Dunia Saskia berhenti. Bukan melambat atau menjadi kabur. Tapi benar-benar berhenti. Seolah seorang proyeksionis raksasa menekan tombol jeda pada film hidupnya. Suara denting sendok yang tadi terdengar dari meja sebelah, kini lenyap. Aroma kopi yang pekat dan manis dari mesin espresso di bar, kini menguap. Wajah Rina yang menatapnya dengan cemas dari seberang meja, dengan kerutan khawatir yang mulai terbentuk di antara alisnya, kini menjadi sebuah lukisan cat air yang basah dan tidak fokus. Satu-satunya realitas yang tersisa adalah suara di telinganya. Suara seorang wanita yang belum pernah ia dengar sebelumnya, berbicara dari jarak ribuan kilometer. Suara yang tenang, klinis, dan tanpa emosi-sebuah suara yang dilatih untuk menyampaikan berita katastrofik dengan ketenangan seorang pembaca prakiraan cuaca. Dan suara itulah yang terus menghantamnya dengan kata-kata yang terasa seperti pecahan kaca yang tajam. "...trauma kepala berat... tidak sadarkan diri..." Di benak Saskia, sebuah penolakan yang kuat berteriak. Tidak. Salah sambung. Ini pasti salah sambung. Bima? Adiknya? Tidak mungkin. Bima baru saja mengiriminya pesan semangat tadi pagi. Bima sedang di perpustakaan, mengerjakan tesisnya. Bima aman. Bima baik-baik saja. Ini adalah sebuah kesalahan yang kejam. Tangan Saskia yang memegang ponsel mulai gemetar, getaran kecil yang tak terkendali yang merambat dari jemarinya hingga ke lengannya. Gemetar itu menjalar ke meja. Cangkir espresso di sebelahnya tersenggol. Isinya yang hitam dan pekat tumpah, merayap dengan cepat di atas sketsa presentasinya yang cemerlang, menciptakan noda gelap yang merusak dan menjalar seperti sebuah pertanda buruk. Tapi ia tidak peduli. Matanya terpaku pada kekosongan, telinganya terkunci pada suara itu. "...saat ini di ICU... Dr. Lee Seo-jin sedang melakukan operasi bedah saraf darurat..." Operasi. Bedah saraf. Ya Tuhan. Nama-nama itu terdengar begitu asing, begitu klinis, begitu mengerikan. Kata-kata itu tidak seharusnya disandingkan dengan nama adiknya. Bima. Adiknya yang ceroboh tapi paling ia sayangi. Adiknya yang selalu bisa ia buat tertawa hanya dengan satu lelucon konyol. Adiknya yang baru tadi pagi mengiriminya pesan semangat, yang diakhiri dengan janji, "...nanti aku telpon ya!". Janji yang kini terasa seperti sebuah siksaan. "...kondisinya kritis... kami butuh wali datang sesegera mungkin..." Kritis. Satu kata itu adalah palu godam terakhir yang menghancurkan sisa-sisa penyangkalan Saskia. "Sas! Saski! Lo kenapa?!" Suara Rina yang panik akhirnya berhasil menembus kabut tebal di benak Saskia. Sahabatnya itu sudah berdiri di sampingnya, tangannya yang hangat mengguncang pelan bahu Saskia yang terasa dingin seperti es. Saskia menatap Rina, tapi matanya tidak benar-benar melihat. Ia tidak melihat sahabatnya; ia melihat wajah adiknya yang tersenyum saat mereka berpisah di bandara setahun yang lalu. Dengan napas yang tersangkut di tenggorokan, ia hanya berhasil mengucapkan satu kata pada wanita di telepon sebelum sambungan itu berakhir. "Saya... datang." Ia menurunkan ponselnya dengan gerakan seperti robot yang engselnya berkarat. Tangannya terkulai lemas di sisinya, ponsel itu jatuh ke pangkuannya tanpa ia sadari. "Bima...," bisiknya pada Rina, suaranya serak dan pecah seperti kertas amplas. "Bima kecelakaan, Rin. Di Seoul. Kritis." Wajah Rina yang tadinya cemas kini berubah pucat pasi. Tanpa berkata-kata lagi, ia langsung bertindak. Ia melemparkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke atas meja untuk membayar tagihan mereka, menyambar tas Saskia dan tumpukan mood board yang kini ternoda kopi, lalu menarik lengan sahabatnya yang masih mematung seperti patung lilin untuk berdiri. Mereka harus pergi. Sekarang. Perjalanan keluar dari kafe dan masuk ke dalam taksi adalah sebuah fragmen-fragmen kabur bagi Saskia. Ia merasakan Rina menuntunnya, merasakan udara malam Jakarta yang hangat di kulitnya, mendengar suara klakson mobil, tapi semua itu terasa seperti terjadi pada orang lain, di film yang berbeda. Ia adalah seorang penonton di dalam tubuhnya sendiri. Di dalam taksi yang melaju membelah kemacetan pagi Jakarta, Saskia hanya bisa menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya kosong. Syok masih membungkusnya dalam selimut dingin yang tebal, membuatnya kebas dari dunia luar. Tapi saat taksi itu melewati sebuah papan reklame digital raksasa yang menampilkan gambar sebuah keluarga bahagia yang sedang tertawa di pantai, pertahanannya runtuh. Ia terisak. Bukan tangisan yang anggun. Ini adalah sebuah ledakan kesedihan yang mentah, primal, dan tanpa suara. Bahunya terguncang hebat, ia membekap mulutnya sendiri untuk meredam suara rintihan yang ingin keluar. Air mata panas membanjiri pipinya, sebuah luapan dari koktail beracun berisi kesedihan, ketakutan, dan rasa bersalah yang tak tertahankan. Kenapa aku tidak mengangkat panggilan video Bima semalam? Kenapa aku begitu sibuk? Kenapa pesan terakhirku padanya begitu singkat? Seharusnya aku bilang aku juga sayang padanya. Seharusnya aku... seharusnya... Rina memeluknya erat, menarik kepala Saskia ke bahunya. "Keluarkan semuanya, Sas. Keluarkan aja semuanya. Jangan ditahan," bisiknya, suaranya sendiri bergetar menahan tangis. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, isak tangis Saskia mereda, digantikan oleh napas yang tersengal dan berat. Tiba-tiba, ia menegakkan tubuhnya. Ia mendorong Rina pelan. Air mata masih membasahi wajahnya yang sembap, tapi sorot matanya yang kosong kini berubah. Kepanikan itu bermutasi, mengeras menjadi sebuah determinasi yang ganas dan dingin. "Gue harus ke sana, Rin. Sekarang juga," katanya, suaranya serak namun penuh penekanan baja. Ini bukan lagi Saskia yang jenius dan ceria. Ini adalah Saskia sang kakak, seorang pejuang yang baru saja diberi misi paling penting dalam hidupnya. Rina mengangguk cepat, mengerti perubahan itu. "Oke. Oke. Kita urus. Lo punya paspor kan?" "Ada di apartemen." Sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan, Saskia mengeluarkan ponselnya. Rina melakukan hal yang sama. Di dalam taksi yang remang-remang itu, cahaya dari dua layar ponsel menjadi satu-satunya sumber penerangan mereka. Jari-jari mereka bergerak cepat di atas layar, mencari sebersit harapan di dunia digital. "Tiket paling cepat... Korean Air," kata Rina tegang, matanya menyipit membaca detail di layar. "Tiga setengah jam lagi dari Soekarno-Hatta. Mepet banget, tapi bisa kita kejar. Harganya..." Rina terdiam sejenak. "Astaga, Sas. Dua puluh lima juta. Sekali jalan. Kelas ekonomi." Perut Saskia terasa seperti diremas. Ia membuka aplikasi perbankannya dengan jari gemetar. Saldo: Rp 7.342.150. Angka itu seolah mengejeknya. Uang yang bahkan tidak cukup untuk membayar sewa apartemennya dua bulan. "Proyek Tirtayasa..." bisiknya putus asa, sebuah harapan terakhir. "Nggak mungkin cair sekarang, Sas. Paling cepat tiga puluh hari, lo tahu itu," jawab Rina pelan, menyuarakan kenyataan pahit yang mereka berdua tahu. Rina menawarkan, "Gue ada tabungan..." "Nggak akan cukup, Rin," potong Saskia. Ia teringat email dari rumah sakit. Ia membukanya lagi. Lampiran PDF dengan kop surat Asan Medical Center yang dingin. Ia menunjukkannya pada Rina. Mata Rina membelalak. "Ini... ini dalam Dolar AS?" bisiknya ngeri. "Sas, ini lebih mahal dari harga mobil." Seolah hantaman itu belum cukup, Rina, sang suara logika, menemukan tembok terakhir yang paling tinggi dan paling tebal. "Dan visa," katanya, suaranya terdengar sama putus asanya. "Oke, anggap kita dapat pinjaman kilat. Tapi visa? Lo nggak bisa tinggal di sana lama cuma pakai visa turis, Sas. Buat ngerawat Bima, lo butuh visa wali atau semacamnya. Gue lagi baca di web kedutaan... syaratnya banyak banget, dan waktu prosesnya... empat sampai enam minggu." Minggu. Bukan hari. Minggu. Taksi itu terjebak lampu merah. Saskia menatap ke luar. Orang-orang berjalan di trotoar, tertawa, memulai hari mereka dengan normal. Dunia terus berputar seolah adiknya tidak sedang meregang nyawa di meja operasi. Tapi bagi Saskia, dunianya telah berhenti. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyala: harga tiket yang mustahil, tagihan rumah sakit yang tak terbayangkan, dan masalah visa yang tak terpecahkan. Beberapa jam yang lalu, ia adalah seorang ratu yang siap menaklukkan dunia dari lantai empat puluh dua. Sekarang, ia hanyalah seorang kakak yang terperangkap dalam sebuah taksi di tengah kemacetan Jakarta, tidak berdaya, ribuan kilometer jauhnya dari satu-satunya keluarga yang ia miliki. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN