Hantu di Jembatan Hangang

1092 Kata
Keheningan di dalam mobil Rolls-Royce itu begitu pekat hingga terasa seperti sebuah tekanan fisik. Kwon Jin-hyuk duduk di kursi belakang, menatap lurus ke luar jendela, namun tidak benar-benar melihat gedung-gedung mewah Gangnam yang mereka lewati. Wajahnya yang biasanya setenang danau beku, kini mengeras seperti batu pualam, dengan rahang yang terkatup rapat. Ia sudah melepaskan jasnya yang ternoda, melemparkannya ke kursi di sebelahnya seolah benda itu adalah bangkai yang menjijikkan. Kemeja putihnya kini menampilkan sebuah peta abstrak berwarna kekuningan dari kuah sup sinseollo, dan rambutnya yang biasanya tertata sempurna kini sedikit kaku dan berbau samar seperti teh jelai. Di kursi pengemudi, Sekretaris Cha Sung-jin menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan suara. Bahunya sedikit bergetar. Ia mencoba fokus pada lampu lalu lintas di depan, pada jalanan yang basah, pada apa pun selain bayangan bosnya yang terpantul di kaca spion—seorang CEO berwibawa dengan sepotong kimchi yang nyaris menempel di kerah kemejanya. Ia sudah bekerja untuk Kwon Jin-hyuk selama tujuh tahun. Ia sudah melihatnya menghancurkan direktur-direktur senior dalam rapat, mengakuisisi perusahaan saingan dengan kejam, dan bekerja hingga nyaris pingsan. Ia sudah melihat bosnya dalam mode marah, mode kecewa, dan mode mesin tanpa emosi. Tapi ia belum pernah melihat bosnya dalam mode… kanvas makanan. Sekretaris Cha mencoba menahan napas. Gagal. Sebuah suara aneh, seperti decitan tikus yang tercekik, keluar dari hidungnya. “Sekretaris Cha.” Suara Jin-hyuk yang dingin dan tanpa emosi memecah keheningan. “Y-ya, Daepyo-nim?” jawab Cha, suaranya sedikit bergetar. Ia melirik kaca spion dan bertemu dengan tatapan mata Jin-hyuk yang setajam silet. “Jika kau ingin tertawa,” kata Jin-hyuk dengan nada datar, “tertawalah sekarang. Selesaikan. Agar sisa perjalanan ini kita bisa kembali bekerja dengan tenang.” Itu adalah sebuah kesalahan. Memberi izin sama saja dengan membuka bendungan. Sekretaris Cha berusaha menahannya selama tiga detik, wajahnya memerah karena menahan tekanan. Lalu, ia meledak. “Pfft— HAHAHAHAHAHA!” Tawa itu akhirnya pecah, sebuah tawa lepas yang jujur dan tak tertahankan. “Ma-maaf, Daepyo-nim! Saya sungguh minta maaf! Tapi tadi… wajah Pimpinan Yoon… dan kimchi… kimchi di dasi Anda… HAHAHA!” Jin-hyuk tidak merespons. Ia hanya memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya ke belakang. Ia bisa saja memecat Cha di tempat. Tapi Cha adalah satu-satunya orang yang melihatnya tumbuh dari seorang pewaris yang ragu-ragu menjadi CEO yang ditakuti. Cha tahu tentang piano yang tak pernah tersentuh itu. Cha tahu segalanya. Dan yang paling penting, tawa Cha tidak mengejek. Tawa itu menertawakan absurditas situasi mereka. “Sudah selesai?” tanya Jin-hyuk setelah tawa Cha mereda menjadi isak tawa kecil. “Sudah, Daepyo-nim. Maafkan saya,” kata Cha, menyeka air mata dari sudut matanya dan berusaha mengembalikan ekspresi profesionalnya. “Orang tua Anda ada di mobil lain di belakang kita. Mungkin mereka juga sedang… mengapresiasi situasi ini.” “Mereka tidak mengapresiasi,” gumam Jin-hyuk, kini membuka matanya. “Mereka sedang menghitung kerugian dari potensi merger yang gagal.” Baginya, orang tuanya tidak akan pernah bisa melihat sisi lucu dari sebuah bencana. Mereka hanya melihat angka merah di neraca keuangan. Rasa jengkelnya pada tragedi makan malam itu perlahan memudar, digantikan oleh kelelahan yang familier. Mobil melaju dalam keheningan yang nyaman setelah itu. Tawa Cha seolah telah membersihkan udara. Jin-hyuk kembali menatap ke luar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun, membuat lampu-lampu kota Seoul berpendar dan memantul di atas aspal yang basah. Ini adalah pemandangan yang ia cintai. Benar-benar ia cintai. Baginya, Seoul di malam hari adalah perwujudan dari logika dan keindahan yang sempurna. Sebuah mahakarya rekayasa manusia. Lampu-lampu jalan raya menciptakan arteri-arteri cahaya yang mengalir dengan teratur. Gedung-gedung pencakar langit berdiri sebagai menara-menara kekuasaan yang kokoh, jendelanya yang berkelip seperti sirkuit data yang tak pernah tidur. Semuanya adalah sebuah sistem yang teratur, sebuah grid yang efisien. Kota ini adalah cerminan dari cara otaknya bekerja. Ini adalah kerajaannya. Mobil mereka mulai menaiki Jembatan Mapo, salah satu jembatan ikonik yang melintasi Sungai Han yang lebar dan gelap. Dari sini, pemandangannya begitu spektakuler hingga nyaris menyakitkan. Di sebelah kiri, Gedung 63 berkilauan seperti batangan emas. Di kejauhan, Namsan Tower berdiri seperti jarum cahaya yang menunjuk ke langit. Lampu-lampu kota yang tak terhitung jumlahnya berkelip di kedua sisi sungai, menciptakan sebuah permadani cahaya yang membentang tanpa akhir. Indah sekali. Namun sialnya, keindahan ini telah diracuni oleh sebuah kenangan. Saat ia menatap kelip cahaya yang terpantul di permukaan sungai yang gelap, ia tidak lagi melihatnya dengan matanya sendiri. Ia melihatnya melalui mata orang lain. “Gila! Indah banget!” Sebuah suara dari lima tahun yang lalu tiba-tiba menggema di benaknya. Suara yang penuh semangat, sedikit serak karena terlalu banyak tertawa, dan sama sekali tidak peduli pada keheningan malam. “Lihat, Jin-hyuk! Lihat! Kayak permata yang tumpah di atas kain beludru hitam!” Ia ingat saat itu. Sebuah malam musim gugur yang dingin, sama seperti ini. Ia sedang menyetir, dan gadis di sebelahnya—Saskia—tiba-tiba memintanya untuk menepi di tengah jembatan. Sebuah permintaan yang tidak logis dan berbahaya. Tapi ia melakukannya. Dan gadis itu keluar dari mobil, berlari ke tepi jembatan, dan merentangkan tangannya seolah ingin memeluk seluruh kota. Ia tidak melihat grid atau sistem. Ia melihat sihir. Ia tidak melihat gedung, ia melihat istana-istana modern. Ia tidak melihat lampu, ia melihat permata yang tumpah. Dunianya penuh dengan metafora yang berlebihan dan emosi yang meluap-luap. Sangat tidak efisien. Sangat tidak logis. Dan sangat… hidup. Jin-hyuk mengerjapkan matanya, berusaha mengusir bayangan itu. Kenangan tentang Saskia adalah sebuah anomali dalam sistemnya yang sempurna. Sebuah bug yang tidak bisa ia hapus. Ia telah membangun seluruh hidupnya, seluruh kariernya, sebagai sebuah benteng untuk melindungi dirinya dari kekacauan semacam itu. Kekacauan emosi. Kekacauan spontanitas. Namun, hantu dari kekacauan itu justru menempel pada satu-satunya hal yang ia cintai—pemandangan kota ini. Mobil akhirnya tiba di depan lobi gedung apartemennya yang mewah. Jin-hyuk keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Sekretaris Cha. Ia masuk ke dalam apartemennya yang sunyi dan kosong. Ia melepaskan dasinya yang ternoda, lalu berjalan ke arah jendela raksasanya. Pemandangan yang sama yang ia lihat dari jembatan tadi, kini terhampar di hadapannya seperti sebuah lukisan privat. Tapi malam ini, pemandangan itu tidak lagi memberinya rasa puas atau kekuasaan. Pemandangan itu terasa hampa. Kelip lampu yang tak terhitung jumlahnya itu hanya menekankan betapa sendirinya ia di dalam istana kacanya. Noda kimchi di kemejanya bisa dibersihkan oleh laundry. Reputasi yang sedikit tercoreng di depan keluarga Yoon bisa diperbaiki dengan manuver bisnis. Tapi noda kenangan yang ditinggalkan Saskia pada kota ini, pada hatinya, terasa permanen. Ia adalah seorang raja tanpa permaisuri, di sebuah kerajaan yang terasa kosong. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kwon Jin-hyuk merasa benar-benar kalah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN