Esok paginya, aku pun bisa pulang ke rumah. Rindu sekali dengan rumah. Tiba di rumah, aku langsung menuju kamar tercinta. Lagi, aku dirundung pilu, teringat Mas Hamdan. Ah, kapan bisa menghapus jejaknya dari hidupku?
Mataku terasa sangat perih. Tuhan ... aku rindu Mas Hamdan. Pujaan hatiku. Saat aku sedang bersedih, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang dengan penuh kasih sayang.
“Menangislah, Cit. Tumpahkan segala rasa yang ada, agar kamu bisa lega.” Mas Evin merengkuhku dalam pelukannya.
Aku mencoba melepas pelukannya dan menghadap ke arah Mas Evin, lalu menatapnya. Mas Evin memang selalu ada untukku. Aku kembali menghambur ke pelukannya, dan tergugu di d**a bidangnya. Aku menumpahkan segala rasa yang membuncah dalam d**a. Napas terasa sesak. Dunia seolah-olah berhenti berputar.
Setelah puas mengeluarkan air mata, aku mengurai pelukan.
“Maaf, Mas. Bajumu jadi basah gini.” Aku berkata pelan sekali.
“Ya elah, nggak apa-apa kali, Cit. Aku seneng, kok, bisa membantumu, walau mungkin nggak akan pernah bisa menggantikan posisi Hamdan.” Mas Evin menatap keluar jendela.
Kedua alisku bertaut. “Maksud Mas Evin apa?”
Mas Evin tampak gugup. “Eh, nggak, kok, lupakan aja. Aku tadi cuma ngelantur.” Mas Evin tertawa.
Aku masih terdiam. Memikirkan apa maksud Mas Evin tadi, tapi otak tak dapat mencerna dengan baik. Ah, biarlah. Toh, katanya tadi bukan apa-apa, hanya salah omong saja. Jadi, tak perlu dipikir.
“Citya, Evin!” Panggilan Mama mengagetkan kami berdua.
“Ayuk keluar, tante manggil itu,” ajak Mas Evin.
Aku mengikuti langkah Mas Evin. Tiba di ruang tengah, ternyata Mama mengajak sarapan. Awalnya, Mas Evin menolak karena buru-buru hendak bekerja, tapi karena dipaksa akhirnya mau.
Kami menikmati sarapan dengan khitmad. Hanya suara dentingan sendok beradu dengan piring. Rasanya nikmat sekali setelah hampir satu minggu tidak merasakan masakan Mama.
Selesai sarapan Mas Evin pun pamit, karena akan bekerja. Aku mengucapkan terima kasih, sebab selalu siap membantu.
***
Waktu berjalan begitu cepatnya. Hari telah merangkak pergi dan berganti dengan bulan. Tanpa terasa sudah hampir dua bulan kepergian Mas Hamdan. Akan tetapi, entah sulit sekali melupakan bayangnya. Namanya sudah terpatri dalam hati, jadi sangat susah menghapusnya.
Akhirnya, jalan satu-satunya dengan cara meninggalkan kota kecil tempat kelahiranku. Di sini terlalu banyak kenangan yang akan sulit untuk dilupakan. Awalnya, Mama dan Mas Evin melarang, sebab aku tak pernah pergi jauh dari keluarga. Alasan lain Mas Evin adalah aku anak yang manja, masih suka bergantung pada orang lain.
Aku terus mendesak dan memaksa agar diizinkan. Memberi pengertian pada mereka secara baik-baik. Mengatakan kalau semua itu demi kebaikan dan masa depanku. Bukankah, mereka yang bilang kalau aku harus bisa move on dan mengejar mimpi? Usiaku masih muda dan masa depan juga panjang. Aku berharap bisa menjadi sosok yang dewasa dan penuh tanggung jawab serta tidak manja lagi. Biasanya seperti itu jika pergi merantau.
“Kamu, tuh nggak bisa jauh dari Mama, mending tetap di sini.” Mas Evin menatap dari tempat berdirinya yang tak jauh dari ranjangku.
“Kalau aku tetap di sini aku akan susah move on, Mas .... Aku juga pergi nggak untuk selamanya, cuma sebentar. Hanya ingin mencapai cita-cita, aja.” Aku mengemas pakaian ke dalam koper.
Mas Evin terdengar menghela napas panjang.
Aku memang tipe yang keras kepala, jadi siapa pun harus menuruti semua keinginanku. Apa pun yang terjadi harus tetap diizinkan pergi. Kalau tidak diizinkan pun akan tetap pergi.
“Tapi, kan, nggak perlu ke Ibu kota juga, Cit ... di sini juga banyak universitas yang bagus. Nggak kalah sama di Ibu kota.” Mas Evin melipat tangan di depan d**a.
Aku mendongak dan tepat saat Mas Evin menatapku. Akhirnya, kedua netra kami terpaksa bertemu. Entah, ketika pandangan kami beradu, ada desiran aneh yang kurasa. Tatapan Mas Evin tampak berbeda. Sontak membuatku langsung menunduk.
“Mama sudah kasih izin, kok, Mas. Percaya deh sama Citya, kalau pasti bisa menjaga diri. Citya bukan anak kecil lagi,” cicitku.
Aku tetap menunduk, tak berani memandang wajah Mas Evin. Telisik manik hitamnya membuatku takut. Terlihat aneh. Kemudian, terdengar suara helaan napasnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Kamu yakin mau pergi ke Ibu kota, Nak?” Mama tiba-tiba masuk ke kamar.
Aku pun mengangguk mantap. Semua sudah dipersiapkan. Universitas pun telah menerima pendaftaran tanpa tes. Jadi, kenapa harus dibatalkan? Sayang, kan, kalau tidak jadi. Sayang dengan beasiswa yang akan aku dapatkan. Toh kesempatan ini jarang terjadi. Tak mungkin ada kesempatan untuk kedua kalinya. Mumpung dapat beasiswa, jadi ya harus diambil.
“Kamu jaga diri baik-baik, ya. Ingat! Jangan pernah macam-macam,” nasihat Mama penuh penekanan.
“Tuh, dengerin kalau Tante ngomong! Jangan cuma iya, iya, aja!” sungut Mas Evin.
“Bawel! Jadi cowok nggak boleh bawel. Pantes sampai sekarang jomblo, cewek takut, sih.” Aku tertawa menggoda Mas Evin.
Pupil matanya membesar. Manik hitam itu menelisikku tajam. Aku pun terbahak melihat ekspresi Mas Evin. Sekilas aku melirik Mama, tampak senyum tipis menghiasi bibirnya. Mama pun menggelengkan kepala melihat tingkah kami.
“Kalian itu kayak anak kecil aja. Tapi, Mama seneng, akhirnya kamu bisa tertawa lepas sekarang. Mama kangen keceriaanmu, Nak.” Mama mengusap kepalaku dengan lembut.
Lagi, aku terdiam. Kata-kata Mama benar, semenjak kematian Mas Hamdan baru sekarang aku bisa tertawa lepas. Ah, aku merasa bersalah sama Mama.
“Ya sudah, Mama keluar dulu. Kamu lanjutkan kemas barangnya,” ucap Mama sambil lalu.
Kini, hanya tinggal kami berdua. Sama-sama terdiam. Hening. Sunyi. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Aku melirik Mas Evin, wajahnya tampak aneh dan gelisah. Seolah-olah memikirkan sesuatu.
“Hei, Mas!” teriakku memecah kesunyian.
Mas Evin berjingkat kaget dan aku tertawa lebar. Mas Evin mengangkat kedua alisnya.
“Apa, sih? Manggil orang nggak sopan!” ketus Mas Evin.
Aku pun tersenyum melihat ekspresi Mas Evin. Lucu. Bibirnya mengerucut, rasanya aku ingin menguncirnya.
“Heleh, malah senyum!”
“Daripada nangis, kan, hayo?”
Mas Evin mengangkat kedua bahunya. Lalu, iris berwarna hitam itu menatapku dengan tajam. Sungguh aneh. Kemudian, dia menghela napas panjang.
“Sudah malam, aku balik dulu. Kamu jangan lupa istirahat. Besok pagi katanya mau ke makam,” ucap Mas Evin.
Aku memukul dahi. Lupa, kalau besok harus pergi ke makam Mas Hamdan.
“Bereslah pokoknya. Udah sono kalau mau balik.”
“Ye, ngusir nih ceritanya?” tanya Mas Evin.
Aku mengendikkan bahu. “Udah sana.”
“Iya!” sentak Mas Evin sambil lalu. “Oh iya, besok diantar apa pergi sendiri?” tanyanya lagi.
“Sendiri aja, Mas.”
Mas Evin mengacungkan jempolnya, kemudian melangkah meninggalkanku sendiri.
Selepas Mas Evin pergi. Jiwaku kembali sepi. Teringat akan Mas Hamdan. Tak pernah percaya kalau dia telah benar-benar pergi dari dunia yang fana ini.
“Semoga kamu tenang di sana, Mas. Aku akan selalu mendoakan dan menyimpan namamu di hati.”
Aku pun berbaring, menatap langit-langit kamar. Mataku terpejam dengan sendirinya. Dua jendela hati tak mampu lagi untuk tak menutup hari.
***
Bersambung