5

1657 Kata
Berkaitan dengan janji Sakura pada Galen waktu lalu pasal dirinya yang ingin menemani Galen menonton, namun tidak bisa lantaran saat itu ia sedang ada kelas, Sakura akhirnya mengabarkan Galen untuk menepatinya hari ini sehabis kelas terakhirnya nanti. Karena yang Sakura takuti, kalau terlalu lama ditunda-tunda ujungnya Galen malah memutuskan untuk menonton sendiri atau bisa jadi meminta orang lain lagi untuk menemani, tanpa sepengetahuan dirinya. Apalagi setiap film pasti memiliki masa waktunya tersendiri untuk tayang di bioskop. “Kamu lagi sakit, Sa?” tanya Galen, ketika menyadari wajah Sakura yang nampak pucat, sesaat setelah ia perhatikan cukup lama. “Masa, sih?” pungkir Sakura. Seketika Galen menahan langkahnya, disusul Sakura yang ikut berhenti di tengah-tengah selasar, ketika mereka hendak menuju parkiran. “Muka kamu keliatan pucet. Coba sini aku cek.” Galen menarik lengan Sakura agar lebih mendekat. Kemudian meletakkan punggung tangannya, tepat di kening Sakura. “Badan kamu panas, aku anter pulang aja, ya?” “Tapi, Kak, nontonnya?” Sakura berbalik tanya, lantaran merasa tidak enak. Lebih-lebih yang membuat janji saat ini adalah dirinya. “Nggak apa-apa, bisa lain kali. Karena kayaknya kamu kurang istirahat. Atau langsung aku anter ke rumah sakit?” tawar Galen, kemudian, yang langsung mendapat tolakan tegas dari Sakura. “Nggak usah, Kak. Aku emang cuma kecapean. Tidur sebentar aja paling udah enakan,” dalih Sakura dengan suara payau, lantas Galen malah jadi tidak meyakininya. “Kamu yakin?” Sakura mengangguk lemah, seraya memegang sekaligus memijat keningnya yang terasa kian berdenyut. Bersamaan dengan itu, pandangan Sakura pun semakin lama ia berdiri rasanya semakin mengabut. Berbayang. Tidak jelas. Hingga di detik selanjutnya seketika gelap begitu saja. Tidak ada satu objek pun yang mampu Sakura lihat, bertepatan dengan kesadarannya yang melayang hilang. Bruk! Sakura jatuh pingsan, namun tubuhnya berhasil Galen tangkap. *** Angkasa Dirgantara: Di mana? Hampir setengah jam pesannya tidak dibalas oleh Sakura, Angkasa putuskan untuk menghubungi nomor gadis itu. “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Silakan hubungi―” Angkasa langsung mematikan ponselnya sebelum operator selesai bicara. Tidak mau membuang waktu, Angkasa mengantungi kembali ponselnya. Kemudian langkah kakinya bergerak dengan cekatan, menelusuri gedung Fakultas Sastra. Angkasa berjalan tergesa-gesa tanpa arah. Cuma satu tujuan Angkasa; menemukan Sakura. Entah kenapa, pasal orang asing yang ingin mencelakai Sakura, sukses besar membuat Angkasa akhir-akhir ini mudah sekali mencemaskan Sakura. Seperti sekarang ini, cuma karena ponsel Sakura yang tidak biasa-biasanya tidak aktif, Angkasa sudah langsung cemas. Pikirannya macam-macam. Walau masih di area kampus, bisa saja orang asing itu menculik Sakura dengan melakukan penyamaran sebagai mahasiswa. Dengan perasaan yang ketar-ketir, Angkasa terus melangkah sembari menengok kelas-kelas yang tertutup melalui kaca jendela. Melihat, apakah di dalam ada seseorang yang dicarinya atau tidak. “Sa, lo ngapain, dah, tumben-tumbenan amat di gedung ini?” Suara Doni yang tiba-tiba mengisi pendengaran Angkasa, seketika membuat Angkasa berhenti melangkah dan sontak menoleh ke arahnya. “Lo sendiri ngapain di sini?” Bukannya menjawab, Angkasa malah melempar kembali pertanyaan Doni. Doni menyengir, lalu menyahut enteng, “Lo nggak tau, ya? Cewek baru gue kan sekarang anak Sastra. Jadi wajar, dong, gue di sini. Lo sendiri?” “Gue lagi nyari Galen,” tembak Angkasa, asal bunyi. “Tadi gue ke sini bareng sama itu anak, sih. Katanya dia mau nemuin junior kita. Siapa, tuh, namanya yang ponian?” “Rambutnya panjang?” sambung Angkasa menebak. “Iya. Yang ikut baksos kemarin. Siapa, ya, namanya...” Di saat Doni masih berusaha mengingat-ngingat, dalam diam Angkasa sudah tahu siapa yang dimaksud. Dengan segera Angkasa mengeluarkan ponselnya. Tidak, dia tidak mungkin menghubungi Sakura. Tetapi kali ini Angkasa akan menghubungi Galen. “Sakura! Iya, namanya Sakura kalau nggak salah!” seru Doni, meski telat. “Coba aja lo hubungi dia.” Tanpa menjawabnya dengan suara, Angkasa hanya menanggapi Doni dengan menunjuk langsung ponselnya yang sedang menempel di daun telinganya. “Oh, ok. Gue duluan, ya, bray!” Doni berlalu, sementara Angkasa masih sibuk menunggu Galen mengangkat panggilannya. “Halo, Len, lo di mana?” Saat terangkat, Angkasa langsung bertanya pada intinya tidak pakai basa-basi. Sehingga Galen di seberang sana pun juga langsung menukas, “Klinik kampus. Kenapa emang?” *** Sakura membuka matanya perlahan-lahan. Satu demi satu objek yang mulai terlihat jelas. Termasuk Galen yang Sakura tidak tahu sudah berapa lama dia menemaninya di sini. Galen tersenyum lega. Namun baru saja ingin berucap, tiba-tiba suara pintu terbuka membuat Sakura dan dirinya menoleh. Sosok Angkasa muncul di baliknya, dan langsung menghampiri Sakura yang masih berbaring di atas ranjang besi klinik. “Kenapa kamu bisa sampai kayak gini? Kamu salah makan apa bisa tiba-tiba pingsan? Atau orang asing yang mau mencelakai kamu itu ada lagi?” tanya Angkasa bertubi-tubi. Cemas, namun tetap terdengar seperti seseorang sedang menginterogasi, lantaran ia tidak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan kecemasannya. Sakura menggelengkan kepalanya. “Aku cuma kecapean aja, Kak,” jelasnya, sama seperti ia menjelaskan pada Galen sebelumnya. Karena membuat orang lain khawatir memang bukanlah tabiatnya. “Ponsel kamu mana? Kenapa nggak aktif?” tanya Angkasa lagi. Sesaat Sakura mengubah posisi baringnya menjadi duduk. Hal itu membuat Angkasa dan Galen berinisiatif untuk membantu di sisi kiri dan kanannya. Meskipun setelahnya mereka berdua saling beradu tatapan sinis tanpa Sakura ketahui, seakan keduanya sama-sama tidak terima akan inisiatif satu sama lain. “Ini tas kamu, Sa,” ucap Galen yang telah memalingkan matanya dari Angkasa, seraya meraih ransel Sakura yang ditaruhnya di atas nakas. Kemudian memberikannya pada Gadis itu. Sakura mengambilnya. Mengeluarkan ponsel dari dalam resleting depannya. “Maaf banget, Kak. Aku nggak tahu kalau ponsel aku mati,” ucapnya kemudian pada Angkasa. “Nanti saya belikan power bank. Pokoknya lain kali ponsel kamu nggak boleh mati. Biar saya gampang ngehubunginnya. Karena saya nggak mau terjadi apa-apa lagi sama kamu. Paham?” Sakura memanut. Ia berpikir, Angkasa semata-mata hanya bermaksud menjalani janji yang diucapkannya. Lantaran semenjak kejadian malam itu, Angkasa memang tidak pernah lengah untuk menepati janjinya. Angkasa selalu mengantar jemput Sakura dari atau ke kampus maupun kedai, meski Sakura tidak memintanya. Meskipun pada hari-hari tertentu ia sedang tidak ada kelas. Dan tadi, Sakura lupa untuk mengabari akan dirinya yang ingin menemani Galen terlebih dahulu sebelum pulang. Namun berbeda dengan Sakura yang tidak memiliki anggapan lain akan perhatian yang diberikan oleh Angkasa padanya, ternyata Galen justru lebih peka dan mampu membaca juga mengerti bahwa ada maksud lain di balik dari apa yang Angkasa lakukan. Karena seumur-umur menjadi sahabat Angkasa dari kecil, sumpah demi Tuhan ini merupakan kali pertama Galen melihatnya secemas ini akan perempuan, dan perempuan itu bukanlah ibunya. Sakura melepas selimut, dan menurunkan kedua kakinya. Tampak ia ingin beranjak dari ranjang besi klinik. “Kamu mau pulang? Aku anter, ya?” tawar Galen, langsung. Walau tiba-tiba salah satu tangan Angkasa menghalangi tubuhnya. “Biar gue aja,” sergah Angkasa pada Galen, lalu mencoba memberi pengertian lain pada Sakura, “Kamu ke kampus sama saya, jadi pulangnya juga harus sama saya. Karena itu artinya kamu tanggungjawab saya.” “Tapi, Sa, bukannya tadi bokap lo telepon terus bilang kalau jam tiga lo diminta buat ke ruang Rektor?” Sial! Angkasa lupa akan hal itu. Angkasa tidak tahu maksud Galen mengatakan ini baik dengan tujuan untuk mengingatkannya, atau memang sengaja supaya dia bisa mengambil alih tugasnya untuk mengantar Sakura? Tidak perlu ditanya, Angkasa yakin tujuan yang kedua yang benar. Maka Angkasa tidak akan membiarkan itu tercapai. “Soal itu gue bisa urus setelah anter dia balik.” “Tapi―” “Ck!” Muak mendengar tapi, Angkasa memotongnya dengan decakan. “Gini aja, sekarang kita balikin lagi ke Sakura.” Sejenak Angkasa melihat ke arah Sakura. “Kamu mau dianter pulang sama siapa? Saya, atau Galen?” tanyanya tegas, benar-benar menyorot sepasang mata bundar Sakura. Dari Angkasa, bola mata Sakura bergeser menatap mata Galen yang juga sedang menatapnya. “Biar aku dianter sama Kak Angkasa aja, ya, Kak?” tutur Sakura, pelan. Meski sejujurnya Sakura tidak tega melihat tatapan Galen yang tampak jelas menaruh harapan penuh padanya. Galen sempat tergugu beberapa saat. Sampai akhirnya tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain mengangguk samar. Kalau memang itu yang menjadi pilihan Sakura, apalagi yang harus Galen bantahkan? Setelahnya Galen hanya mampu memerhatikan Sakura dalam diam. Dari mulai Angkasa yang membantu Sakura untuk turun dari ranjang, sampai mereka berdua berlalu menyisakan dirinya sendirian, yang masih belum bisa bergerak barang satu senti pun dari pijakannya. Sedangkan Sakura yang berusaha untuk terus mengambil langkah meski harus tertatih, dibantu oleh Angkasa yang memegangi kedua lengan atasnya, merasa bingung sekaligus heran akan dirinya sendiri. Sakura sungguh-sungguh tidak tahu apa yang salah dengan dirinya belakangan ini, karena kenyataannya semua yang menjadi kehendaknya bukan karena sebuah misi atau rencana apapun. Bahkan segalanya benar-benar terjadi di luar perkiraan Sakura sendiri. Jadi pilihan yang diambilnya itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan misi yang diberikan Lola. Sakura tidak tahu sejak kapan isi kepalanya mulai berubah. Tetapi mungkin kalau pilihan itu dihadapkan pada Sakura di waktu dulu, sebelum Sakura mengenal Angkasa, Sakura yakin betul kalau dirinya sudah pasti akan memilih Galen dengan memberi jawaban yang lantang. *** “Kenapa tadi bisa sama Galen?” tanya Angkasa sambil melirik Sakura sekilas, lantaran dirinya harus kembali fokus menyetir, melihat ke ruas jalan di balik kaca depan mobilnya. “Sebenernya tadi aku mau nemenin Kak Galen nonton.” Sakura menjawab pelan dengan menundukkan kepalanya. Entah kenapa Sakura seperti merasa bersalah pada Angkasa akan apa yang telah ia lakukan, meskipun ia sendiri tidak tahu atas dasar apa dirinya merasa bersalah seperti itu. Angkasa tidak merespon lebih lanjut. Mendengar jawaban Sakura barusan, tiba-tiba membuat Angkasa merasa menyesal karena telah bertanya. Sehingga Sakura yang semula berpikir dirinya akan dimarahi, seketika mengubur pikiran itu dalam-dalam lantaran yang ia lihat lawan bicaranya justru cuek-cuek saja seperti biasanya. Sakura sama sekali tidak tahu. Padahal Angkasa ingin sekali memarahinya, namun hanya saja Angkasa merasa tidak berhak untuk berlaku seperti itu. Apalagi sampai melarang-larangnya untuk dekat dengan Galen atau lelaki lain siapapun itu. Angkasa sadar, bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Sakura. Dan statusnya saat ini hanyalah pelindung bagi gadis itu, sesuai janjinya. Tidak lebih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN