2

2014 Kata
 Sekitar sekian menit yang lalu Andre mendapati Angkasa baru saja pulang dari latihan basket bersama Galen, tak lama Andre mendapati anaknya kembali ke luar dengan pakaian yang sudah berganti. Sejenak Andre melihat ke arah jam dinding di ruang tamu. “Sudah jam segini, mau ke mana lagi kamu Angkasa?” “Ada urusan. Sebentar,” sahut Angkasa cuek. Sedangkan Andre yang tidak berkesempatan untuk menahan, hanya berpesan, “Hati-hati.” Seperti orang terburu-buru, Angkasa bahkan tidak ada waktu untuk menimpali kembali ucapan papanya. Angkasa langsung masuk ke dalam mobilnya, yang kemudian berlalu dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sekali-dua kali, Angkasa melirik arloji hitam berian Sakura yang saat ini melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul 10.13. Pastilah saat ini Sakura sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tinggal berharap saja gadis itu tidak langsung pulang, agar ia tidak terlambat menjemputnya. *** Belum sempat melihat seseorang di dalam mobil itu, belum juga sempat membenarkan rantai sepedanya sampai tuntas, Sakura langsung berjalan setengah berlari, menuntun sepedanya yang belum bisa digunakan saat itu. Sakura tidak tahu apakah orang itu mengejarnya atau tidak, tetapi Sakura hanya terus berjalan cepat supaya dirinya selamat. Meskipun sialnya, semakin Sakura berjalan cepat, bukannya semakin aman, suasana malah justru semakin menakutkan bagi Sakura. Karena Sakura lihat semakin dalam ia memasuki area perumahan itu, terlihat keadaannya malah semakin sepi. Bahkan penerang jalan yang biasa menyala, entah bagaimana bisa kali ini malah padam. Sakura mempercepat langkahnya. Lebih cepat. Lebih cepat lagi. Bahkan saking panik dan takutnya, langkah Sakura hampir bisa disebut berlari. Tidak peduli akan peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya. Tidak peduli akan deru napasnya yang sudah terdengar persis seperti orang sekarat. Terengah-engah, naik turun sungguh tidak teratur. Karena Sakura sungguh tidak memikirkan itu. Yang Sakura pikirkan hanyalah, bagaimana caranya agar ia bisa menyelamatkan diri. Namun syukurlah saat Sakura menoleh ke belakang, tidak ada siapapun yang didapati mengejarnya. Saat itu barulah Sakura bisa bernapas sedikit lega. Alih-alih melanjutkan langkah cepatnya menuju rumah, Sakura memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu di sebuah g**g sempit yang besarnya tidak jauh berbeda dengan g**g rumahnya, setidaknya sampai situasi benar-benar aman. Walaupun ia sendiri tidak tahu di mana dirinya sedang berada. Ini sudah kali ketiga Sakura merasa dirinya terancam seperti ini. Sakura tidak tahu siapa orang itu. Sakura juga tidak tahu kenapa dia sampai sebegitu gencar ingin mencelakai dirinya. Maka wajar saja kalau sekarang Sakura nampak benar-benar ketakutan hebat, bahkan sampai tubuhnya bergetar. Wajahnya pucat pasi. Suhu tubuhnya mendingin, dibalur keringat. Kalau boleh jujur, Sakura takut. Sangat takut. Namun Sakura sungguh tidak tahu bagaimana ia harus mengepresikan ketakutnya sekarang. Sekian menit sekali, Sakura mengintip ke luar g**g dengan menyembulkan kepalanya. Memantau jalan yang dilewatinya, apa benar orang itu masih mengikuti atau sudah tidak lagi seperti dugaannya. Jalanan di depan terlihat sepi. Hening, tidak ada suara sedikit pun. Yang ada hanya suara kicauan burung hantu dan desau angin yang tak kasat mata. Setelah memastikan semuanya cukup aman, Sakura kembali ke luar g**g. Kemudian memarkir sejenak sepedanya di pinggir jalan, lantran sesungguhnya di saat yang seperti ini Sakura tidak sanggup jika harus berjalan kaki sampai, rumah ditambah dengan menuntun sepedanya. Sehingga mau tak mau ia harus membenarkan rantainya dulu meski dengan tangan gemetar. Terlalu sibuk dengan rantai, Sakura sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa sebilah balok besar di tangan. Kleng! “s**t!” Orang itu berdecak. Ketika jaraknya sudah begitu dekat dengan Sakura, seseorang yang menjadi target utamanya, tanpa sengaja kakinya menendang sebuah kaleng sampah yang menghasilkan bunyi nyaring. Namun saat Sakura menoleh, sesuatu benar-benar membuatnya terkejut. Sebila balok semakin dekat yang bersiap untuk menyerangnya, membuat gadis itu tiba-tiba kehabisan daya dan tidak bisa melakukan apa-apa selain merengkut juga menutup kedua mata dan telinganya rapat-rapat. “Tolong!!!” Gadis itu menjerit sekencang-kencangnya dengan air mata yang menetes di sudut matanya. *** Baru saja Angkasa menepikan mobilnya, tepat di depan kedai ia mendapati Bu Mega yang jelas saja Angkasa kenali sebagai pemilik kedai roti tersebut. Berbarengan dengan Bu Mega yang hendak bergegas, Angkasa segera keluar menghalau langkahnya. “Sakura-nya sudah pulang, ya, Bu?” “Sudah,” jawab Bu Mega. “Ya, kira-kira lima belas menit yang lalu.” “Kalau gitu terima kasih, Bu,” ucap Angkasa tetap tersenyum, meski sebetulnya ia justru semakin gelisah. Tanpa menunggu lama, Angkasa kembali masuk ke dalam mobilnya. Sambil menyetir Angkasa mengeluarkan ponselnya, mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Sakura. “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah hubungi beberapa saat lagi.” “Argh!” Tiga kali mendapat respon yang sama dari operator, Angkasa membanting ponselnya ke sembarang arah. Semenjak kejadian yang diceritakan Sakura waktu lalu, tidak tahu kenapa Angkasa menjadi sering sekali mencemaskan gadis itu bahkan untuk alasan yang terkadang dirinya sendiri belum tahu persis. Tidak, jika sampai terjadi sesuatu pada Sakura, sumpah demi Tuhan Angkasa tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Karena walau ia tidak memiliki janji pada Sakura untuk menjemputnya hari ini, tetapi ia tetap memiliki janji pada dirinya sendiri, untuk selalu menjaga gadis itu tanpa perlu diketahui oleh siapapun. Angkasa tidak mau, kejadian yang membahayakan itu terulang lagi pada Sakura. Sepanjang perjalanan, Angkasa tidak berhenti mengedarkan pandangannya ke segala penjuru sejauh matanya memandang. Angkasa segera menurunkan kecepatan mobilnya, ketika tanpa sengaja samar-samar matanya menangkap keberadaan sepeda Sakura yang saat itu terparkir tepat di pinggir jalan area sebuah perumahan. Angkasa sempat mengembuskan napas lega, meskipun hal itu tidak berlangsung lama, terlebih ketika di saat yang sama ia juga mendapati seseorang dengan balutan serba hitam di belakang Sakura. Yang apabila Angkasa tegaskan, orang itu membawa sebilah balok besar yang tergenggam di salah satu tangannya. Usai membuka sabuk pengaman, langsung Angkasa turun dan berlari ke arah Sakura. “Sakura awas!” seru Angkasa, yang tentu saja tidak sampai ke telinga Sakura. “Tolong!!!” Sakura menjerit sekencang-kencangnya dengan air mata yang menetes di sudut matanya. Gadis itu merengkut, sambil terus menutup kedua mata dan telinganya rapat-rapat. Balok itu sudah terayun. Namun belum sempat menyentuh Sakura, Angkasa sudah lebih dulu menendangnya sejauh mungkin. Mendapati keberadaan Angkasa, seseorang itu berlari menuju mobilnya. Alih-alih mengejar, Angkasa mengambil posisi setengah jongkok seraya mengusap puncak kepala Sakura. “Are you hurt?” Angkasa bertanya, karena pikirnya keadaan Sakura saat ini jauh lebih penting dari apapun. Mata Sakura terbuka perlahan. “Kak Angkasa?” ucapnya tak percaya, yang kemudian langsung memeluk Angkasa cukup erat. Sampai tak lama terdengar sebuah isak yang teredam tepat di d**a Angkasa. “Aku takut, Kak,” lirih Sakura kembali, di sela-sela isakannya. Untuk pertama kalinya yang Angkasa ketahui, gadis itu menggunakan kata takut yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Angkasa merengkuh balik tubuh mungil gadis itu. Mengecup lalu mengusap puncak kepalanya seraya meletakkan dagu di sana. Angkasa tahu gadis itu pasti sangat ketakutan sekarang. Suhu tubuhnya begitu dingin sampai bergetar. Tetapi Angkasa tetap bersyukur gadis itu tidak apa-apa, dan hanya bisa berharap rengkuhan ini dapat meminimalisir rasa takutnya. “Mulai sekarang biarin saya untuk jagain kamu,” tutur Angkasa, pelan. *** Saat teringat akan sesuatu ketika hendak keluar kamar, seketika Galen kembali berbalik, lalu dengan tegesa-gesa ia membuka laci-laci meja belajarnya satu-persatu. “Lo nyari apa, sih? Sarapan dulu sana, udah gue siapin,” titah Lista yang cukup dibuat heran oleh Galen, ketika pagi-pagi sudah sibuk mengobrak-abrik isi lemari bukunya, seakan memang sedang mencari sesuatu yang begitu penting. Tanpa menoleh, Galen menyahut, “Nggak. Lo sarapan aja duluan.” Komik. Galen sedang mencari komik milik Angkasa, yang dipinjamnya sudah lama, lalu lupa ia kembalikan―walaupun sebetulnya, alasan Galen mencari komik itu sekarang bukan untuk ia kembalikan pada Angkasa. Melainkan untuk menemukan sesuatu yang terselip di tengahnya, dan itu berkaitan dengan seseorang bernama Raya. Namun ketika Galen sedang mengeluarkan separuh buku-bukunya dari dalam lemari, tiba-tiba sesuatu berbentuk lembaran terbang entah awalnya tergeletak di mana. Galen segera mengambilnya. Galen kira itu yang ia cari, tetapi saat Galen lihat ternyata bukan. Itu adalah fotonya bersama Viola, yang seketika membuat Galen langsung membuang napas berat. Karena sejujurnya melihat wajah gadis itu walau hanya melalui sebuah foto saja, rasanya tetap menyakitkan bagi Galen. Dibantu dengan emosi yang tertahan dalam benaknya, Galen meremas foto itu sampai wujudnya tak terlihat lagi dalam genggamannya. Mulai saat ini, mulai detik ini, Galen berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi memedulikan gadis yang sama sekali tidak memedulikan perasaannya itu. Galen tidak mau lagi mengingatnya, apalagi memupuk harapan yang nantinya Galen tahu sendiri semua itu akan sia-sia. “Itu foto siapa?” Seketika Galen menoleh, seketika itu juga Galen baru tersadar kalau ternyata Lista masih berdiri mengamatinya dari ambang pintu kamar. Cepat-cepat Galen kembali membereskan buku-bukunya ke dalam lemari secara asal. Dengan raut wajah yang nampak penasaran akan apa yang tengah dilihat adiknya, Lista masuk sambil mengulangi pertanyaannya, “Itu foto, kan?” “Bukan. Cuma sampah,” lanjut Galen seraya beranjak dari posisinya. Menggiring Lista agar berbalik lagi, keluar dari kamarnya, sambil diam-diam membuang remasan foto Viola ke tempat sampah yang tersedia di kamarnya. Sekalian lewat. *** Tidak ada mata kuliah pagi, tetapi pagi ini Angkasa sudah tiba di kampus, atau tepatnya di gedung Fakultas Sastra. Duduk di selasar, terlihat seperti sedang menunggu seseorang. “Bima,” panggil Angkasa, seraya beranjak berdiri. Ya, keberadaan Angkasa di sini memang bukan untuk menunggu Sakura, melainkan untuk menunggu Bima. Sedangkan Bima yang baru saja datang, berhenti sesaat untuk memenuhi panggilan seniornya yang satu itu. Jika Angkasa ataupun Galen berada di Fakultas Sastra dan mencarinya, sudah pasti ada hubungannya dengan Sakura, pikir Bima. “Ada apa, Kak?” “Hari ini lo ada kelas bareng Sakura?” Betul saja! “Ada, Kak.” “Kelasnya di mana?” “Di blok 2, lantai satu, Kak. Paling ujung. Saya juga mau ke sana,” ucap Bima. “Kalau gitu bareng,” singkat Angkasa, yang beberapa detik sempat membuat Bima terbengong-bengong. Namun akhirnya tidak mau ambil pusing. Bersama Angkasa yang mengekor di belakang, Bima tetap berjalan biasa saja seolah tidak ada apa-apa yang membingungkan dalam benaknya, menuju ruang kelas. *** Tok tok Bima memutar gagang pintu, kemudian membukanya. “Excuse me, Sir,” interupsi Bima. “Come ini,” sahut Mr. Evert selaku dosen yang saat itu sedang mengajar mata kuliah Cross-Culture Understanding, atau bahasa Indonesianya Pemahaman Lintas-Budaya. Keadaan kelas yang semula hening seperti biasa, mendadak berubah ramai luar biasa, ketika tiba-tiba mereka tahu bahwa Bima tidak datang sendiri. Tetapi ada Angkasa yang menyusul di belakangnya. Bukan hanya Sakura, semua yang mengikuti kelas tersebut ikut sungguh benar-benar tercengang dengan kehadiran Angkasa, yang tiba-tiba saja masuk dan memilih tempat duduk tepat di samping Sakura. “Kak Angkasa, kok, ada di kelas ini juga?” bisik Sakura, sementara Mr. Evert sudah kembali lanjut menjelaskan materinya yang sempat tersekat oleh keterlambatan Bima dan Angkasa. “Emangnya nggak boleh?” singkat Angkasa sambil melirik Sakura datar. “Bukannya nggak boleh, sih. Tapi ini kan matkul Sastra, Kak?” Sakura bertanya lagi, lantaran ia memang masih merasa ada yang aneh dengan keberadaan Angkasa di kelasnya saat ini. Masih dengan pembawaan yang datar, sambil mengeluarkan alat tulis dari dalam tas, Angkasa menanggapi lagi, “Saya nggak ada kelas ini. Cuma ada hal yang mesti saya pahami lebih dalam untuk penelitian karya ilmiah, sehingga saya harus mengikuti kelas ini.” “Oh,” Sakura memanut-manutkan kepalanya dengan mulut membulat, karena akhirnya ia mengerti. “Btw, makasih, ya, Kak. Semalem Kakak udah nyelamatin aku.” Sakura menarik senyumnya, namun selang sedetik senyum itu pudar ketika tiba-tiba Angkasa mengetukkan ujung pulpen tepat di keningnya. “Aw!” Sakura meringis. “Kok aku digetok, sih? Sakit tau, Kak.” “Kalau dosen lagi ngejelasin itu diperhatiin. Jangan malah ikutan ngomong!” ketus Angkasa yang membuat Sakura langsung cemberut dan mengubah posisi duduk, sambil mengusap-ngusap kening. Sakura kesal, tetapi ia tidak tahu saja kalau semalam itu sebetulnya Angkasa bukan hanya menyelamatkannya saja. Melainkan juga menjaganya tanpa ia ketahui. Karena yang sebetulnya terjadi, setelah mengantar Sakura pulang dan membayar seseorang untuk membawa sepeda Sakura ke rumah pemiliknya, Angkasa tidak benar-benar pulang. Khawatir kalau-kalau orang jahat itu kembali mendatangi Sakura, saat itu Angkasa akhirnya memutuskan untuk bermalam di dalam mobilnya yang terparkir tepat di depan g**g rumah Sakura sekaligus untuk berjaga-jaga. Sakura tidak tahu itu semua. Karena yang Sakura tahu saat ini hanyalah, Angkasa yang sangat tidak menyukai dirinya, terutama senyumnya. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN