Beberapa perusahaan dimana Zhao Wei melamar pekerjaan bukan perusahaan biasa melainkan dikenal di kancah nasional dan bahkan internasional. Indonesia memang batu loncatannya tapi ia butuh pijakan yang cukup tinggi. Tanda yang ia minta dari Tuhan adalah perusahaan yang memberi kabar tercepat merupakan tempat yang tepat untuknya bekerja. Sesuai doanya, tiga hari kemudian FL Media Inc. memberi kabar bahwa ia dipanggil untuk wawancara kerja.
Ia merasa senang sekali dan berharap bisa langsung diterima. Tabungannya memang bisa dipakai untuk bertahan tanpa pekerjaan selama enam bulan, tetapi lebih cepat bekerja lebih baik baginya. Dengan penuh semangat dan tekad yang bulat, ia meninggalkan rumah kosnya dan pergi ke perusahaan tujuannya di hari berikutnya.
Gedung bertingkat lima di pusat kota Bandung adalah tempat dimana FL Media Inc. terletak. Begitu ia melaporkan diri sebagai pelamar posisi ilustrator, ia diminta untuk menunggu di lobi sampai dipanggil.
Biasanya di masa penantian seperti ini kebiasaannya mengunggah segala aktivitas yang dilakukannya ke i********: tidak pernah dilewatkan. Namun mengingat ia sedang berada dalam misi melarikan diri dari rumah, ia mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, ia mengunjungi akun i********: dan website perusahaan ini agar ia tidak gugup saat diwawancarai nanti.
Hanya saja semua pengetahuan yang sudah dipelajarinya itu menghilang seketika saat melihat sosok yang duduk di belakang meja kerja. Zhao Wei dan Fandy, sang CEO yang turun langsung dalam sesi wawancara saling terbelalak melihat satu sama lain.
“Kamu?” Suara keduanya seolah merupakan gema yang mustahil tercipta di ruangan kedap suara itu.
Sekretaris pribadi Fandy melipat bibirnya demi menahan geli melihat ekspresi bosnya yang sama sekali berbeda dari biasanya. Ini adalah pertama kalinya wajah lelaki itu tidak kaku dan serius. “Apakah saya masih dibutuhkan di sini?” tanyanya berharap untuk segera pergi dan melepaskan tawa.
Fandy berdehem. “Cecilia. Ke sini,” pintanya dengan jari telunjuk melambai singkat lalu membalikkan posisi kursinya menghadap jendela. Ketika wanita itu sampai ke sisinya, ia berbisik, “Kenapa kamu nggak kasih tahu saya namanya sebelum biarin dia masuk ke sini?”
Cecilia menunduk-nunduk. “Kan nggak sempat, Pak Fandy. Waktu saya mau beritahu, Bapak bilang mau ke toilet dan langsung suruh dia masuk,” jawabnya ia setengah membela diri.
Perkataan sekretarisnya benar, maka ia tidak mengelak. Alhasil ia hanya menyuruh Cecilia meninggalkan ruangan lalu membalikkan kursinya lagi menghadap si pelamar pekerjaan.
Melihat hanya ada ia dan sang CEO, Zhao Wei memasang senyuman sedikit terpaksa. Di kepalanya terputar kejadian tiga tahun yang lalu.
|| Tiga tahun lalu ||
“Hey big guy, you’re strong[1].” Dari kejauhan Zhao Wei melihat Sakura menghapus air mata Fandy dengan jemarinya dengan lembut dan tangannya yang lain menepuk-nepuk bahunya, bak seorang ibu menenangkan putranya sehabis menangis.
“I… love you… so much, Cherry blossom.” Demi mendengar kalimat yang diucapkan Fandy dengan penuh keputusasaan, ia menjadi tidak suka. “Makasih banyak udah sempat menghangatkan hatiku.” Pria itu mengangkat sebelah tangan Sakura dan hendak memberikan ciuman.
Pada saat itulah Zhao Wei merasa bahwa Fandy sudah di luar batas. Ia tidak ingin pernikahan sahabatnya dikacaukan. Dengan cepat ia berlari mendekat lalu menggagalkannya. Tangan lentik nan putih miliknya itu menarik tangan Fandy. “It’s enough. Come with me[2].”
Ia membawa Fandy menjauh dari Sakura. Setelah dirasanya cukup jauh, ia berhenti dan memarahi pria cengeng di hadapannya itu. “You’re the worst! Don’t ruin my friend’s happiness with your selfishness. Forget her and move on already.[3]”
“Move on? To who? You? You wish.[4]” Fandy mendengus kasar. Perkataannya itu membuat gadis di depannya tersinggung.
“Listen. I don’t like a selfish guy like you. Even a bit. A real man won’t cry over love that doesn’t belong to him.[5]” Zhao Wei sangat kesal hingga ia berlari pergi meninggalkan Fandy. Ia berharap tidak akan bertemu dengannya lagi.
|~|
Saat ini Zhao Wei sangat membutuhkan pekerjaan dan perusahaan ini adalah yang terbaik dari pilihannya yang lain. Ia berpikir bahwa kejadian itu sudah lama lewat dan seharusnya ia bisa melupakannya. Impian dan karirnya lebih penting daripada gengsinya.
“Jadi, kamu bisa bicara dalam bahasa Indonesia?” Fandy memulai percakapan dengan agak kaku.
Zhao Wei mengangguk. “Ya, benar. Saya sudah belajar selama tiga tahun terakhir ini. Tidak akan ada masalah komunikasi selama hanya Bahasa Indonesia yang digunakan,” jawabnya yakin.
Tampang dingin dan cuek dipertontonkan oleh Fandy. Ia mengisyaratkan gadis di hadapannya ini untuk duduk dengan gerakan tangannya. “Bukan di situ,” cegahnya ketika Zhao Wei hendak duduk di kursi yang ada di depan mejanya.
“Lalu dimana?” tanyanya bingung.
Fandy menepuk kursi miliknya. “Di sini.”
Tercengang dengan permintaan sang pimpinan utama perusahaan ini, Zhao Wei bertanya memastikan, “Anda yakin? S-saya tidak sedang dipermainkan, ‘kan?”
Lirikan tajam dilemparkan kepada sang gadis yang cukup jauh lebih muda darinya itu. “Kamu datang ke sini untuk melamar pekerjaan. Ya?”
Zhao Wei terheran dengan pertanyaan retorisnya itu. “Ya, pasti.”
“Maka kamu harus belajar untuk mematuhi apa yang pimpinanmu minta,” ujar Fandy. Ia menunjukkan gerakan singkat menggunakan telunjuknya antara Zhao Wei dan kursi.
Tidak memiliki pilihan lain, Zhao Wei melakukan instruksi aneh sang CEO. Ia duduk di kursi hitam nan empuk itu dengan sedikit tegang.
“Saya memberimu waktu lima belas menit untuk membuat sebuah ilustrasi. Apapun itu. Hasil akhir yang kamu tunjukkan akan menentukan keputusan perekrutan ini.” Permintaan yang diminta Fandy menghujam jantung Zhao Wei seperti pedang bermata dua. “Saya akan keluar dan membiarkanmu berkreasi. Saat saya kembali, sebaiknya sudah ada karya yang selesai tercipta.”
Dalam hati Zhao Wei merutuki sikap Fandy. Pria itu masih tampak seperti tiga tahun lalu; dingin dan menyebalkan. Tangannya mengangkat tas tangannya, bertindak seolah ingin melempar calon bosnya yang sedang berjalan menuju ke pintu. Namun Fandy tiba-tiba membalik badan dan ia segera menutupi gerakannya barusan dengan menjatuhkan tasnya ke lantai.
“Pintu ini terbuat dari kaca dan bisa memantulkan bayangan.” Fandy menampilkan senyuman kecut di wajah. Batinnya bersuka seolah berhasil menjatuhkan pertahanan lawan.
Hanya menelan ludahlah yang Zhao Wei bisa lakukan. Ia merasa harus berhati-hati lain kali. Pikirannya memberi peringatan bahwa barangkali pria itu juga memeriksa CCTV sembari ia mengerjakan apa yang diminta.
Terbiasa melakukan banyak hal secara impromptu, Zhao Wei melihat ke sekelilingnya. Inspirasi bisa datang dari mana saja, begitulah yang ia yakini. Namun karena waktunya sedikit, ia harus cepat.
Merasa tidak mendapatkan apapun untuk dijadikan referensi, Zhao Wei berniat untuk menggambar latar belakang. Namun tangannya justru tidak sengaja mengarahkan kursor mouse ke sebuah jendela yang menampilkan foto siluet seorang pria. Ia menyukai apa yang dilihatnya dalam sedetik. Ide demi ide pun mendatanginya.
Kelihaiannya menggores papan gambar digital yang terkoneksi dengan komputer terbukti. Dalam waktu lima menit ia menghasilkan sebuah kerangka komplit yang siap diwarnai. Meninggalkan versi asli foto siluet itu, ia menggunakan imajinasinya untuk membayangkan situasi yang sebenarnya. Komposisi warna pastel menjadi pilihannya. Di lima menit terakhir ia memberikan sentuhan finishing yang menjadikan gambar itu hidup.
Zhao Wei tersenyum melihat hasil karyanya. Ia puas dengan gambar yang terpampang indah di hadapannya itu.
“Sudah selesai?” Suara itu mengejutkan Zhao Wei hingga posisi tubuhnya yang santai kini menegang kembali. Ia menatap kedatangan pria tinggi bertubuh tegap dalam balutan setelah biru tua itu.
“Sudah,” jawab Zhao Wei.
Bukannya melihat ke layar komputer, Fandy justru memberi Zhao Wei tatapan intens setelah sampai di samping meja hingga sang gadis merasa kebingungan. “Kamu bilang sudah selesai. Kenapa nggak berdiri?”
Seperti robot yang baru saja menerima instruksi, Zhao Wei pun bangkit dari kursi. Ia bergeser dan membiarkan Fandy lewat lalu duduk di kursinya.
“Hah. Panas,” komentarnya.
Zhao Wei tidak mengerti apa maksud pria itu berkomentar seperti itu. “Maaf?”
“Perempuan yang bikin kursi panas kalau duduk, biasanya punya anak banyak nantinya,” jelas Fandy cepat.
Masih tidak mengerti apa yang Fandy katakan, Zhao Wei menggaruk-garuk kepalanya. “Saya nggak ngerti. Maaf.”
Fandy mendesah kesal singkat. “Lupain aja. Nggak penting.”
Kalau nggak penting, kenapa diucapkan? Batin Zhao Wei meronta penuh rasa kesal. Imajinasi liarnya berpikir kalau saja ia memiliki kekuatan untuk jadi tidak terlihat, ia sudah pasti akan melempar sepatunya kepada pria bermulut pedas ini.
Keadaan menjadi sunyi di ruangan itu. Mata Fandy terpaku memperhatikan karya itu cukup lama tanpa kata terucap. Kedua tangannya mengepal di atas meja.
“Pak? Ada komentar?” Zhao Wei yang tidak sabaran akhirnya membuka mulut. Ia berdiri di sana selama lima menit dalam keheranan.
“Dari mana kamu dapat inspirasi untuk membuat ini?” tanya Fandy tanpa berpaling dari layar komputer.
Pertanyaan itu membuat Zhao Wei berpikir bahwa Fandy tahu ia mendapatkan inspirasinya dari foto yang ada di komputer itu. Padahal ia sudah membuat sesuai versinya dan orang yang melihat atau bahkan membandingkannya tidak akan tahu jika keduanya sama.
“Ide itu muncul begitu saja.” Zhao Wei menjawab dengan sedikit kebohongan. Ia tidak ingin mengambil resiko ditolak nantinya.
“Yakin gitu aja? Menurut saya, nggak mungkin kamu dapat inspirasi yang muncul gitu aja.” Fandy bersikeras. Ia mengerti betul setiap ilustrator tidak akan menghasilkan karya tanpa inspirasi. Ide tidak bisa datang begitu saja.
Tidak ada kesempatan bagi Zhao Wei untuk mengelak. Karyanya memang didasari oleh foto siluet itu. Ia perlu mengatakan yang sebenarnya karena berbohong juga tidak akan membawanya kemana-mana. Lagi pula Fandy bisa jadi memonitor komputernya sehingga ia segala aktivitas yang Zhao Wei lakukan selama lima belas menit yang diberikan itu bisa dilihatnya.
“Ada foto yang saya tidak sengaja lihat di komputer. Saat itulah ide demi ide bermunculan,” jawab Zhao Wei singkat.
“Foto apa?”
Zhao Wei terkejut karena Fandy tidak tahu. “Foto siluet seorang laki-laki.”
Fandy menatap sang gadis dengan dahi berkerut seperti anjing bulldog. Tangannya lincah memainkan mouse yang kemudian memunculkan foto yang dimaksud. “Kamu dapat inspirasi dari sini? Karyamu nggak terlihat mirip sama sekali dengan ini.”
Zhao Wei menggigiti pelan dinding bagian dalam bibir bawahnya. Ia mendongkol sekali mendengar cara pria itu merendahkannya. “Pasti nggak sama. Kalau sama, itu artinya menjiplak, bukan begitu?” Ia mengutarakan pendapatnya dengan yakin. “Tapi Bapak bisa melihat kalau karya ini memang terinspirasi dari foto itu. Silakan mundurkan kursi Bapak dan lihat dari jauh.”
Bersedekap lengan, Fandy melirik pada Zhao Wei sekilas sebelum akhirnya memundurkan kursi berodanya.
“Silakan perhatikan hanya bagian berwarna hitamnya. Maka Bapak seperti bisa melihat foto siluet yang asli.”
Meski enggan, Fandy melakukan apa yang diminta. Ia tercengang ketika benar-benar mendapati siluet yang tidak jauh berbeda terlihat.
“Tetapi karena saya pikir foto siluet aslinya menggambarkan sebuah kepedihan, saya mencoba untuk mengubahnya menjadi sebuah kegembiraan. Komposisi warna pastel dan goresan warna putih menciptakan kesan itu. Jika keduanya disandingkan, maka akan ada cerita yang dihasilkan. Ini seperti transformasi satu orang dari keterpurukan menuju kepada kebahagiaan.” Zhao Wei menjelaskan secara panjang lebar sementara Fandy memperhatikan karyanya.
Ada aliran yang terasa seperti sengatan listrik di dalam mata Fandy. Ia tahu bahwa hatinya telah tersentuh sampai ke intinya hingga ia kembali lagi ke masa itu. Air matanya bisa jatuh kapan saja, karena itu ia harus segera pergi. Ia pun bangkit dari kursinya.
“Tahap seleksi selesai sampai di sini. Silakan keluar dan Anda akan mendapatkan kabar lebih lanjut dari sekretaris saya.” Fandy mengulurkan tangannya ke arah pintu seolah mengusir gadis itu keluar begitu saja.
Zhao Wei yang kebingungan akan reaksi sang CEO hendak mengatakan sesuatu tapi mengurungkan niatnya saat melihat bahwa Fandy duduk kembali di kursi. Ia pikir bahwa pria ini tidak mau diganggu lagi hingga ia mau tak mau pergi meninggalkan ruangan itu.
Kalau sampai aku nggak dapat pekerjaan ini, artinya Tuhan mau menghindarkan aku dari laki-laki tanpa perasaan itu. Zhao Wei mengembuskan napas kesal yang singkat begitu menapakkan kaki di luar ruangan. Ia pasrah saja dengan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya.
[MWB]
Keterangan:
[1] Hei, pria besar. Kamu kuat
[2] Cukup. Ayo ikut aku.
[3] Kamu parah! Jangan rusak kebahagiaan temanku dengan keegoisanmu. Lupakan dia dan lanjutkan hidup.
[4] Move on? Ke siapa? Kamu? Mimpi aja.
[5] Dengar ya. Aku nggak suka pria egois seperti kamu. Bahkan sedikitpun nggak. Pria sejati nggak akan menangisi cinta yang bukan miliknya.