Bab 5: Diselamatkan oleh Dewa Gairah

1535 Kata
Janu. Saat aku memasuki rumah dan melihat situasi Bella, aku menjadi murka. Aku telah mendengar permintaan tolongnya ketika aku membuka pintu depan, tapi setelah aku melihatnya barulah kusadari betapa putus asanya dia menginginkan agar seseorang turun tangan. Pemuda itu menibannya, dan dengan setiap gerakan yang dibuatnya, aku bertambah marah. "Apa-apaan ini?" bentakku, mataku menyipit memandang pria yang berada di depanku. Aku ingin sekali mencabik-cabiknya dan menyiksanya sampai mati. Namun, aku tidak tahu mengapa aku ingin sekali melakukan hal tersebut. Untuk menghukumnya, ya, tentu aku akan melakukan hal itu untuk wanita mana pun. Tapi membunuhnya ... hal itu terasa lebih pribadi. Aku melihat pemuda itu menoleh ke arahku dan mencibir, "Tidak usah ikut campur, pak tua." Pak tua?! Apa dia sedang cari mati? Anak-anak zaman sekarang sudah tidak memiliki rasa hormat lagi kepada yang lebih tua. "Maaf?" Aku mencibir, "Kurasa kamu harus pergi ... sekarang." Dia tertawa, dan mendengar suara tawa itu, aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama sampai dia menurut. "Aku sudah memberitahumu ... " Sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, aku sudah mencengkeramnya dan menghempaskannya ke lantai. Tanganku mencekik tenggorokannya dan aku memandangnya dengan tajam. "Aku pemilik rumah ini, dan jika kamu tidak pergi sekarang, aku akan memastikan bahwa masa depanmu di Kota Semarang akan berakhir. Apakah kamu mengerti?" Rasa takut memenuhi mata pemuda itu saat aku menatapnya. Dia menyadari bahwa dia telah membuat kesalahan, dan dia tidak bisa menyangkal perbuatannya. Sebelum dia bisa melanjutkan perkataannya, Tomi dan Zainal memasuki dapur dan menyeret pria itu pergi. Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan sudah tahu apa yang harus dilakukan tanpa harus kuperintah. Aku ingin tahu siapa pemuda itu, dan siapa keluarganya. Mereka semua akan bertanggung jawab atas sikap tak hormat yang ditunjukannya tidak hanya kepadaku, tetapi juga kepada Bella. Bella ... Saat aku berbalik menghadapnya, aku melihatnya berlutut dan mencoba mengatur napas. Dia terguncang dan tampaknya berusaha untuk menenangkan diri. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku saat mata kami bertatapan, dan dia berdiri dengan gemetar. Tanganku terulur untuk membantunya berdiri dan dia mengangguk. "Kurasa begitu," dia menghela napas. "Maaf sudah merepotkanmu, Pak Janu ... " "Berapa kali aku harus memberitahumu untuk memanggilku Janu?" Tawa lembut yang keluar dari bibirku membuat pipinya merona. Aku membuatnya tidak nyaman, tapi demi Tuhan, setiap kali dia melakukannya, aku ingin sekali menciumnya. "Maafkan aku ... Janu." Dia berbisik, "Kurasa aku harus pergi." Sambil menyenggolku sedikit untuk lewat, dia berjalan menyusuri lorong, tapi bahkan saat melihatnya pergi, aku tidak ingin dia meninggalkanku. Pikiran-pikiranku mengenai Bella sangat salah, namun, berdekatan dengannya terasa tepat. ******** Bella. "Tunggu." Suara Janu menghentikan langkahku, dan saat aku berbalik, aku melihatnya mendekat ke arahku. Tangannya mengepal, dan rahangnya mengencang sehingga membuatku gelisah. "Ada apa-" "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi jika kamu mungkin saja terluka. Apakah kamu yakin kamu baik-baik saja?" Kata-katanya bukan yang kuharapkan, tapi hatiku terharu mengetahui bahwa dia peduli. "Aku baik-baik saja, tapi terima kasih telah memastikan. Kamu tidak harus melakukannya." Alis Janu berkerut, menatapku dengan bingung. "Mengapa aku tidak harus melakukannya?" Dengan tergagap, aku mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk diutarakan. Aku tiba-tiba takut mengatakan hal yang salah di depannya. "Aku tahu kekhawatiranmu hanyalah karena aku adalah teman putrimu. Karena aku sangat menghargaimu yang telah menyelamatkanku dari orang itu ... aku tidak ingin kamu merasa berkewajiban untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja-" "Aku tidak memandangmu sebagai suatu kewajiban." Tanggapannya yang cepat membuatku kaget, dan ketika jarak di antara kami semakin sempit, aku menyadari bahwa punggungku menempel ke dinding. "Aku ingin memastikan bahwa kamu selalu baik-baik saja." "Terima kasih." Tak banyak yang bisa kukatakan, tapi ketika aku melihatnya, aku tahu ucapannya tulus. "Aku sangat menghargai tindakanmu untuk menghentikan orang itu." Dia melangkah ke arahku, memelukku, dan menarikku ke dadanya. Aku belum pernah dipeluk oleh pria ini sebelumnya, tapi pelukan di antara kami berdua terasa tepat. "Janu ... " bisikku pelan saat dia memelukku lebih lama dari yang seharusnya. Aku mendengar jelas saat dia menghirup aroma rambutku dan dia perlahan menjauhkan diri dan menatapku. "Tidak ada wanita yang pantas diperlakukan seperti itu, Bella. Seperti yang sudah kukatakan, aku akan selalu memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Karena kamu pantas diperlakukan seperti ratu. Bukan diperlakukan seperti barang." Kata-katanya mengejutkanku, dan sebelum aku bisa merespon, dia berbalik dengan cepat, mengepalkan dan melepaskan tinjunya, dan berjalan menyusuri lorong menuju kantornya. Aku tidak yakin apa yang baru saja terjadi, tapi ada satu hal yang kuyakini. Janu telah menyelamatkan hidupku dengan caranya sendiri. Aku terus menatap lorong itu lama setelah pintu kantornya tertutup. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, tapi sambil berdiri, aku perlahan-lahan berjalan menuju tangga dan berpapasan dengan Tania yang sedang menggoda seorang pria. "Tania," kataku dengan tenang sambil mencoba menahan diri, "bisakah kita bicara?" "Ya Tuhan!" serunya sambil berbalik menghadapku. "Dari tadi aku bertanya-tanya kamu ada di mana. Apakah kalian berdua cocok seperti yang kuharapkan?" Ada seringai di wajahnya saat dia mengedipkan mata, yang membuatku bergidik dengan amarah. Cocok? Apakah dia sedang bercanda? "Eh, tidak. Yang jelas kami tidak cocok," aku mendengus. Tertegun oleh ucapanku, dia memperhatikan sekeliling sebelum memandang pria di sisinya, "Nah, di mana dia?" Benci. Pada saat itu, tidak ada hal lain yang kurasakan selain kebencian kepada Tania dan tindakannya. Ini sepenuhnya salahnya karena dia tidak pernah berusaha melupakan hal-hal yang terjadi atau menurut ketika orang lain mengatakan tidak. Sambil berkacak pinggang, aku menggelengkan kepala. "Yah, mengingat ayahmu mengusirnya dari rumah, aku tidak tahu dia ada di mana sekarang." Temannya tampak bingung dan dengan cepat mengeluarkan ponselnya, sudah pasti untuk menelepon b******n yang berusaha melecehkanku tadi. "Bella," Tania berkata dengan cepat, sambil melangkah mendekatiku. "Apa yang terjadi? Kupikir kamu menyukainya." "Apa kamu sedang bercanda denganku?" Aku terkesiap. "Dia orang bodoh yang tidak mengerti arti kata 'tidak'. Tak bisa kupercaya kamu bilang padanya bahwa aku menyukainya setelah aku menolak tindakan mak comblangmu itu." Tiba-tiba, pria itu meletakkan ponselnya dan memberi isyarat agar yang lain pergi. Tania memandang sekeliling, terkejut dengan situasi yang terjadi sembari berlari mengikuti mereka keluar dari pintu depan. Menyadari bahwa dia lebih khawatir melihat orang-orang tersebut pergi dibanding mengkhawatirkan apa yang terjadi padaku ... Itu sangat memilukan mengingat aku adalah temannya. Sambil menaiki tangga dengan marah, aku berjalan menuju kamarku, tapi sebelum aku sempat menutup pintu, Tania tiba-tiba berada tepat di belakangku. "Apa yang terjadi? Mereka bilang kamu menyuruh ayahku mengusirnya dari rumah tanpa alasan apa pun!" dia berteriak menatapku seolah-olah akulah yang telah kehilangan akal sehat. "Apa kamu serius?" jawabku dengan tidak percaya. "Dari sekian tahun kamu mengenalku, bagian mana yang masuk akal bagimu? Dia menyerangku, Tania. Dia mencoba melecehkanku setelah aku mengatakan kepadanya berulang kali bahwa aku tidak tertarik." Sambil menyilangkan kedua lengannya di depan d**a, dia mencibir padaku. "Aku tidak percaya. Dia pria yang sangat baik dan berasal dari keluarga yang sangat kaya." "Begitukah?" Aku tertawa. "Kalau begitu mengapa kamu tidak bertanya saja kepada ayahmu, karena dia mendengar percakapan itu dan bisa memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi." Seketika, Tania keluar dari kamar, sambil membanting pintu kamarku. Aku tidak peduli ke mana dia pergi saat itu. Dia telah dengan jelas menunjukkan bahwa dia lebih memercayai teman-teman bodohnya dibanding diriku. Menurutku, itu adalah batas yang seharusnya tidak dia lewati. Semakin kulihat bagaimana persahabatan kami berjalan selama bertahun-tahun, semakin kusadari pula bahwa dia telah berubah, ke arah yang lebih buruk. Dia lebih egois, dan sikapnya yang selalu ingin dituruti semakin konyol. Menjijikkan sekali. Tapi bagaimana pula, kami berdua tumbuh dengan gaya hidup yang sangat berbeda. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah memutus hubungan antara kami berdua, atau hanya memaafkannya dan belajar untuk menjaga diri sendiri lain kali. Rasa bersalah dan penderitaan yang dalam muncul di dalam dadaku selagi gelombang kegelisahan menyelubungiku. Aku tidak ingin kehilangan Tania bahkan walaupun sikapnya buruk, karena aku tahu orang macam apa dia, dan ini tidak seperti dirinya. Sambil merenungkan pilihanku, aku mengerang dengan frustrasi dan berjalan ke pintu untuk berbicara dengannya, tetapi setelah aku membukanya, aku melihat Tania berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. "Bella ... " Dia terisak. "Dia sudah memberitahuku. Aku sangat menyesal karena tidak memercayaimu. Aku sangat menyesal karena telah menyebabkan hal itu terjadi. " Yah, sial. Bagaimana bisa aku marah padanya sekarang? Aku ingin memaafkannya, tapi di saat yang sama, aku tidak ingin dia meminta maaf hanya karena merasa bersalah. Itu bukan permintaan maaf yang kuharapkan. "Tania, sudah kubilang tidak," aku menarik napas. "Kenapa kamu tidak mendengarkanku saja? Setelah segala hal yang terjadi dengan Cakra, kamu tahu bagaimana perasaanku mengenai berhubungan dengan pria lain." Sambil menganggukkan kepalanya, dia mengeringkan air mata. "Aku tahu. Aku telah membuat kesalahan, Bella. Aku tidak menyangka Abas seberengsek itu. Sejujurnya, kamu seharusnya menghajarnya. " "Ya, aku tadinya akan menghajarnya, tapi tentu saja, ayahmu datang dan merusak rencanaku," godaku, memutar bola mataku. "Lain kali, aku akan mencoba melakukannya sebelum ayahmu sampai di sana." Dia tertawa bersamaku sembari duduk di tepi tempat tidurku. "Aku hanya ingin kamu bahagia lagi, Bella. Aku tidak ingin kamu menghindari dunia percintaan hanya karena Cakra." Ada ketulusan dalam kata-katanya yang membuatku ragu dalam menanggapinya. Aku belum pernah mendengarnya mengatakan hal seperti itu kepadaku. Biasanya, dia dengan cepat mengalihkan topik mengenai hal-hal buruk dan menyuruhku untuk melupakannya. Namun, di sinilah dia duduk, dengan kondisi mabuk dan menangis di kamarku padahal seharusnya aku yang merasa kesal. Mungkin, dia masih gadis yang sama dengan yang dulu kukenal. Namun aku belum siap untuk bersikap lengah. Firasatku menyuruhku untuk berhati-hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN