2

1293 Kata
Karen duduk di tepi ranjang, memandang Azada yang berdiri bersandar pada balkon kamarnya. Menyadari tidak ada yang terjadi dengan mereka karena Karen lebih dulu berlari dan tidur di atas ranjang sembari memaksakan diri memejamkan matanya. Dan Azada hanya bisa menatapnya tanpa bicara. "Matahari masih belum bangun, tidurlah lagi," Azada berbicara melalui lirikan matanya. Dia tahu Karen sudah bangun sejak tadi dan duduk menatapnya dalam diam. Azada sudah terlatih bertahun-tahun mengetahui sekitar sekecil apa pun itu. Entah dari penciuman bahkan perasaan peka. "Aku akan pergi ke kamarku." Karen bangun dari tempat tidurnya. Merapikan kimono tidurnya yang berantakan karena tidak ingin melihat tatapan aneh dan gossip yang gempar di istana jika menemukan dirinya keluar dalam keadaan berantakan. Karen mendengar bunyi pintu terketuk. Sekali, dua kali ketukan agak keras membuatnya melompat dari ranjang dan bersembunyi di balik kelambu tipis. Azada mengerutkan dahinya melihat tingkah gadis itu. Memilih mengabaikannya, Azada diam menunggu si pengetuk masuk. "Yang Mulia." Itu suara Zidan! Karen menutup mulutnya dengant tangannya sendiri dan tetap bersembunyi di balin kepala ranjang yang besar dengan kelambu-kelambu tipis membantu melindunginya. Jenderal Kelas Satu itu tidak boleh tahu Karen ada di kamar raja. "Semua sudah siap. Pasukan pertama akan berangkat setelah komando diturunkan." Zidan berbicara saat Azada mendekatinya dan mengangguk. Pria berambut kuning itu menunduk saat Azada melalui tubuhnya dan duduk di karpet merah tebal. Membaca gulungan surat. "Aku akan siap. Kalian bisa menunggu di ruang pertemuan." "Baik, Yang Mulia." Zidan menunduk memberi salam. Mata birunya melirik sesuatu dari balik kelambu yang sedikit bergoyang. Balkon terbuka lebar, tetapi angin biasanya tidak mampu menyentuh kelambu-kelambu itu jika tiupannya ringan. "Kau bisa pergi." Zidan menunduk sekali lagi merasa bersalah pada Sang Raja yang kini menatapnya datar. Memilih untuk menutup rapat-rapat keingintahuannya, Zidan segera beranjak pergi. Menutup pintu dan pergi menunaikan tugasnya yang lain. "Keluarlah." Karen mengintip dari balik celah kepala tiang ranjang yang kokoh. Mendapati tidak ada lagi sosok Zidan ada di ruangan, dia segera berdiri. Mengusap kimononya dan menatap Azada. "Aku harus kembali, Yang Mulia," Karen menunduk, memberi penghormatan sama seperti yang Zidan lakukan sebelumnya. Tidak mendapat respon apa pun, Karen segera berbalik, membuka pintu dan menutupnya sepelan mungkin. "Aku tahu kau di dalam." Karen melompat, hampir terjatuh membentur lantai kayu yang dingin ketika dia dikejutkan oleh suara sang Jenderal yang kini tersenyum tanpa bersalah tengah bersandar pada dinding lorong yang sepi. Karen menatap Zidan sebelum akhirnya menghela napas. "Simpan rahasia ini." Alis Zidan bertaut. "Kenapa harus?" "Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku tidur di kamar Raja." "Itu tidak akan berbahaya untukmu," Zidan menatap Karen dari jarak yang cukup. Tidak ingin membuat sang penguasa marah karena menyentuh miliknya. "Kau berasal dari klan terpandang dan besar. Mereka semua menghormatimu." "Aku tidak butuh penghormatan atau apa pun itu," suara Karen merendah. Dia menatap Zidan tajam. "Aku di sini untuk adikku." Zidan menatap Karen dengan pandangan tak terbaca. Dahinya berkerut sedang memikirkan sesuatu. Zidan jelas tahu mengapa Karen tertahan di istana ini tanpa dia mau. Seperti sumpah Azada yang akan membawa adiknya, begitu juga dengan pengorbanan Karen untuk tetap di sini. Menuruti apa yang Azada minta. "Biarkan mereka menganggapku bangsawan rendah yang hina. Aku tidak peduli," Karen menatap jauh pada lorong yang gelap dengan lilin-lilin kecil di sepanjang dinding sebagai penerangan. "Aku minta padamu. Tetap rahasiakan ini. Bagaimana pun juga, aku tidak akan pernah menjadi yang tertinggi dan terbaik di istana itu." Karen tersenyum setelah mengakhiri ucapannya dan berjalan pergi. Meninggalkan Zidan yang kini terdiam. . . "Putri Karen datang." Suara dayang berambut hitam itu memecah bising yang ada di ruang makan Istana Bunga. Pintu terbuka lebar dengan dua prajurit bertopeng hitam dan katana di belakang punggung mereka memegang gagang pintunya. Karen masuk ke dalam, diikuti Hana yang mengikutinya di belakang. Tatapan para selir kini mengarah padanya. Selir Parviz mendengus melihat Karen yang datang dan memutari meja makan mencari tempat duduknya. Iris hijaunya tidak sengaja melihat Putri Gazala yang sedang tersenyum manis padanya, membuat sudut bibir Karen tertarik dan segera dia memilih tempat duduk di seberang wanita itu. "Senang melihatmu lagi, Putri," sapa Gazala. Karen melirik Hana yang melipat kain dan membalik piring. Karen mengangguk dengan senyum kecil. "Kau sudah terlihat lebih baik." "Terima kasih. Ini karena dirimu," Karen hanya tersenyum. Hana menunduk saat Nisaka masuk melalui pintu belakang dimana dapur Istana Bunga ada di balik pintu itu. Tatapan Karen mengikutinya. Dan ketika iris perak itu bertemu tatap dengannya, Nisaka menunduk memberi salam dengan senyum kecil yang manis. Membuat Karen ikut tersenyum. "Apa di antara kalian ada yang tidur di Istana Merah semalam?" Karen menoleh pada Selir Parviz yang mendapat kursi terbaik di antara lainnya. Kursi makan wanita itu berlapis emas dengan bantalan yang nyaman dan sulaman dari sutera mahal berwarna merah pekat. Karen menatap aksesoris yang menempel pada tangan dan rambut sang selir. "Tidak ada, Selir Parviz. Kami tidur di kamar kami masing-masing." Selir Parviz tersenyum senang. "Bagus." "Kurasa raja tidak lagi tertarik dengan bangsawan rendahan di sini," gumam Selir Parviz yang didengar semua orang di dalam ruangan. Ketenangan yang menyiksa itu kini bertambah seiring tatapan takut dan kecewa para selir lainnya ketika mendengar ucapan Selir Parviz yang mereka hormati itu. "Kau masih selir di sini. Tidak ada bedanya dengan mereka," Karen menatap Selir Parviz dengan tatapan dingin. "Berbicaralah yang baik. Bagaimana bisa seseorang yang menjadi panutan seperti dirimu berbicara sombong?" Selir Parviz menatap Karen tak kalah tajamnya. Dia meremas pisau di tangannya dengan kuat. Membuat para dayang menatap mereka dengan tatapan bingung dan Nisaka yang tengah mengulum senyumnya di dekat pintu dapur. "Ah, benarkah?" Selir Parviz tersenyum. "Aku memang selir. Tetapi posisiku dengan kau dan mereka semua berbeda," dengan sedikit seringai. "Aku kesayangan raja dan sebentar lagi kursi permaisuri itu akan jatuh ke tanganku." Karen mendecih. "Percaya sekali dirimu," memotong daging dengan gerakan halus. "Kursi permaisuri bisa di dapatkan siapa saja," Karen memakan potongan daging itu dan mengunyahnya dengan senyum samar. "Bahkan dengan statusku yang sebagai bangsawan rendahan, aku bisa mendapatkannya." Hana menatap Karen dengan pandangan tak percaya. Dia belum sempat melindungi sang putri karena Selir Parviz mendekati kursinya, melayangkan tangannya hingga pipi yang terpoles riasan itu memerah sempurna. Putri Gazala menutup mulutnya. Menatap tak suka pada Selir Parviz yang saat ini tersengal karena menahan marah. Mata merahnya nyalang menatap benci pada wanita berambut merah muda yang mengusap pipinya, masih diam di tempatnya. Hana menunduk, menatap cemas pada Karen yang kini mengangkat kepalanya. Tersenyum pada Selir Parviz. "Lakukan saja apa yang kau mau." Dan tamparan itu lebih keras dari sebelumnya. Membuat sudut bibir Karen berdarah dan dirinya terjatuh dari kursi tempatnya duduk. Membuat wajah selir lainnya terkejut dan takut secara bersamaan. Hana mencoba mendekat, membantu Karen berdiri tetapi Karen mengangkat tangannya, membiarkan Hana diam di tempatnya. "Kau akan mendapat balasannya," Karen berdiri dari lantai dan keluar ruangan. Meninggalkan Selir Parviz yang menatapnya dengan kedua tangan terkepal. . . "Sudah kuduga," Ezra memijat kepalanya yang terasa pening. Akhir-akhir ini pikirannya terpecah hingga tidak fokus pada satu masalah saja. Ini sangat mengganggunya. "Pasukan barat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Maritz yang maju ke perbatasan. Misi kita dengan mendanai mereka senjata dan obat-obatan gagal. Mereka kalah telak." Ezra menghela napasnya. Memperbaiki jubahnya dan berdiri dari singgasananya. Memutari peta yang menjulur bebas di tepi dinding dengan beberapa noda merah dan hitam di titik-titik tertentu. "Itu artinya sebentar lagi Maritz akan menyerang kita," Ezra menatap gambaran peta itu dalam-dalam. Menyadari jarak diantara wilayahnya dan wilayah Kerajaan Maritz tidak lagi jauh terlihat. Dia mendesah berat. Mau tak mau ini terjadi. Perang yang redam selama dua puluh tahun itu akan terjadi. "Jika ini balas dendam ... terdengar konyol," Ezra menatap para dewan dan petinggi kelas satu yang duduk menatap dirinya dengan seksama. "Maritz Azada seharusnya melakukan ini dari dulu untuk membunuh keluargaku." Saveri menatap Ezra dengan pandangan dalam. "Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku, Yang Mulia." Ezra menoleh, menatap Saveri yang kini mengeluarkan pendapatnya dengan jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN