2. Those Eye

1218 Kata
Alice Point of View Besok, aku akan kembali di kota kelahiranku. Kota dimana hidupku berjalan bergelombang seperti ombak. Kusiapkan hatiku malam ini menghadapi kenyataan. Kenyataan pahit yang pernah aku lewati dan harus kuarungi lagi. Mike benar, aku tak bisa kabur dari kenytaan. Tapi, aku mencoba untuk mengantisipasi hatiku. Aku tak mau jatuh lagi. Aku tak mau kehilangan lagi. Sudah cukup bagiku kehilangan kedua orang tuaku dan suamiku dalam waktu yang cepat. Dan aku tak mau ada yang ketiga kalinya... Kulihat putriku yang baru terlelap di pangkuanku. Kuusap lembut rambutnya, "Jace, maafkan mommy. Mom belum bisa mengatakan yang sebenarnya padamu", lirihku. Kucium pipi merah Jace, kuhirup aroma wanginya seakan aku bisa menghirup aroma Jasper darinya. Tak terasa air mataku menetes, "Permisi...", Dengan cepat kuusap air mataku ketika mendengar suara lembut seorang gadis. Aku menoleh kebelakang mendapati Kimberly, pengasuh putriku berdiri diambang pintu. "Ada apa, kim?", tanyaku. Kimberly menatap kakinya yang bergoyang membuatku mengerutkan kening. Dan aku baru mengerti, "Masuklah kim, tak apa...", kataku. Perlahan langkah Kimberly membawanya masuk kedalam kamarku. Kepalanya menunduk dalam. "Ada sesuatu kim?", tanyaku sambil mengangkat Jace dan kubaringkan tubuh kecilnya diatas ranjang. Kimberly mengangguk, "Ya, nona Alice", Aku menggeleng, "Jangan memanggilku nona, kim. Aku sudah menganggapmu seperti adikku", "Maaf Alice", balasnya. Aku memegang bahunya dan tangan sebelahku kupakai untuk mengangkat wajahnya. "Kenapa wajahmu sedih?", Kimberly menatapku gusar. "Aku mendengar obrolanmu dengan Mike tadi siang. Benarkah kau akan kembali ke Amerika besok?", Aku menelan ludahku, kenapa aku begitu bodoh dan lupa memberitahukan Kimberly akan hal ini? Perlahan aku mengangguk, "Ya kim. Aku akan kembali ke Amerika besok. Maaf aku lupa memberitahumu karena pikiranku sangat kacau", Aku membalikan tubuhku dan melangkah kearah meja disamping tempat tidur. Kuambil sebuah amplop putih berisikan hak milik Kimberly. "Ini gaji dan bonusmu bulan ini, kim", Kusodorkan amplop itu padanya. Kim mendorong amplop itu. Dia menolaknya. Ia menggeleng, "Aku tak mau menerima uang itu, Alice", "Kenapa?", "Aku ingin ikut denganmu ke Amerika", jawabnya. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Kimberly ingin ikut denganku ke Amerika? Apa aku tak salah dengar, batinku. "Kalau kau ikut denganku. Bagaimana dengan ayahmu kim?", Kimberly menggeleng, setitik air mata mengalir melewati pipinya. "Kenapa kau menangis?", tanyaku lembut. Kuraih tubuh Kimberly kedalam pelukanku. Kuusap punggungnya untuk menenangkannya. Kimberly terisak pelan. "Sssttt... Everything will be okay, kim", Kimberly mengangguk pelan di pelukanku. Beberapa menit aku memeluknya membuatnya lebih baik. Aku mulai melepaskan pelukanku dari nya. "Kau mau bercerita padaku? Aku harus dengar alasanmu kenapa kau mau ikut denganku ke Amerika", kataku pelan sambil menuntunnya duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang. "Ibuku meninggal saat aku berumur 18 tahun. Ia meninggal karena stress akan hutang-hutang ayahku yang semakin hari semakin bertambah. Meski aku masih kecil, aku ingat jelas bahwa ayahku dulu adalah orang yang baik. Menyayangiku dan ibuku. Hingga suatu malam, aku tahu alasannya kenapa ayahku menjadi pemabuk dan penjudi", Kimberly berusaha menahan air matanya. Ia menarik napasnya dalam. Aku hanya bisa menepuk bahunya lembut. "Alasannya itu karena aku bukanlah anak kandung ayahku. Aku anak haram ibuku dengan pria lain, Alice", Aku tertegun mendengarnya. Pasti kehidupan Kimberly jauh lebih sulit dibandingkan denganku. Mengetahui kenyataan bahwa dirinya adalah anak haram pasti menyakitkan. Aku terdiam sejenak sambil membiarkan Kimberly mengatur napasnya. Aku berdehem pelan, "Kim, apa yang kau pikirkan tentang ku saat kau pertama kali bekerja di tempatku?", Kimberly menatapku, ia mengangkat kedua bahunya. "Aku tak punya pemikiran apa-apa. Hanya saja..." ucapnya menggantung. "Hanya saja?", tanyaku penasaran. "Aku bertanya-tanya dimanakah suamimu, Alice?", Aku tersenyum simpul. "Aku pikir kau mengira aku seperti ibumu", kataku, "Jangan tersinggung", tambahku cepat. Kimberly menggeleng, "Aku tidak tersinggung", balasnya. Aku menunduk sambil memainkan jari-jari tanganku. Lalu aku menoleh pada Jace yang terlelap nyenyak di atas ranjang yang empuk. "Namanya Jasper Reid. Dia pria tampan dan berhati malaikat", Aku tersenyum mengingat betapa miripnya Jasper dan Jace. "Maaf bila aku lancang, Alice. Apakah dia meninggalkanmu?", Aku mengangguk, "Ya, dia pergi meninggalkanku saat beberapa minggu setelah kelahiran Jace", -read : Jace - Jeysi Kimberly menepuk-nepuk bahuku pelan. Tepukan tangannya membuat air mataku menetes dari ujung mataku. "Apakah itu alasannya kau lari ke Amsterdam?", tanya Kim pelan. Aku mengangguk, "Terlalu sakit untuk mengenang masa lalu. Ketika aku mengingatnya, semakin jatuh diriku ke jurang terdalam. Tapi, jika aku menyangkalnya, penyangkalan itu akan menggerogoti tubuhku sendiri. Hatiku...", Kimberly menghela napasnya, "Lalu apakah kau siap besok kembali ke Amerika lagi?", Aku menggeleng, "Aku sebenarnya tak siap, Kim. Tapi, Mike menyadarkanku bahwa aku tak bisa selamanya berlari dari masa lalu. Ada kalanya dimana kita harus menyerah dan maju", "Apa kau takut bertemu dengannya lagi?", tanya kim, "Kalau dia muncul dihadapanmu pukulah langsung", Aku tersenyum padanya. "Aku tak bisa memukulnya, kim", "Kenapa? Karena kau masih cinta padanya?", Aku mengangguk, "Aku masih mencintainya. Tapi, bukan itu alasannya kenapa aku tak bisa memukulnya", ujarku. Kimberly mengangkat alisnya bingung. Aku menarik napasku dan masih berusaha tersenyum padanya. "Jasper sudah meninggal karena tumor otak", jawabku pelan. "Oh my...", Kimberly tersentak kaget. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Im so sorry Alice. I didn't mea-", "Tak apa kim. Bukan salahmu", kataku. Kami saling terdiam lagi. Memikirkan apa yang ada dipikiran kami masing-masing. Dan untukku, aku benar-benar takut akan menghadapi kenyataan esok. Aku akan kembali ke Amerika dan harus bisa melewati cobaan berat itu lagi. Hatiku masih belum rela melepas kepergian Jasper yang sangatlah cepat. Bahkan yang ku harapkan saat menikah dengannya adalah hidup bahagia setelah menikah. Membesarkan anak bersama, menjaga anak kita, dan melihat mereka tumbuh jadi anak yang membanggakan orang tua. Tapi, semua harapanku sirna seiring kepergiannya. Bahkan saat itu dibenakku hanyalah aku ingin ikut bersamanya. "Alice?", "Ya?" "Boleh aku bertanya lagi?", Aku mengangguk, "Tentu, Kim. Kau boleh bertanya", jawabku sambil tersenyum padanya. Kulihat Kim tersenyum simpul. "Seperti apa wajah suamimu itu?", Aku mengerutkan keningku, "Bukan bermaksud apa-apa", ralat Kimberly cepat. "Aku hanya penasaran kenapa Jace hanya mirip denganmu pada rambut dan bibir saja?", Aku terkekeh pelan, "Saat kau ikut aku ke Amerika. Aku akan menunjukanmu fotonya", jawabku. "Kau meninggalkan semua barang-barang kenangannya?", Aku menghela napasku dan mengangguk, "Ya, aku akan selalu menangis bila melihat fotonya. Melihat Jace saja sudah cukup bagiku. Dia sangat mirip Jasper membuatku sangat sulit merelakannya", Kimberly meraih tanganku. Digenggamnya erat tanganku. Diberikannya suasana hangat membuat hatiku sedikit lebih dingin. Ia menatapku, mata abu Kimberly yang indah mengingatkanku pada seseorang. Mata abu... Lucas Graves. Senyum diwajahku perlahan memudar. Kilatan-kilatan cahaya memerihkan mata terlintas begitu saja. Seperti mimpi yang sangat nyata, Wajahnya mulai terlintas di otakku beriringan dengan wajah Jasper dimalam itu. Semuanya begitu cepat membuat kepalaku mendadak sakit. Sangat sakit. Dengan cepat aku membuang wajahku kearah lain dan menarik tanganku dari genggaman Kim. Tanganku mulai bergetar bersamaan dengan bibirku, napasku tak teratur. "Alice?", panggil Kim. Aku mengangkat sebelah tanganku untuk meraih bahu kim. "Ai-Air..", ujarku tersendat. Kim dengan cepat bangkit dan berlari kearah dapur untuk mengambilkanku segelas air. Sementara itu, aku bangkit dari sofa dan melangkah cepat kearah meja rias. Kupegang tepian meja berbahan kayu tebal itu dengan cengkraman erat. Kenapa aku harus merasakan sakit kepala jika aku mengingat Lucas? Pikirku. Aku membuka laci di bagian tengah dan mengambil sebuah botol kaca berisikan obat pereda nyeri. Aku mengambil dua butir obat itu dan langsung ku telan saat aku melihat Kim masuk dengan wajah paniknya. Ia menyodorkanku air itu dan membantuku minum membuatku bernapas lega. Aku mencoba mengatur napasku membiarkan obat itu bekerja. Hingga beberapa detik aku terdiam, tubuhku mulai lemas dan aku tak ingat apapun setelah itu....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN