Bab 4. Curiga

1594 Kata
*** Aku kembali ke kamar sebentar setelah menyelesaikan sarapan kami. Semua piring sudah kembali ke raknya karena sudah aku cuci. Mas Azam sendiri duduk santai di depan tv. Sudah kubilang kan kalau suamiku itu masuk shift sore hari ini. "Mas, aku berangkat dulu ya," pamitku pada Mas Azam setelah kami bertemu lagi di ruang tamu. Mas Azam hanya mengangguk singkat. Tanpa pelukan apa lagi kecupan di keningku seperti yang suamiku itu lakukan pada Mbak Lia. Aku tidak iri, sungguh, bukan itu yang membuatku merasa teramat kecil. Hanya saja, aku sedikit berharap karena bagaimanapun juga statusku sama seperti Mbak Lia. Aku juga istrinya. Sudahlah, tiada guna memikirkan ketidakmungkinan akan sikap manis Mas Azam padaku. Bisa-bisa diriku terlambat datang ke sekolah bila terus memikirkan hal itu. Cukup kusalimi Mas Azam lalu mengucap salam. Aku meninggalkan rumah bercat putih itu dengan jalan kaki. Berharap di depan gang nanti bisa menemukan angkot seperti hari kemarin. Syukurlah, beberapa saat menunggu, angkotku akhirnya datang juga. "Ke tempat biasa ya, Pak," ucapku. Rupanya, masih angkot yang sama dengan yang kemarin dan beberapa hari yang lalu kunaiki. "Iya mbak, sudah lama ya ngajar di madrasah?" jawab si supir sekaligus bertanya dengan ramah. Aku mengangguk singkat. "Lumayan Pak," jawabku. "Ohh kenapa nggak ngajar yang dekat-dekat sini saja, Mbak? Madrasah tempat Mbak mengajar cukup jauh jaraknya," Benar. Madrasah tempatku mengajar memerlukan waktu setengah jam berkendara. Bila harus naik angkot seperti ini, aku harus berganti lagi di pasar depan nanti. Namun, aku tak bisa asal keluar saja. Selain butuh pekerjaan, aku juga tak ingin menganggur di rumah itu. "Saya baru pindah ke rumah suami, Pak. Makanya jauh dari sini. Kalau dulu dekat dengan kostan saya," terangku. "Ohh pantesan toh Mbak," Lalu setelah itu aku tak lagi menyahuti. Bukan tanpa alasan, sebab mataku tiba-tiba saja menangkap bayangan Mbak Lia sesaat lalu. Hatiku berdesir hebat karena Mbak Lia tidak sendiri. Dia bersama seorang lelaki yang tidak kukenali. "Mbak Lia sama siapa, ya?" Tak bisa kupungkiri, rasa penasaran itu menyerang bathinku. Mbak Lia yang katanya buru-buru pergi karena ada operasi, nyatanya sedang nongkrong di kafe bersama seorang lelaki. Wajar bila aku berpikir yang tidak-tidak. Apa mungkin operasi yang Mbak Lia katakan batal sehingga Mbak Lia yang belum sarapan memilih sarapan dulu di sana? Jujur, aku tak tahu mengenai per-medis-an sehingga tak bisa mendapatkan jawaban pasti atas pertanyaan ini. "Biar nanti saja aku tanyakan sama Mbak Lia," ucapku. Angkot yang kutumpangi berhenti. Sudah saatnya aku berganti angkot yang lain untuk menuju Madrasah tempatku mengajar. Kuberikan uang berlebih pada supir angkot sebagai rasa terima kasihku atas keramahannya, lalu mengucapkan terima kasih padanya. Beberapa saat kemudian, angkot menuju Madrasah sudah kudapatkan. Segera aku naik agar mendapatkan tempat duduk walau harus sempit-sempitan. Aku terbiasa dengan ini, tapi entah kenapa rasanya lebih sesak dari biasanya saat aku tanpa sengaja menatap cincin yang melingkari jari manisku. Teringat mobil mewah yang masih terparkir rapi di rumah tadi. Itu milik Mas Azam, suamiku. "Apa sih yang aku pikirkan?!" geraman itu hanya di dalam hati saja saat aku mendadak sedih karena harus sempit-sempitan di sini, sementara suamiku bersama mobil mewahnya masih duduk santai di rumah. Demi Allah aku tidak ingin sakit hati akan sikap Mas Azam. Lagi pula diriku masih bisa berangkat dengan angkot seperti biasanya. Namun, hati kecilku meronta. Berharap mendapat belas kasih dari lelaki yang telah menikahiku itu. Tiga Puluh menit bila naik angkot, lalu mungkin hanya Lima Belas menit bagi Mas Azam untuk memberiku tumpangan. "Astagfirullah Nira! Jangan seperti ini," wajahku pasti tampak murung. Beruntung, aku sudah turun dari angkot. Sudah berdiri tegak di depan Madrasah tempatku mengajar. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu ku keluarkan secara perlahan. Sudah cukup! Tak ada waktu untuk meratapi nasib ini. Hidupku jarus tetap berjalan meskipun Mas Azam tak pernah menginginkanku menjadi istrinya. *** Pukul Dua siang aku baru kembali ke rumah kami. Aku tahu tak ada penghuninya karena Mas Azam dan Mbak Lia pasti sibuk di rumah sakit. Kulangkahkan kaki dengan lebar. Perutku sudah lapar. Ingin segera terisi dengan nasi. Buru-buru aku mengganti seragamku dengan pakaian rumahan. Tak lupa kukenakan jilbab instan untuk menutupi kepalaku. "Syukurlah," ucapku setelah menyelesaikan makan siangku. Ingatanku melayang pada kejadian pagi tadi. Tentang Mbak Lia yang tampak ceria bersama lelaki lain. Aku tak ingin ikut campur apa lagi lancang memiliki praduga. Namun, tak bisa kuabaikan rasa penasaran ini. Tak sabar juga aku ingin bertanya agar tak ada lagi prasangka. Sebab yang mataku lihat tak hanya sekedar sarapan bersama, tapi lelaki itu sempat menyentuh sudut bibir Mbak Lia. "Apa aku salah lihat?" tanyaku ragu sebab angkot telah berlalu saat dari kejauhan kulihat Mbak Lia bersikap aneh bersama lelaki itu. Lalu, ketika sore menjelang, Mbak Lia dan Mas Azam pulang bersama meskipun dengan mobil yang berbeda. Satu jam lamanya aku menunggu di ruang tamu hingga keduanya ikut duduk bersamaku. Tak sabar aku bertanya pada Mbak Lia. "Mbak, pagi tadi masuk ruang oprasi jam berapa, Mbak?" sebisa mungkin aku tak membuat Mbak Lia curiga dengan pertanyaanku ini. Apa lagi ada Mas Azam juga di depanku. Mbak Lia tampak mengerutkan dahi. "Sesampainya di rs langsung masuk ruang oprasi. Kenapa Nir?" tanya Mbak Lia. Jujur, jawaban yang Mbak Lia berikan tak memuaskan hatiku. Namun, bagaimana lagi, tak mungkin aku mendesaknya dengan pertanyaan yang terdengar mencurigakan. Bisa-bisa aku membuat Mbak Lia marah. "Nggak apa-apa, Mbak. Tadi aku sempat lihat orang yang mirip Mbak Lia di kafe dekat pasar," balasku. Setelah itu, Mbak Lia tampak terkejut, tapi hanya sesaat. Istri pertama suamiku itu terlihat semakin mencurigakan di mataku. Sehari setelah kuajukan pertanyaan itu, Mbak Lia tampak marah padaku. Dia sempat mengancam untuk tak perlu ikut campur urusannya. Entah itu aku salah lihat atau tidak, bukan urusanku. Mbak Lia berkata seperti itu padaku. Terang saja, sikap istri pertama dari suamiku itu semakin membuatku penasaran. Tak dapat dipungkiri aku semakin curiga padanya. Namun, aku tidak berani untuk menyelidiki. Sehingga, aku memutuskan untuk menuruti perintah Mbak Lia. Lagi pula, tugasku bukan untuk mencurigainya dan mencari kesalahannya. Aku di sini untuk membantunya mendapatkan bayi. Mengingat tentang bayi, aku tak tahu apakah malam pertamaku dan Mas Azam waktu itu memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang kami harapkan. Semisal tidak, sudah pasti akan ada malam kedua yang penuh kecanggungan lagi seperti malam itu. Aku menggelengkan kepala saat mengingatnya. "Sadar Nira!" dapat kupastikan bola mataku sedang melotot dengan sempurna. Untuk apa pula kejadian malam itu berputar lagi di kepalaku? Kami memang sah-sah saja melakukannya, tapi aku tidak mau menjadi perempuan aneh karena kembali membayangkannya. Kupikir ini tidak wajar. "Ada apa Bu Nira? Kepala Ibu sakit?" Kuberi tahu di mana aku berada saat ini. Plang depan menuliskan informasi yang tepat yaitu Madrasah tempatku mengajar. Aku terkejut saat mendengar pertanyaan dari rekan kerjaku, Ibu Rani. "Ahh nggak Bu, saya nggak apa-apa," jawabku. Ternyata, lamunanku sudah cukup panjang. Dari mengingat kembali sikap Mbak Lia hingga bayangan malam pertama dengan Mas Azam ikut mendominasi otakku. Aku malu sekali bertingkah seperti itu di area sekolah. Malu pada khimarku ini terutama. Percuma saja menutup aurat sampai ke ujung jari bila pikiran dipenuhi napsu setan. "Astagfirullah," ucapku saat menyadari apa yang baru saja kuakui. Diriku bernapsu pada Mas Azam. Aku pasti sudah gila atau ini yang namanya pengantin baru? Perasaan ingin bersama selalu menggangguku akhir-akhir ini. Membuatku pusing saja karena tak bisa mewujudkannya. Bagaimana mau mewujudkannya jika yang Mas Azama datangi setiap malam hanya Mbak Lia. "Ada apa Bu, Nira?" Sekali lagi kudengar Ibu Rani bertanya. Dia pasti terkejut mendengar ucapanku. Padahal, aku hanya ingin menjernihkan pikiran dari hal-hal negatif yang mengganggu. "Maaf Bu, saya permisi sebentar." Aku beranjak dari dudukku, berlari meninggalkan Ibu Rani yang tampak tercengang melihat tingkahku. Dia pasti berpikir aku sangat aneh mengingat selama ini aku terkenal tak banyak ulah dan pendiam. Kini, aku berada di toilet khusus perempuan. Menatap bayangan diri dengan wajah memerah di sana. Maluku kian terasa. Kugelengkan kepala ke kiri dan kanan berharap bisa mengalihkan pikiranku sejenak. Namun, tetap saja bayangan Mas Azam yang mencumbuku dengan lembut kembali mendominasi otak kecilku. "Nira berhenti! Atau kamu akan menyesal!" tunjuku bagai orang gila pada bayangan di dalam cermin sana. Sungguh menyebalkan, kenapa wajah Mas Azam selalu terbayang? Apa aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya? Aku menggelengkan kepala sekali lagi. Memangnya mau apa jika cinta itu benar-benar ada? Aku tidak punya hak untuk memilikinya. Hati Mas Azam hanya untuk Mbak Lia seorang. Tak ada perempuan lain yang bisa memasukinya, apa lagi aku yang sederhana ini. Sudahlah Nira! Berhenti memikirkan itu. Tak baik bila aku terus menerus mengharapkan yang tidak-tidak. Hatiku bisa terluka parah bila sampai mengharapkan Mas Azam. Aku mengangguk singkat, menyembunyikan bibirku ke dalam mulut sebelum kembali mengeluarkannya demi menunjukan senyum tulusku. Setelah itu, aku keluar dari toilet. Kembali ke ruang guru. Di sana masih ada Ibu Rani. Guru Bahasa Arab itu lagi-lagi menatapku dengan tatapan heran. Aku sedikit salah tingkah, tapi secepatnya bersikap biasa saja. "Kamu nggak apa-apa, Bu Nira?" tanya Ibu Rani padaku. Entah sekedar ingin tahu atau memang peduli. Aku tak pandai membaca pikiran orang. Namun, aku tak ingin suuzon. "Nggak apa-apa, Bu," Ibu Rani mengangguk singkat. "Syukurlah," katanya. Aku pun semakin memamerkan senyumku. Oya, sekedar informasi saja, di sekolah ini tidak ada yang tahu bahwa aku sudah menikah kecuali kepala sekolah. Aku terpaksa memberitahunya karena tak ingin mendapatkan masalah di kemudian hari, sebab aku masih ingin bekerja di sini. Selama mengajar, aku melepas cincin pernikahan. Menyimpannya di dalam tasku dengan aman hingga pulangnya, aku baru mengenakannya lagi. Bukan aku tak ingin mengenakan cincin itu, tapi Mas Azam melarangku. Katanya, semakin sedikit orang lain tahu pernikahan ini, maka semakin baik pula untuk mereka. Jika suamiku saja sudah berkata seperti itu, maka tak ada pilihan lain selain mengiakannya meskipun aku diam-diam tidak setuju. . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN