CHAPTER 5

2304 Kata
Udara yang sejuk di pagi itu membuat Sagita enggan untuk membuka mata. Meskipun tadi malam untuk pertama kalinya dia tidur dengan seorang pria tapi hal itu sama sekali tidak mempengaruhi Sagita, dia masih bisa tidur dengan lelap seperti biasanya. Di tengah-tengah kesadarannya yang belum dia dapatkan sepenuhnya, Sagita merasakan sesuatu yang berat menindih kakinya. Bukan hanya itu, dia juga merasakan sesuatu yang hangat melingkar di tubuhnya. Secara perlahan Sagita membuka mata untuk melihat apa yang telah terjadi. Begitu membuka mata, Sagita melihat wajah Orion begitu dekat dengannya. Begitu dekat hingga Sagita bisa merasakan napas Orion. Selain itu, sesuatu yang hangat yang melingkari tubuh Sagita ternyata adalah tangan Orion yang sedang memeluknya. Sesuatu yang berat yang menindih kakinya tidak lain adalah kaki Orion. Seharusnya Sagita segera bangun dan menyingkirkan tubuh Orion yang sedang memeluknya, tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan gadis itu. Dia tetap membiarkan posisi itu berlangsung lebih lama dan tanpa berkedip menatap wajah Orion yang sedang tertidur. Tidak dapat dipungkiri, Sagita begitu senang saat ini. Lalu sebuah pertanyaan pun terlintas di pikiran Sagita, mungkinkah semalaman mereka tidur sambil berpelukan seperti ini? Membayangkan hal itu membuat jantung Sagita berdetak sangat kencang. Lalu Sagita mengingat sesuatu, dia ingat Orion menaruh sebuah guling di tengah-tengah mereka, ke mana guling itu? Kenapa guling itu menghilang? Pertanyaan Sagita itu pun terjawab setelah dia menoleh ke belakang tubuhnya dan melihat sebuah guling di sana. Rupanya tanpa disadari, ketika sedang tidur Sagita memeluk guling itu dan memindahkannya, itu hal yang wajar bagi Sagita karena selama ini dia memang sering tidur sambil memeluk gulingnya. Sagita kembali menatap wajah Orion yang masih tertidur pulas. Dia terkekeh dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar suaranya tak meluncur keluar. Pahatan wajah itu begitu memesona layaknya pahatan wajah para Dewa. Sagita heran karena untuk pertama kalinya melihat pria setampan Orion. Berlebihan rasanya, tapi memang seperti itulah yang sedang dipikirkan Sagita.  Hal seperti semalam kembali dirasakan Sagita, yaitu keinginan kuat untuk menelusuri wajah Orion. Sagita meneguk ludahnya dengan susah payah, dia ingin menyentuh tapi takut Orion akan terbangun dan kembali mengatakan kata-kata pedas seperti semalam. Di tengah-tengah kegundahan Sagita itu, tiba-tiba Orion mengerjap-ngerjapkan matanya, tentu saja hal itu membuat Sagita gugup luar biasa. Kegugupan Sagita berubah menjadi kepanikan ketika melihat kedua mata Orion yang tadi terpejam kini tengah terbuka. Pria itu sedang menatapnya dengan tajam. Menyadari hal itu, dengan cepat Sagita menyingkirkan tangan Orion yang masih memeluknya dan bangun dari posisi tidurnya. "Ma-Maaf. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tanpa sadar aku ...." "Jam berapa sekarang?" "Eh ...?" Sagita melongo, terkejut mendengar respon Orion yang bertolak belakang dengan perkiraannya. Padahal Sagita sempat berpikir Orion akan marah-marah seperti semalam. "Aku tanya jam berapa sekarang?" Sifat dingin Orion kembali kumat, dia berucap dengan sangat ketus, membuat Sagita panik. "Tu-Tunggu sebentar." Sagita bergegas mengambil handphonenya yang tergeletak di atas meja dan melihat waktu yang tertera di layar handphone. "Jam delapan. Sekarang jam delapan pagi," jawab gadis itu. Orion bangun tanpa kata, dia turun dari ranjang dan melangkahkan kakinya. "K-Kau mau ke mana, Orion?" "Tentu saja mandi, memangnya kau pikir ke mana?" Meskipun nada bicara Orion terdengar sangat ketus, tapi sama sekali tidak membuat Sagita tersinggung. Sebaliknya, Sagita sangat senang karena Orion tidak berkomentar apa pun ketika melihat mereka tidur sambil berpelukan. Sagita lega karena Orion tidak mempermasalahkan hal itu. Ting Tong ... Ting Tong Sagita yakin mendengar suara bel yang menandakan ada seseorang yang ingin bertamu ke rumah kayu mereka. Sempat heran saat memikirkan siapa yang datang, akhirnya tanpa ragu Sagita melangkahkan kaki meninggalkan kamar menuju ke depan pintu. Tanpa mengintip dulu, Sagita langsung membuka pintu. "Hai!" Seorang wanita sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Sagita saat ini. Sagita tercengang melihat kedatangannya. Wanita itu ... dia adalah wanita cantik yang kemarin datang ke pesta pernikahannya. Dia adalah wanita yang secara terang-terangan memeluk dan mencium Orion di depan Sagita. Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa datang ke pulau ini? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benak Sagita. "Di mana Orion?" Sagita sama sekali tidak menanggapi pertanyaan wanita itu, dia tetap berdiri mematung sambil tetap menatapnya seolah lupa cara berkedip. Dia masih tidak percaya melihat wanita itu datang ke tempat yang seharusnya hanya ada Sagita dan Orion. Dari mana dia bisa mengetahui pulau ini? "Apa kau baik-baik saja? Aku tanya di mana Orion?" Wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Sagita "Ah, maaf,” sahut Sagita sembari mengerjap-ngerjapkan mata, kesadarannya baru saja kembali. “Orion sedang mandi." "Boleh aku masuk?" Untuk sesaat Sagita tertegun, sebelum dia mengangguk dan bergeser untuk memberikan jalan, "I-Iya, silakan," katanya, berusaha bersikap ramah meski hatinya kesal. Wanita itu melangkah masuk, dia berjalan sambil melihat-lihat seisi rumah kayu. "Rumah ini nyaman sekali," katanya berkomentar. Sagita hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Wanita itu terus masuk hingga memasuki kamar Orion dan Sagita. Lalu tanpa meminta izin pada Sagita, dia duduk di tempat tidur. Hal itu tentu saja membuat Sagita semakin kesal. "Apa semalam kau dan Orion tidur di ranjang ini?"            Sagita sama sekali tidak mengerti kenapa wanita itu bertanya demikian. Orion dan Sagita telah resmi menjadi suami istri, meskipun tanpa bertanya seharusnya wanita itu tahu sudah pasti mereka tidur di ranjang itu. Dia masih menatap Sagita yang menandakan masih menunggu jawaban Sagita. "I-Iya, begitulah." Sagita menyadari ekspresi kesal di wajah wanita itu setelah mendengar jawabannya, membuat Sagita semakin penasaran ingin mengetahui hubungan antara wanita asing itu dengan Orion. Tak lama kemudian, Orion yang telah menyelesaikan aktivitas mandinya keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang segar karena dirinya sudah berganti pakaian dengan setelan santai. Jeans berwarna navy dan kaos polos berwarna hitam. Untuk sesaat pria itu tampak terkejut melihat kehadiran si wanita. Wanita itu berjalan menghampiri Orion dan tepat di depan mata Sagita, dia mengecup bibir Orion. Tentu saja membuat Sagita tercengang sekaligus marah. "Aku datang. Apa kau terkejut?" Tanya sang wanita dengan suara yang sengaja dibuat manja. Dia merangkul lengan Orion seolah dengan sengaja memanas-manasi Sagita yang kini sedang melihat kemesraan mereka. Wanita itu bagai tak peduli perbuatannya telah menyakiti perasaan Sagita. "Tidak. Aku tahu kau pasti akan datang setelah aku memberitahumu tempat ini semalam. Aku senang kau datang, di sini sangat membosankan." Ucapan Orion sukses membuat Sagita terluka bukan main. Gadis itu menundukan kepala sembari menggigit bibir bawah dan mengepalkan tangannya erat, menahan mati-matian agar tangisannya tidak pecah. Di sisi lain melihat kejadian ini, Sagita menyadari bahwa Orion dan wanita itu memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman. "Ayo, kita pergi keluar." Wanita itu menganggukkan kepala dan wajahnya berbinar senang begitu mendengar ajakan Orion. Sambil bergandengan tangan, mereka melangkah meninggalkan Sagita yang masih berdiri mematung.  Orion tiba-tiba menoleh, dia menatap Sagita yang terlihat sedang melamun. "Oh iya, apa kau bisa memasak?" tanyanya pada Sagita. Pertanyaan Orion itu telah mengembalikan kesadaran Sagita, gadis itu berbalik badan dan menatap ke arah Orion yang masih bergandengan tangan dengan si wanita. "Bisa sedikit." "Aku lihat di kulkas banyak makanan. Kalau kau lapar, kau makan saja. Aku akan makan di luar,” ucap Orion. Sagita hanya diam, tak berkomentar apa pun. “Sampai jumpa." Bahkan sampai Orion dan wanita itu menghilang di balik pintu, Sagita masih tetap berdiri mematung dengan tatapannya yang kosong. Rasa sakit yang Sagita rasakan dalam hatinya, tak lagi bisa dia bendung. Hingga air mata mulai keluar dan berjatuhan di wajahnya bagai aliran air sungai yang deras. Sagita terisak kencang sembari meremas d**a kirinya yang bagai ditusuk ribuan pedang. ***  Malam itu, Sagita tidur seorang diri. Semenjak kepergian Orion dengan si wanita asing yang bagi Sagita merupakan pengganggu, Orion belum menampakkan dirinya lagi di depan Sagita. Hal itu tentu saja membuat Sagita semakin terluka. Dia merasa telah diabaikan begitu saja, Orion dengan kejamnya meninggalkan dirinya dan pergi dengan wanita lain di tengah-tengah bulan madu mereka ini. Pada awalnya Sagita mengira bulan madu ini setidaknya akan membuat hubungan mereka lebih dekat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sagita sadar sampai kapan pun hubungannya dengan Orion tidak akan pernah menjadi dekat, apalagi jika melihat kedekatan Orion dan wanita itu cukup membuat Sagita mengerti bahwa mereka memiliki hubungan istimewa. Malam itu, Sagita tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya tidak henti-hentinya memikirkan Orion dan wanita itu. Sekali lagi air mata Sagita kembali jatuh membasahi wajahnya. Entah sudah berapa ember air mata yang dikeluarkannya karena kini kedua matanya sembab pertanda dirinya terlalu banyak menangis. Sagita kesulitan untuk tidur meski sekeras apa pun usahanya untuk memejamkan mata dan melupakan kejadian pilu yang dialaminya sejak mengenal Orion. Pria yang Sagita anggap sebagai penolong sekaligus cinta pertamanya itu ternyata tak sebaik yang dia duga. Lihatlah, dengan tega dia meninggalkannya seorang diri padahal mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Terlebih ini bulan madu mereka, bukankah seharusnya mereka selalu menghabiskan waktu bersama? Tapi tidak, bagi Orion mungkin Sagita hanyalah sosok tak penting yang bisa dia tinggalkan kapan pun. Orion tak mempedulikan dirinya sedikit pun, Sagita sangat menyadarinya sekarang.  Orion juga tidak menjelaskan apa pun tentang wanita asing itu. Siapa dia? Apa hubungan Orion dengan wanita itu? Sagita tak tahu apa pun.  Sagita merasa tak dihargai dan tak dianggap istri sehingga Orion mencampakannya tanpa menjelaskan apa pun.  “Ibu, ayah.” Sagita memanggil nama orangtuanya, tiba-tiba saja dia merindukan dua orang yang paling menyayanginya di muka bumi ini.  Sagita jadi teringat bagaimana sang ayah terlihat bersedih saat menyerahkan dirinya pada Orion. Pesan terakhir sang ayah sebelum mereka melaksanakan upacara pernikahan, Sagita tak akan pernah melupakannya seumur hidup. Ayahnya begitu menyayanginya, entah bagaimana reaksi sang ayah jika mengetahui Orion mengingkari janjinya. Bukankah saat itu Orion berjanji pada ayah Sagita akan membahagiakan Sagita? Tapi kenyataannya berbanding terbalik. Orion justru membuat Sagita terluka sedalam ini.  “Aku merindukan kalian. Ayah, ibu ... aku ingin pulang.” Sagita bergumam di tengah-tengah isak tangisnya hingga bantal yang dia tiduri basah karena terkena tetesan air mata gadis itu.  Sagita meraih handphonenya yang diletakan di atas nakas. Pertama yang dia lihat adalah foto pernikahannya dengan Orion karena dia menjadikannya sebagai wallpaper. Foto saat dirinya bertukar cincin dengan Orion setelah upacara pernikahan selesai. Momen itu sangat penting dan terasa indah bagi Sagita. Di dalam foto, tampak Orion dan Sagita sedang tersenyum sambil mempelihatkan cincin pernikahan mereka yang tersemat di jari manis masing-masing.  Sagita memalingkan wajah, kini tatapannya tertuju pada cincin emas yang melingkar di jari manisnya.  “Apa arti cincin ini bagimu, Orion?” Katanya sambil tetap menatap lekat pada cincin emas polos namun ada intan permata berukuran kecil di bagian tengahnya. Orion pun mengenakan desain cincin yang sama. Sagita yang memilih desain cincin itu karena dia pikir Orion pasti tidak mau mengenakan cincin yang terlalu memiliki banyak ukiran sehingga cincin polos yang gadis itu pilih untuk cincin pernikahan mereka.  “Apakah pernikahan kita hanya sebatas pernikahan kontrak bagimu? Tidak bisakah sekali saja, setidaknya saat kita berbulan madu, kau memperlakukanku layaknya istrimu?”  Sagita membenamkan wajahnya pada bantal, berharap bantal putih yang sudah banjir air mata itu mampu meredam isak tangisnya yang memilukan. Sagita tersentak ketika handphone yang dia genggam tiba-tiba bergetar hebat. Dilihatnya layar handphone, semakin tersentak kaget tatkala melihat sebuah panggilan masuk yang berasal dari nomor ayahnya.  Sagita merubah posisi tengkurapnya menjadi duduk di ranjang. Dia menghapus air matanya kasar dengan jari-jari tangannya, lalu menghela napas panjang sebelum menekan tanda hijau untuk menerima sambungan telepon.  “Hallo, Sagita.”  Sagita menggigit bibir bawahnya saat suara ayahnya mengalun, tiba-tiba dia ingin kembali menangis.  “Sagita sayang.”  Sagita berdeham pelan, tak ingin suaranya yang sedikit serak akan membuat ayahnya curiga. “Iya, ayah. Kenapa malam-malam menelepon?”  “Oh, di sana malam ya? Di sini masih sore. Ayah masih di kantor. Tiba-tiba saja ayah teringat padamu. Kau baik-baik saja, kan?”  Sagita membekap mulutnya dengan telapak tangan kiri, menahan mati-matian agar sang ayah tidak mendengar isak tangisnya.  “Sagita, kau dan Orion baik-baik saja kan di sana?” “Aku baik-baik saja, Yah.” “Syukurlah kalau begitu. Ayah khawatir karena tiba-tiba wajahmu terus terlintas di pikiran ayah.”  Sagita tersenyum kecil, ternyata memang benar ikatan batin antara orangtua dan anaknya begitu kuat. Dibandingkan dengan sang ibu, Sagita memang lebih dekat dengan ayahnya. Biasanya sang ayahlah yang Sagita jadikan tempat untuk berkeluh kesah atau mengadu saat dirinya tertimpa masalah.  “Apa ayah mengganggu kalian? Di sana sudah malam, jangan-jangan kalian ....” Edrick tak melanjutkan ucapannya seolah dia tahu kegiatan apa yang mungkin sedang dilakukan sepasang pengantin baru di malam hari seperti sekarang.  “Maaf ya, sepertinya ayah memang mengganggu. Ayah tutup dulu teleponnya ....” “Aku merindukan ayah.”  Ucapan Edrick yang masih menggantung itu, tak diteruskannya. Suara pria paruh baya itu tak terdengar lagi seolah terkejut luar biasa karena mendengar pengakuan sang putri.  “Merindukan ayah? Kita kan baru berpisah satu hari, Nak?” Edrick terkekeh di seberang sana. “Tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merindukan ayah. Aku ingin ada ayah di sini.” “Kalau ayah ada di sana, ayah hanya akan menjadi obat nyamuk. Kalian pasti mengabaikan ayah.”  Edrick tertawa, begitu pun dengan Sagita yang sedikit terhibur dengan candaan ayahnya.  “Kenapa kau merindukan ayah, di sana kan ada Orion?” “Hm, mungkin karena aku tidak terbiasa berjauhan dengan ayah dan ibu. Aku jadi merindukan kalian.” “Dasar anak manja. Sekarang kan kau sudah menikah, kau harus terbiasa berjauhan dengan kami.”  Sagita mengangguk-anggukan kepala, dia lupa ayahnya tak mungkin bisa melihat responnya ini.  “Bagaimana dengan Orion? Dia memperlakukanmu dengan baik, kan?”  Sagita tersentak untuk yang kesekian kalinya, sekarang dia kebingungan, tak tahu harus memberikan jawaban seperti apa. “Orion tidak bersikap kasar padamu, kan?” “Tidak kok, Yah. Orion sangat baik padaku.” Dan akhirnya Sagita memilih berbohong karena tak ingin melukai perasaan ayahnya yang pasti akan marah besar jika mengetahui kebenarannya.  “Baguslah kalau begitu. Ayah lega mendengarnya. Tapi jika dilihat-lihat, Orion memang sepertinya pria yang baik. Ayah senang dia yang menjadi suamimu.”  Sagita kembali membekap mulutnya, air mata yang sempat mengering itu kini kembali meminta pembebasan.  “Dimana Orion? Ayah ingin bicara dengannya.” “O-Orion ...” Sagita menjeda, dia tak sanggup berkata-kata sekarang. Dia pun menghela napas panjang untuk menenangkan diri. “Kenapa dengan Orion, Sagita?” “Dia baik-baik saja, hanya saja sekarang dia tidak bisa bicara dengan ayah karena sedang di kamar mandi.” “Oh, begitu. Baiklah, tolong sampaikan salam ayah padanya.” “Baik, akan aku sampaikan nanti,” balas Sagita. “Yah, sudah dulu ya. nanti aku hubungi lagi.”  “Oh iya, iya. Teruskan kegiatan kalian. Sekali lagi maaf ayah sudah mengganggu.”  Sagita menggelengkan kepala berulang kali, “Tidak. Ayah sama sekali tidak mengganggu. Justru aku senang karena ayah menelepon.” “Ya sudah, kau istirahatlah. Ayah harap kau dan Orion akan segera memberikan cucu untuk ayah dan ibu.”  Kini Sagita gagal. Ya, dia gagal membendung air matanya yang kembali mengalir. “Aku tutup dulu teleponnya, Yah. Titip salam untuk ibu.”  Tanpa menunggu respon sang ayah, Sagita memutuskan sambungan telepon. Dia lantas membantingkan dirinya ke atas ranjang, kembali terisak di atas bantal yang menjadi saksi bisu kesedihannya malam ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN