Pagi itu, Jeno baru saja hendak berangkat sekolah seperti biasa, ia harus berjalan ke gerbang perumahan untuk menaiki bus sekolah.
Biasanya ia akan berangkat bersama Ibundanya untuk ke gerbang, tapi hari ini adiknya sakit. Langkahnya terhenti saat ia mendengar teriakan minta tolong.
Saat mendekati sumber suara itu, Jeno dikagetkan saat seorang pria bertubuh mungil terlihat seumuran dengan dia menabraknya.
"Tolong." Pinta pria itu pada Jeno.
Tak lama seorang pria bertubuh besar keluar dari gerbang rumah yang lumayan besar itu. Hendak menarik remaja kecil itu tapi gagal saat Jeno berdiri menengahi. Pria besar itu terlihat marah besar dan hendak memukul Jeno tapi Jeno mengelurkan ponselnya yang sudah menunjukkan kontak 119.
"Pergi." Ujar Jeno tegas sambil mengancam akan menelpon polisi. Walaupun itu bukan hanya ancaman. Ia benar-benar akan menelpon polisi melihat remaja dibelakangnya itu sudah penuh memar. Mundur, pria besar itu memberikan tatapan mengancam lalu masuk dan membanting pintu rumahnya kencang.
"Lo ga papa? Ayo gua anter ke RS." Ujar Jeno yang sudah berbalik menatap pria kecil tadi.
"Renjun. Gue Park Renjun."
"Gue Lee Jeno. Ayo ke RS." Tapi Renjun menjawab dengan gelengan kepala. "Ke sekolah aja. Biar gue tidur di UKS." Jeno melihat baju seragam yang ternyata sama dengan seragam yang ia pakai.
Mengangguk, Jeno dan Renjun berangkat sekolah bersama. Selama diperjalanan itu mereka mengobrol dan Jeno tahu banyak hal soal Renjun.
Pria besar tadi adalah Ayahnya dan alasan Renjun dipukuli adalah karena Renjun menolak mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang jaksa dan keluarganya yang mayoritas berada dirana hukum.
"Ayah lo suruh periksa ke RSJ gih. Kerja dibidang hukum tapi nyiksa anak sampe memar gini. Mungkin dia bisa jadi jaksa hasil orang dalem, Jun. Gue aja tau kalo ini termasuk pidana. Lo bisa laporin ayah lo dan ngajarin dia hukum yang beneran itu kayak gimana."
Renjun hanya meringis. Dia tak mungkin memenjarakan ayahnya kan? Melihat ekspresi Renjun, Jeno tahu Renjun tak akan tega. Jadi dia membantu dengan cara lain. Yakni mengajari beberapa teknik melindungi diri yang ia kuasai.
"Kecil bukan berarti lemah, Jun. Disini bukan masalah kekuatan siapa yang lebih besar, tapi teknik. Gue gak minta lo buat hajar ayah lo. Tapi saat gelagat ayah lo mau kasar, lo cepet-cepet nyari perlindungan. Kalo bener-bener gak sempet, teknik tadi bisa dipake. Gak bakal sampe mati kok. Cuma ngehambat dia gerak jadi lo bisa lari keluar rumah dan nyari pertolongan."
"Lo suka sama hal-hal berbau teknologi kan? Lo bisa ancam dia pake CCTV dirumah lo. Lo gak perlu minta dia pasangin. Lo bisa pasang sendiri. Lindungin diri lo sendiri dengan cara lo."
Setidaknya karena itu, Renjun tidak pernah keluar rumah dengan memar diwajah lagi dan hubungan mereka jadi semakin akrab.
Pemuda yang dulu begitu tak suka dengan hukum hingga ia memilih berontak dari keluarga nya malah menjadi detektive yang sering membantu ayahnya.
Dunia lucu, bukan?
Haechan
Jeno bertemu Haechan pertama kali adalah saat ia sedang mengobrol dengan Renjun yang ternyata mereka sekelas untuk pelajaran IT. Pria yang lebih tinggi dari Renjun dengan kulit lebih eksotis datang dengan raut khawatir langsung mendatangi Renjun yang sudah menatap Haechan terlebih dahulu.
"LO DIHAJAR LAGI?!" Pemuda itu langsung berteriak saat melihat luka lebam diwajah Renjun. Haechan ternyata adalah sahabat Renjun. Jeno tidak melihat Haechan saat bersama Renjun selama 4 hari ini karena Haechan harus dikurung karena nilai ulangan hariannya menurun.
"Kamar gue dikelilingin bodyguard sampe 15 anjir. Gimana gue mau kabur? Heran banget. Gue belajar apa engga aja mereka ga peduli tapi giliran nilai turun heboh. Mending aja hebohnya gara-gara emang khawatir sama gue. Lah ini, heboh gara-gara gue bikin mereka malu didepan rekan bisnisnya. Kan f**k!"
Kepribadian Haechan yang cerah dan mudah bergaul walau ada begitu banyak beban yang coba ia tutupi membuat ia dan Jeno cepat akrab. Mereka bertiga sering membagi keluh kesahnya pada Jeno yang sebagian besar hanya mendengarkan dan memberi saran seperlunya.
Hal yang tak akan pernah Jeno lupakan dari Haechan adalah ketika pemuda itu dimaki begitu kasar oleh kedua orangtuanya saat pembagian rapot kelas 1 SMP. Mereka memaki didepan umum menjadi tontonan orang. "Memalukan! Orang-orang mengolokku karena punya anak bodoh sepertimu! Kamu dengar itu?! Bodoh! Kamu bodoh!"
Teriakan itu membuat Jeno begitu marah dan juga bingung. Mereka malu citra mereka dianggap buruk tapi melakukan hal sememalukan dan sekampungan ini didepan banyak orang.
"Lebih memalukan mana dengan anda yang sok berkelas tapi seperti orang yang tidak pernah menduduki bangku kelas disekolah?" Jeno menginterupsi saat Haechan yang terlihat sudah begitu kebal dengan cacian orangtuanya hanya diam.
"Apa?!!"
"Ya, saya bilang anda seperti orang yang tidak pernah masuk sekolah. Orang yang bersekolah tau apa itu etika yang baik. Memaki anak anda sendiri didepan umum jelas bukan etika yang baik. Tidak pernahkah anda berpikir kalau dengan seperti ini anda memberi tahu kepada semua orang kalau anda gagal menjadi orang tua?" Sungguh ia benci temannya dimaki begitu kasar apalagi oleh orangtuanya sendiri.
"Pintar tidak hanya dilihat dari kemampuan matematika dan science. Daripada menyalahkan Haechan bodoh, kenapa tidak anda berkaca dulu apa anda sudah menjadi orang tua yang pintar? Sikap ketidakpedulian Haechan muncul karena dia belajar dari ahlinya. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya?"
Setelahnya kedua orang dewasa itu diam menatap Jeno dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan.
"Apa kalian tahu Haechan masuk ke pertandingan E-sport tingkat nasional? Apa ada anak-anak teman anda yang lain bisa seperti Haechan? Apa selama ini Haechan pernah meminta sesuatu pada kalian? Tidak pernah, kan? Semandiri itu Haechan. Itu sesuatu yang bisa dibanggakan. Berbeda bukan berarti salah."
Meski sedikit, orangtua Haechan mulai menaruh perhatian pada Haechan. Dan sebagai balasan atas peduli yang ia dapat, Haechan belajar lebih giat apalagi setelah kenal teman Jeno yang lain. Teman wanita pertama mereka, Shin Ryujin. Yang kemudian membuat Phoenix semakin ramai.
Lee Jeno
Phoenix bukanlah geng yang sering kalian baca di cerita-cerita SMA. Phoenix dibuat hanya untuk saling membantu. Seperti yang Jeno lakukan pada Renjun dan Haechan. Lalu setelah mengenal Shin Ryujin, kelompok itu berubah menjadi kelompok belajar.
Circle Phoenix sulit ditembus karena biasanya anggotanya hanya orang terdekat tiga serangkai. Phoenix menjadi istimewa karena diisi dengan siswa-siswa istimewa dan berpengaruh. Membuat orang luar berpikir kalau Phoenix adalah sebuah geng.
Nyatanya Phoenix tidak seperti geng lain yang selalu ingin menunjukkan kekuasaan mereka. Phoenix bergerak hanya jika mereka diusik. Tapi Phoenix bukan tipe kelompok anarkis. Jika mengusik sampai membuat kerugian, barulah mereka bertindak.
Muggleshot dan Bluefire dibuat untuk tempat istirahat. Karena banyak anggota Phoenix yang memilih tinggal bersama di markas untuk sekedar mengobrol daripada di rumah yang sepi karena orang tua yang terlalu sibuk.
Phoenix begitu solid dan dinamis. Jeno sudah bilang kalau mereka lebih dari sahabat, kan? Ya, mereka lebih dari itu. Mereka adalah saudara. Karena itu saat Ibunda Jeno meninggal tepat saat kelulusan sekolah menengah pertama, Phoenix sempat mengalami kerenggangan.
Jeno adalah sosok yang bisa menjadi sandaran dan bahu banyak orang tapi dia sendiri tak tersentuh. Mencoba paham saat Jeno memilih menyembuhkan diri di AS. Tetap membuat Phoenix berdiri saat kehilangan pusat rotasinya. Sampai sekitar 5 bulan kemudian Jeno baru berkomunikasi lagi saat geng liar bernama Hawk mengusik ketenangan mereka.