6

1471 Kata
"Stooop!" Cittt... Bunyi ban berdecit terdengar jelas di telinga Adrian. Lelaki itu mengeram marah pada wanita yang seenaknya saja membuat Adrian menghentikan mobilnya secara mendadak. "Nara.." ucapan Adrian tertahan saat melihat Nara memeluk Dariel melindungi agar bocah itu tidak membentur dashboard mobil. Adrian menghela nafas, matanya beralih ke bangku belakang mobil. Memastikan bahwa Razka tidak apa-apa disana. Bocah itu nampaknya hanya terkejut saja, dan untunglah Razka menggenakan sabuk pengaman. "Kamu bisa bawa mobil gak, sih?!" Nara menatap Adrian, seolah lelaki itulah yang menyebabkan masalah. Adrian berdecak, "ckkk. Salah kamu sendiri yang menyuruh saya untuk berhenti tiba-tiba." mulut Nara tertutup, barulah dia sadar bahwa dirinya yang salah. "Eh, maaf, Pak Bos. Rumah saya udah sampe soalnya." ucap Nara kikuk lalu mengalihkan pandanganya pada deretan rumah disampingnya. Adrian mendengus, kemudian matanya beralih pada sebuah rumah yang berada didekat mereka. "Itu rumah kamu?" tanya Adrian menunjuk salah satu rumah bertingkat yang berada dibarisan sana. Nara menggeleng, "bukan, tapi disebelahnya." mata Adrian beralih menatap bangunan yang berada disamping bangunan bertingkat itu. Rumah yang sedikit lebih kecil tapi nampak nyaman untuk ditinggali. "Saya pulang dulu, Boss. Makasih tumpangnya." mata Adrian membulat, sejak kapan wanita itu sudah berada diluar mobil dan kapan wanita itu turunnya. Razka juga sudah hilang dari bangku belakang. Adrian menghela nafas, berarti kali ini dirinya gagal. Salahkan juga wanita itu yang tiba-tiba memotong ucapan Adrian dan menyuruhnya berhenti. Adrian lalu menatap Nara kembali. Lelaki itu menganguk, kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Nara juga Razka. "Sering-sering antarin Boss. Biar saya nya lebih hemat ongkos bensin," ucap Nara mengangkat-turunkan alisnya pada Razka saat mobil Adrian menghilang dari pandangan mereka. Tapi, Razka hanya menatap datar Nara enggan untuk menanggapi celotehan ibunya. Hal itu membuat Nara mengerutkan keningnya dan bertambah berkerut saat Razka hanya melewatinya dan langsung masuk ke dalam rumah. "Bang, ganti bajunya dulu dan jangan lupa salat magribnya, habis itu turun kita makan malam. Babang pasti laper 'kan?" goda Nara pada Razka. Tapi lagi-lagi bocah itu menatap nanar Nara kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar. "Bang, kenapa?" tanya Nara penasaran tapi Razka hanya mengabaikannya. Prempuan itu menghela nafas, mungkin saat ini Razka sedang kelelahan karena bermain di kantor tadi. Hingga suara pintu berdebum membuat Nara tak tahan lagi, wanita itu segera melangkahkan kakinya menuju kamar sang anak. Jika sedang memiliki masalah, Nara lebih suka menyelesaikan masalah itu secepatnya. Dia tidak suka bertele-tele dan lambat untuk menyelesaikannya. Nara memutar kenop pintu kamar Razka yang berwarna abu-abu, nampak anaknya sedang membuka baju seragamnya. "Bang, sini Mama bantu lepas seragamnya." Nara duduk diranjang Razka, tapi bocah itu lebih memilih mengabaikan Nara dan memutar badannya sehingga membelakangi Nara. Nara menghela nafas, saat ini dirinya harus sabar. Tidak boleh terpancing emosi dengan keadaan. Kadang dari seorang anak kecil kita dapat mengerti arti dari kesabaran. "Bang, sini Mama bantu." Nara menarik tubuh Razka sehingga berhadapan dengannya. Anaknya masih setia menatap Nara dengan pandangan tak terbaca. Dengan telaten Nara membantu Razka membuka bajunya, dari kancing teratas hingga berhenti di resleting celana. "Babang, kenapa? Kok mukanya cemberut gini?" tanya Nara memegang wajah masam anaknya. Razka masih diam, tapi lama-kelamaan mata bening itu mulai berembun hingga meneteskan air mata, Razka terisak membuat Nara gelagapan dengan tangis anaknya. "Mama, jahat. Hikss... Katanya mau beli donat. Hiksss.." Razka semakin terisak tapi Nara sudah tahu masalahnya. Dengan sayang, Nara membawa Razka kedalam dekapannya. "Aduuh, Mama lupa sayang. Jangan nangis dong, anak Mama." Nara mengelus-elus punggung belakang Razka supaya tangis anaknya mereda. "Babang mau donat?" "Mauu," ucap Razka dengan suara serak, mukanya memerah karena tangis. "Mama, beli sekarang ya? Razka mau ikut atau tinggal di rumah?" Nara hendak bangkit dari duduknya tapi ditahan oleh Razka yang masih memeluk erat Nara. "Jangan, nanti Mama masuk angin. Udah malem, anginnya kenceng." Nara terkekeh dengan perkataan Razka tapi dengan kata-kata itu juga hati Nara menghangat, lelah dan letihnya terbayarkan oleh rasa khawatir anaknya untuknya. "Yaudah, besok aja kita beli. Jadi sekarang Razka jangan nangis lagi. Nanti air matanya habis," ucap Nara seraya mengangkat Razka dalam gendonganya. Nara mengendong Razka, membawa anaknya seraya mengelilingi kamar Razka yang didominasi warna coklat lengkap dengan stiker hewan kebun binatang didalamnya. Nara menepuk-nepuk p****t Razka pelan, seraya menyanyikan lagu Nina bobo untuk Razka. Akan tetapi, tangis anaknya masih juga terdengar. Nara tahu, bukan hanya masalah donat yang membuat Razka menangis. Nara kembali duduk di kasur anaknya, memposisikan Razka sehingga berhadapan dengan Nara. Terlihat air mata itu masih menghiasi wajah kemerahan anaknya. "Babang, kenapa? Jujur sama Mama." Nara menatap bola mata Razka yang membulat. "Hikss, Babag takut," ucap Razka sesegukan. Nara tersenyum, lalu menghapus satu per satu air mata anaknya. "Takut apa, Bang? Kan ada Mama disini." "Hikss, takut Mama diambil Iyel." Mata Nara membulat, ohh... Ternyata Razka cemburu Nara berdekatan dengan anak bossnya itu. "Kenapa Babang bilang gitu?" tanya Nara, Razka mengisap ingusnta membuat cairan meleleh itu tidak jadi untuk turun. "Tadi di mobil. Iyel duduk dipangku Mama. Babang dilupain dibelakang, sendiri." Detik itu juga tangis Razka yang sempat terhenti kembali pecah, segeran Nara kembali mendekap tubuh putrnya untuk kembali ke pelukannya. "Babang jangan bilang gitu. Mama gak ada ngelupain, Babang. Pokoknya cuman ada Babang di hati Mama." Nara mengecup lama puncak kepala Razka, sungguh ia sangat mecintai anaknya. "Mama Nara cuman punya Babang. Bukan punya Iyel, punya Babang!" ucap Razka dalam pelukan Nara, tanpa Nara sedari setetes air mata lolos dari pelupuk matanya. "Iya, Mama cuman punya Babang." Nara berterima kasih kepada tuhan yang telah mempertemukanya dengan Razka, ia berterima kasih kepada takdir karena dapat merawat Razka. Kehilangan kedua orang tuanya membuat hidup Nara menjadi sepi dan hampa. Tapi, tangis Razka kecil kembali menggetarkan hati prempuan itu. Nara sadar, yang di bumi tidak selamanya menginjak tanah dan ada kalanya tubuh itu ikut bergabung ke dalam tanah. Nara juga sadar, kehidupan akan terus berlangsung. Akan ada yang lahir ke dunia untuk dapat merasakan indahnya dunia. Razkana sayang, anak Mama Nara seorang. *** Seorang pria dewasa nampak berdiri tegak didepan jendela kaca kamarnya. Matanya menatap gelapnya malam, kontras dengan cahaya kamarnya yang begitu terang. Sebenarnya, Adrian lebih suka mematikan lampu saat hendak tidur. Tapi, karena anaknya ingin tidur bersamanya, jadilah lampu kamarnya saat ini terang-menerang. Adrian meneguk secangkir kopi s**u yang berada di meja kamarnya. Menikmati dengan perlahan perpaduan kopi dengan s**u yang sudah lama menjadi minuman favoritnya. Bahkan saat ini, kebiasaannya turun pada anaknya. Walaupun saat ini Dariel hanya suka susunya saja. Adrian meletakan kembali cangkir yang isinya telah tandas itu, matanya beralih, menatap anaknya yang sedang memeluk guling dengan kuat. "Haah..." lagi-lagi Adrian menghela nafas, lalu mengusap wajahnya kasar. Apakah keputusannya untuk menikahi Kinara sudah benar? Itu lah hal yang membuatnya tidak bisa tidur sedari tadi. Ia takut. Ia takut gagal kembali dalam berkomitmen. Ya, walaupun Adrian hanya pernah berkomitmen sebatas kekasih. Tapi sungguh, sakitnya penghiatan itu lebih dari apa yang dia bayangkan. Tapi, Adrian mencoba kembali menendang sisi egoisnya jauh-jauh. Untuk apa dirinya bahagia tapi anaknya tidak bahagia. Karena bahagianya Adrian hanya Dariel, anaknya. Matanya terus memperhatikan malaikat kecilnya. Dariel bukanlah sebuah kesialan atau kecelakaan yang membuat bocah itu terlahir ke dunia. Bagi Adrian, Dariel adalah semangatnya. Hal yang membuat hidupnya lebih bersemangat. Memandang malaikat kecilnya adalah hal kesukaan Adrian, ia tak pernah bosan. Tapi, kening Adrian berkerut saat melihat wajah anaknya dipenuhi bulir-bulir keringat. Suhu pendingin ruangnya sudah ia hidupkan, Adrian juga merasakan suhu kamar masih seperti biasa. Naluri seorang ayah, Adrian melangkahkan kakinya mendekati Dariel. Punggung tanganya ia letakan diatas dahi sang anak. s**t! umpat Adrian. Suhu tubuh anaknya begitu panas. Adrian bangkit dari kasur, memutar kenop pintu dan buru-buru ia menuruni tangga, memanggil selurus asisten rumah tangganya. Padahal kamar pengasuh Dariel tepat dibawah tangga. Karena mendengar tuannya memanggil namanya, Elena segera keluar dari kamarnya. "Ada apa tuan?" tanya prempuan paruh baya itu. "Dariel sakit, suhu tubuhnya sangat tinggi," ucap Adrian. Dengan langkah seribu, Elena segera menaiki tangga menuju kamar Adrian untuk mengecek kondisi tuan mudanya. Adrian terduduk di kursi meja makannya, ia adalah hal yang paling dia sesali. Andaikan Dariel memiliki seorang ibu, pastilah sekarang Adrian melihat anaknya didekap dengan penuh kasih sayang saat anaknya sakit. Beruntung Adrian memiliki Elena, prempuan paruh baya itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Elena juga Adrian bawa ke Indonesia untuk merawat putranya. Adrian menghela nafas berat, kemudia langkahnya membawanya menuju ke kamarnya untuk melihat kondisi anaknya. Bertepatan saat itu, Elena keluar dari kamarnya. "Bagimana kondisi Dariel?" tanya Adrian tak sabar mengetahui kondisi putranya. Elene tersenyum, ia sudah biasa melihat tuan besarnya ini khawatir jika putranya sakit. "Tuan muda hanya kelelalan, sudah saya berikan obat penurun panas. Sebaiknya tuan muda harus banyak-banyak beristirahat agar kondisinya cepat pulih." Adrian mengangguk, beruntung dulunya Elena adalah seorang perawat jadi prempuan itu sudah terbiasa dengan hal medis. "Terima kasih, El. Silahkan kembali beristirahat." Elena mengangguk, "sama-sama Tuan. Tapi, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Elena dengan sopan. "Ada apa?" "Siapa itu 'Kak Narla'. Sedari tadi tuan muda terus-terusan menyebut nama itu?" tanya Elena. "Namanya Nara. Kinara. Calon Mommy untuk Dariel. Dan calon isteriku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN