8

1409 Kata
"Jadilah ibu dari anak-anak saya." Deeg. Mata Nara membulat sempurna mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan bossnya. Nara mengira pasti saat ini mulutnya sedang terbuka lebar. "Boss ngajak saya nikah? Atau mau beli pembalut di warung? Mudah banget, gak disaring dulu lagi." "Kita sama-sama membutuhkan. Kamu butuh saya menjadi Ayah untuk Razka. Dan saya membutuhkan kamu menjadi Ibu untuk Dariel. Impaskan?" tanya Adrian memandang Nara. Entah mengapa kalimat yang baru saja Adrian ucapkan membuat darah prempuan itu mendidih. Bossnya terlihat memandang Nara remeh, seolah yakin bahwa Nara akan menerima ajakannya. "Boss pikir saya mau nerima?" tanya Nara balik menatap remeh Adrian. Prempuan itu mengabaikan ucapannya yang mulai tak sopan pada Bossnya. Adrian mengangguk percaya diri, membuat Nara mendecih dengan sikap sombong lelaki didepannya ini. "Menurut saya pernikahan adalah hal sakral. Dan saya gak mau main-main dengan hal itu." Nara menabrak bahu Adrian membuat lelaki itu sedikit termundur ke belakang. Setelah beberapa saat Nara meninggalkan Adrian barulah lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. "Arghhhh... Kamu bodoh Adrian. Nara itu beda dengan prempuan diluaran sana!" Adrian mengerang marah, meninju dinding dapurnya walaupun tidak akan ada perubahan sama sekali. Sedangkan dilain tempat, Razka sedang memberi pakan ikan koi milik Adrian saat Nara keluar dari rumah besar itu dengan langkah yang begitu terburu-buru. "Ayok, Bang. Kita pulang," ujar Nara seraya menarik lengan Razka membuat pakan ikan itu jatuh berserakan. "Maaa... Makan ikannya jatuh tuh," ucap Razka kesal tapi Nara tidak mengubrisnya. Ia malah mengangkat tubuh Razka agar bisa berjalan lebih cepat menuju mobilnya. Langkah Nara terhenti saat berada tepat didepan mobilnya. Wanita itu segera masuk kedalam dengan perasaan berkecamuk di hatinya. Nara menyayangkan sikap bossnya yang seperti itu. Apa dirinya serendah itu membuat bossnya dengan mudah meminta Nara menikah dengannya. Apa statusnya sebagai ibu dengan seorang anak tanpa suami membuatnya dipandang sebelah mata? "Maa... Kenapa? Mama sakit?" tanya Razka khawatir membuat hati Nara tesentuh. Dibawanya tubuh mungil Razka agar duduk dipangkuannya. "Babang sayang gak sama Mama?" Mata bulat Razka mengerjap, "Kenapa Mama tanya begitu?" tanya Razka. Nara menggeleng, "Mama mau tahu aja," ujar Nara seraya mengelus puncak kepala Razka. "Babang itu sayang banget sama Mama, sebesar ini," ujar Razka seraya membentuk lingkaran besar dari tangannya. "Mama kan sering ngomel, Babang masih sayang?" "Babang tahu, kalo Mama ngomel berarti Mama sayang sama Babang. Mama mau yang terbaik buat Babang. Apapun yang terjadi Babang tetap sayang Mama." Tesss... Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Nara. Dengan perasaan menggebu-gebu prempuan itu memeluk anaknya. Menciumi setiap inci wajah Razka. "Mama sayang kamu Bang." "Babang lebih sayang Mama." *** Nara menaikkan selimut tebal itu hingga setinggi d**a Razka. Diusapnya lembut kening anaknya yang berpeluh akibat suhu malam ini yang begitu gerah. Nara baru saja menidurkan Razka setelah membantu anaknya menggosok gigi dan membaca doa sebelum tidur. Dengan hal itu membuat Nara sedikit lupa dengan kejadian siang tadi. Diusapnya sekali lagi kening anaknya lalu di kecupnya lembut. Nara kembali memeriksa tubuh Razka bahwa selimut tebal itu sudah sepenuhnya membalut tubuh anaknya. Nara beranjak dari kamarnya, lalu berjalan pelan menuju dapurnya. Mungkin dengan secangkir coklat panas dapat membuat pikirannya kembali tenang. Setelah secangkir coklat panas telah tersedia digenggamannya, Nara membawanya menuju jendela kaca yang berada didekat ruang tamunya. Jendela kaca itu besar, dihalau oleh gorden yang membuat terangnya bulan malam ini tidak masuk kedalam rumah. Nara menyibak gorden itu, membuat terangnya bulan dapat Nara rasakan. Diletakannya cangkir itu didekat meja kecil yang ada disana. Nara juga meletakan sofa single dibawah jendela. Menjadi salah satu tempat favorite Nara saat dirinya butuh sendiri. Nara kembali melayangkan ingatannya ke masa lalu, masa dimana keluargnya masih dapat berkumpul. Saat itu, Nara masih dapat berkeluh kesah pada Ibunya yang sabar dan masih dapat bersandar pada bahu Ayahnya yang kokoh. Tapi, karena kecelakaan mobil itu membuat kedua orang tua Nara harus lebih dulu dipanggil yang Maha Kuasa. Meninggalkan Nara yang rapuh, sendiri. Nara hampir melakukan self-injure waktu itu, untunglah hal itu tidak terjadi karena sahabat Nara menghalau niat Nara dan memastikan bahwa kehidupan Nara akan terus berjalan. Hingga salah satu sahabatnya harus merenggang nyawa karena terjadi pendarahan saat melahirkan anaknya, kembali membuat Nara hancur. Disitulah Nara bertemu Razka untuk pertama kalinya. Hati Nara berdesir saat melihat kulit kemerahan milik Razka. Tangisnya pecah saat melihat Razka kecil menggeliat didalam inkubator karena lahir tak sesuai jadwal. Barulah saat makhluk kecil itu menangis membuat Nara detik itu juga mengambil tindakan akan menjadi ibu angkat untuk Razka. Nara berjanji pada Razka kecil yang saat itu sedang terpejam, bahwa dirinya akan selalu melindungi dan mecintai Razka sampai kapan pun. Nara menghela nafas, lalu diambilnya cangkir berisi coklat panas itu menyentuh permukaan bibirnya. Dihirupnya aroma coklat yang menguar bercampur dengan asap yang mengepul, diisapnya pelan rasa coklat yang langsung menyentuh lidahnya. Tenang. Nara merasa bebannya sedikit berkurang saat ini, hilang ditelan bersama pahitnya coklat. Nara mempercayai bahwa coklat dapat menghilangkan stress. Karena memang itu yang Nara rasakan. Tapi, masih ada suatu hal yang mengganjal di hati Nara. Perkataan bossnya tadi siang. Entah mengapa seolah berputar-putar di otak Nara. Razka butuh Ayah Apakah Babang-nya butuh seorang Ayah? Apakah Nara terlalu egois sehingga tidak mengerti apa yang anaknya butuhkan? Bohong jika sampai saat ini Nara tidak pernah mendengar Razka bertanya tentang Ayahnya. Apa yang Nara lakukan? Nara memegang pundak Razka, menatap anaknya sayang. Dan berkata, "Ayah udah tenang disana, Bang. Ayah udah pergi jauh dan gak akan balik lagi." dan detik itu Razka langsung memeluk Nara dengan terisak seraya berguman, Babang sayang Mama, gak papa kalo gak ada Ayah. Pokoknya Babang sayang Mama. Nara menjadikan kata-kata anaknya itu sebagai pedoman memang benar Razka tidak membutuhkan Ayah. Karena Nara berharap, lelaki sialan yang telah menyebabkan sahabatnya menderita mendapatkan balasan yang setimpal. Dengan mati, mungkin. Tapi, apakah Nara tahu? Kini, Razka berharap besar bahwa lelaki yang dibenci Nara akan menjadi Ayahnya. *** Seorang wanita masih saja mengetikan sesuatu diatas keyboardnya, berkas-berkas sudah berserakan diatas mejanya. Menandakan bahwa saat ini prempuan itu sangat sibuk. Padahal jam makan siang sudah dimulai sejak sepuluh menit lalu. Tapi Nara masih saja bermain pandangan dengan layar monitor yang menyela. "Asik, Buk Sekretaris sibuk banget," ujar Shireen yang entah dari mana sudah berada didepan Nara. Sebenarnya pekerjaan Nara masih banyak tapi otot-ototnya butuh istirahat sebentar. Nara menjatuhkan badannya diatas bangkunya, merenggangkan otot-ototnya yang mulai kaku. "Aishh, lain bener yang udah sibuk begini. Sampai makan siang aja gak sempet lagi." Nara mengibas-ngibaskan tanganya, "Itu mulut mau disawer uang berapa? Butuh  dicuci tuh, biar gak ngaco lagi ngomongnya," ucap Nara membuat Shireen menutup mulutnya menahan tawa. "Iya deh, yang banyak uangnya. Eh btw, lo gak makan siang, Ra?" tanya Shireen melirik berkas-berkas berserakan di meja Nara. "Gak deh. Tugas gue masih banyak, mana Boss gue lagi garang lagi. Pusing pala berbie." "Bukan pala berbie, Ra. Tapi pusing pala Anabelle, hahah." tawa  menggelegar Shireen memenuhi isi ruanganya membuat Nara mendengus saat melihatya tertawa berlebihan. "Udah ah sana! Pulang lo ke habitat, eneg gue lihat lo." Nara mengibas-ngibaskan tanganya, menyuruh Shireen yang masih tertawa agar pergi dari ruangannya. "Peace deh! Eh btw lagi ya, Boss lo itu tambah hot gak kalo lagi marah?" "Hadeh, hot bener sampe-sampe gue pengen nimpuk lo pake sepatu gue." "Hahah, hati-hati Ra. Nanti Boss lo berubah jadi singa, aummmmm! Bisa remuk badan lo. Hahaha." Nara sudah ingin melempar Shireen dengan sepatunya tapi prempuan itu sudah kabur terlebih dahulu membuat Nara kembali memasang sepatunya. "Ada-ada aja tuh Shireen! Bos gue dikataiin hot? Gila, iya!" "Siapa yang gila?" "Boss." Nara reflek menutup mulutnya, bola matanya sudah membesar saat melihat Bossnya sudah berada dihadapannya. "Kamu bilang saya gila?" tanya Adrian dengan alis bersatu, membuat Nara ketar-ketir seketika. "Ohh, itu Boss. Temen saya yang gila, bukan Boss. Jadi gak usah geer Boss." Nara berbalik menatap Adrian tak suka, membuat pria itu menggaruk kepalanya tak gatal. Adrian rasa sekretarisnya itu masih marah perihal ajakannya kemaren, terlihat dari sifat jutek wanita itu yang membuat Adrian diselimuti rasa bersalah. Dia ingin meminta maaf, tapi suara ponsel itu lebih dulu berbunyi membuat Adrian tidak jadi bicara. Nara merogoh tasnya, lalu mengambil ponselnya untuk menjawab panggilan di si penelpon. "Halo..." Adrian masih ingin meminta maaf pada Nara setelah prempuan itu selesai bertelepon tapi Nara malah berbalik badan yang berarti dia tidak ingin pembicaraannya di kuping. Adrian mengehela nafas, tapi ini memang salahnya. Baru saja Adrian ingin membuka pintu ruangannya, dirinya mendengar Nara beteriak menyebutkan nama yang Adrian kenal membuatnya tidak jadi membuka pintu. Adrian buru-buru menangkap tubuh Nara yang hampir limbung, prempuan itu nampak shock terlihat dari mukanya yang mendadak pucat. "Apa yang terjadi Nara?" "Babang... Babang masuk rumah sakit."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN