2

1267 Kata
Fujita Abe menahan napasnya melihat pesanan jas untuk lamarannya terbang bebas mendarat tepat di depan matanya. Bersamaan dengan tas khas milik Itoo Boutique's besar-besar di luar tas itu. Abe menarik napas panjang, melepaskannya kasar. "Advan," tegurnya. Melihat sahabat ravennya yang duduk membelakanginya, menatap ke luar jendela. "Sudah kukatakan, kau tidak seharusnya mengambil ini untukku." Mori Advan diam, tidak menjawab. "Hanya karena kau ingin melihat Itoo itu, kau tidak perlu melakukan ini, ingat?" Abe mencoba berbicara pelan, berharap Advan luluh dengan ucapannya yang penuh kehati-hatian. "Tidak," kepala raven itu menggeleng. Dia memutar kursinya, menatap iris biru Abe. "Ini tidak akan berhasil. Dia tidak akan kembali padaku." Mata Abe memutar. Dia membawa tas itu ke pangkuannya dan duduk di depan Advan. Hanya meja besar yang membatasi antara mereka berdua. "Lupakan dia," bisik Abe. Dia tidak ingin Advan terpuruk karena cinta. Karena Nalaya cinta pertamanya, tidak seharusnya dia menderita sedalam itu. "Ingat saja tentang ibumu yang sakit, kau harus ada untuk menemaninya. Ikeda mungkin tertawa melihatmu kacau karena seorang wanita." Iris pekat itu menggelap. Abe berdeham, menyembunyikan rasa bersalahnya. "Tidak, dengarkan aku, Advan, ini tidak baik. Lupakan Nalaya, dia sudah bahagia dengan Satoo Raka." Ah, Advan mendengus mendengar nama pria itu disebut. "Pria itu jelas bukan tipenya," sungut Advan. Abe mendesah, memijit pangkal hidungnya yang memerah. "Dengarkan aku sekali lagi, pecundang," umpat Abe. Advan melemparkan tatapan dinginnya dan Abe tidak gentar balas menatapnya kecewa. "Mereka bersama sejak sekolah, kau yang tidak ada apa-apanya dibanding sosok Satoo Raka di mata Itoo itu. Sudah kukatakan berapa kali? Hah?" Advan memundurkan wajahnya. Tahu berdebat dengan Abe tidak ada gunanya. Pria itu adalah orang terdekat Advan selama ini. Tidak ada lagi selain dia dan kakaknya yang sudah lama pergi. Mori Ikeda, yang tewas karena kecelakaan pesawat tiga tahun yang lalu. Mori Ken pernah membuat perusahaan konveksi semasa muda dulu. Banyaknya Rakangan membuat Ken tertekan, dia memilih untuk bunuh diri karena hutang dan tekanan dari beberapa investor karena kegagalannya dalam perRakangan lokal. Meninggalkan luka mendalam bagi sang ibu, dan juga kedua anaknya. Ikeda berusaha membangun kerajaan bisnisnya untuk memberi pelajaran bagi mereka-mereka yang membuat dirinya dan keluarganya menderita. Kehilangan sosok ayah di waktu kecil membuat mereka tertekan dan kehilangan separuh kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan. "Ikeda mengirimmu sekolah ke luar negeri untuk ini," kata Abe. "Agar kau bisa meneruskan warisan yang ingin dia jaga untuk menghormati ayahmu, untuk membuatnya bangga," Advan menghela napas panjang. Menyinggung masa lalu keluarganya memang membuatnya marah dan sedih. Dia tidak bisa lakukan apa pun selain menggantungkan seluruh harapan pada sang kakak. Hingga dia pergi dan Advan harus berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Untuk melindungi apa yang Ikeda tinggalkan juga ibunya. "Masih banyak wanita di luar sana," Abe berkata hati-hati. "Jika dia tidak kembali padamu, dia bukan milikmu. Itoo Nalaya, tidak lagi menjadi milikmu. Lupakan dia," Abe berdiri, membawa tasnya dalam satu tentengan tangan dan berjalan keluar ruangan. Advan memejamkan matanya, menikmati udara dingin karena pendingin ruangan yang dia nyalakan dalam standar maksimal. Dia berpikir ruangan yang dingin bisa membekukan pikirannya yang kacau. Nyatanya, tidak. *** "Sampai jumpa!" Nalaya melambaikan tangannya sebelum masuk ke mobil miliknya. Mobil silver itu berjalan keluar dari halaman butik dan berbaur bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Haruka memakai mantelnya setelah berjalan bersama Lena. Mara sudah pergi lebih awal karena adiknya menghubungi untuk menjemputnya setelah selesai bekerja nanti di rumah temannya. Dia terburu-buru. "Ingin makan ramen?" Lena menawarkan Haruka saat mereka melewati kedai ramen yang sepi. Haruka mengangguk singkat. Mereka masuk ke dalam kedai ramen dan memesan dua mangkuk ramen panas dan ocha hangat. Mencari tempat duduk yang nyaman sebelum menghela napas lelah. "Kau bahkan sampai membawa dua baju pesanan," keluh Haruka melihat isi tas Lena yang menggembung. "Kau tidak lelah?" Lena tersenyum dengan gelengan kepala kecil. "Tidak apa, aku menganggur dirumah, ini termasuk kesibukanku juga." Haruka mendengus, tetapi ada senyum di wajahnya. "Kalau kau butuh bantuan, hubungi aku, ya." Lena mengedipkan mata sebagai respon. Ramen mereka tak lama datang. Uap panas mengepul di atas mangkuk biru bergambar naga dengan sendok dan sumpit di atas nampan. Ocha hangat yang mereka pesan juga sudah tersaji di atas meja. "Tentang Mori Advan ..." Haruka melirik Lena yang meminum kuah ramennya dalam diam. "Kau tahu sesuatu tentangnya?" Lena menatap Haruka, alisnya terangkat naik. "Tidak," Haruka mengangguk singkat. "Tidak sama sekali. Kenapa kau bertanya?" Haruka tersenyum malu. "Tidak ada. Hanya ingin tahu saja," ada rona merah di pipinya. Mulut Lena sedikit terbuka. Melihat ekspresi wajah Haruka yang merona, dia bisa menyimpulkan sesuatu walau hanya sekilas. "Ah," Lena tertawa pelan. "Kau tertarik?" Kepala Haruka menggeleng cepat. Merasa malu karena Lena bisa menebaknya dengan mudah. "Tidak, tidak." Senyum Lena masih tertinggal di wajahnya. "Yang benar?" Haruka menunduk, menatap kuah ramennya yang menyisakan irisan daging dan telur. "Dia tampan, dan mapan. Kurasa banyak wanita yang jatuh hati ketika melihatnya. Benar, kan?" Lena mengusap bibirnya dengan tisu dalam kotak di atas meja. Dia menatap Haruka, kepalanya mengangguk. "Kurasa. Dia tidak buruk," dahinya mengernyit samar. "Visualnya lumayan. Untuk sifat, aku tidak tahu. Kau hanya melihat dari sisi luar saja, kan?" Haruka menatap Lena. Tidak bisa lebih setuju lagi dari ucapan Lena yang memang benar adanya. "Kau benar. Lagipula, aku hanya tertarik karena dia tampan." "Tidak apa, itu normal. Sesuatu yang wajar menurutku," mereka saling bertatapan. "Tapi kurasa Mori itu memiliki hubungan dengan bos kita," tebak Haruka. Lena hanya diam mendengarkan. "Aku tidak mau tahu lebih jauh lagi kalau tebakanku ini benar." Lena hanya bisa mengangkat bahunya, tidak mampu menjawab pertanyaan Haruka karena dia berjanji untuk menjaga rahasia sahabatnya dari orang luar. "Sudahlah, lupakan. Ada atau tidak itu sama sekali bukan urusan kita, kan?" Lena berdiri dari kursi kayu itu, pergi ke kasir setelah membayar ramennya dan ramen Haruka. Sepanjang jalan Lena hanya bisa tertawa mendengar gerutuan Haruka karena dia membayar makan malam mereka. Dan Haruka yang berjanji akan mentraktir Lena nanti. *** Lena duduk dengan celana yang separuh jadi di tangannya. Dia sedikit santai karena butik sepi dan dia bisa melanjutkan menjahit pakaian yang sudah dipesan untuk diambil lusa oleh si pemesan. "Aku muak melihat wajah Hatta di media," Nalaya membanting koran yang dia beli ke tempat sampah. Mara menolehkan kepalanya bersamaan dengan Haruka saat mereka sedang memotong kain untuk membuat gaun. Nalaya mendekati Lena, duduk di samping wanita itu. "Tidak bisakah dia menghilang saja dari dunia ini?" Nalaya menggerutu. Lena tertawa pelan. Dia menarik benang, dan memotongnya dengan gunting. "Kenapa kau kesal begitu?" Lena bercanda. "Aku yang menikah dengannya dulu, kenapa kau yang terlihat tidak suka?" Nalaya menatapnya. Ada kemarahan di kedua matanya. "Lena, dia menyakitimu. Pria b******k itu benar-benar menjual reputasi di depan media agar dipandang lebih baik. Menjijikan," Tangan Lena terhenti di pertengahan jalan. Nalaya menutup rapat bibirnya melihat tubuh Lena yang menegang selama beberapa saat. "Kau tahu, aku tidak bisa lakukan apa pun," bisiknya lirih. Nalaya tidak bisa memasang wajah apa pun selain iba dan sedih. Lena terluka karena bersama Hatta. Tiga tahun lamanya mereka menikah, selama itu Lena harus menahan diri dan hatinya untuk tetap bertahan di sisi pria itu. "Lena," Nalaya mengusap bahunya. "Aku yakin, Hatta mendapat balasan yang setimpal," Lena mengangkat kepalanya menatap Nalaya. "Bukan darimu, mungkin dari orang lain. Lihat saja," Lena tersenyum melihat senyum di wajah sahabatnya. Nalaya sudah terlihat baik dari kemarin karena Mori Advan. Lena berharap Advan tidak lagi menggangu kehidupan Nalaya bersama Raka nanti. Atau Nalaya akan semakin sedih karena kehadirannya. "Kau yang terbaik," kata Lena. Berterima kasih pada Nalaya yang kini tertawa pelan. Menepuk lengannya gemas. Lonceng pintu kaca berbunyi. Nalaya segera berdiri menyambut tamunya yang datang. Itu istri pejabat negara, Mei, yang datang untuk mengambil gaun malam untuknya dan putrinya. Nalaya menyambutnya dan Lena segera pergi ke mejanya. Melanjutkan pekerjaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN