Setelah kejadian tadi malam, pagi ini keluarga Hendarmo sangat tenang tanpa adanya Aini yang selalu dianggap mencari masalah dan rusuh oleh semua penghuni rumah. Terlihat dari ruang makan pagi ini, semua menyantap sarapannya dengan tenang dan penuh kedamaian tanpa ada gangguan sama sekali.
Begitu juga dengan Niar yang sangat senang bahwa anak sambungnya itu sebentar lagi akan keluar dari rumah ini setelah dia lulus. Itu tidak akan lama lagi, biarkan saja dia bermain dahulu dan bahagia dengan waktunya yang sebentar itu karena akan ada pertunjukan yang luar biasa yang ingin dia lakukan kepada Aini yang selalu membuatnya muak. Sama seperti ibunya yang dulu selalu mendapatkan perhatian dari Hendarmo.
Sekarang anaknya, setalah ibunya tiada pun hampir 7 tahun lalu Aini sebenarnya tetap menjadi anak sah dari Hendarmo. Berbeda dengan kedua anaknya. Dia bosan harus selalu berpura-pura, apalagi hidup dalam kesandiwaraan di depan Hendarmo. Dia sudah malas hidup seperti itu apalagi pura-pura baik di hadapan Hendarmo.
Dia ingin menguasai segala hal dalam hidup Hendarmo apalagi harta. Dahulu juga dia mendekati Hendarmo karena ingin hartanya, sayangnya dia lupa bahwa hati bisa membalik apa yang tidak terjadi dan yang terjadi belum tentu sama seperti yang diinginkan karena dia memakai perasaannya saat itu, tapi sayangnya ayah Hendarmo, Tuan Indrawan tidak pernah menyetujui hubungan mereka sampai ayah dan ibu Hendarmo meninggal pun. Jadi ia harus mundur secara perlahan.
Begitu juga dengan ayahnya yang selama ini memanfaatkan segala apa pun untuknya. Untungnya si tua bangka itu sudah mati, begitu batinnya berbisik. Namun, wanita tua yang menjadi ibunya itu masih hidup walau sudah sakit-sakitan. Dan dia muak dengan segala hal kemiskinan yang dia miliki, sebab hidup dengan ibunya yang miskin setelah berpisah dengan ayahnya sejak ia masih kecil.
Berbeda dengan kehidupan ayahnya, yang masih bergelimang harta walau sudah bangkrut akibat di usir oleh keluarganya saat dia menikah untuk kedua kalinya. Walaupun begitu, hidup tetap berjalan. Itulah yang selama ini dia jalani. Hidup yang penuh dengan tekanan dan keterpaksaan tetapi setelah ayahnya meninggal dia bisa hidup dengan sedikit tenang.
***
Aini yang hanya diam di kamar sudah bangun dari tadi tapi dia takkan keluar kamar. Dia ingin bertindak sekali ini, tidak harus selalu ditindas dan diam saja membuat semua orang selalu semena-mena kepadanya semakin melunjak. Dan dia tidak akan pernah diam lagi sekali ini.
Dia memang belum berpengalaman dalam bertindak gegabah atau sejauh ini, tapi yang pasti dia akan melakukan sesuatu untuk itu.
Ayahnya yang selama ini pun memang tidak pernah mengutamakan mereka dan menjadikan mereka prioritasnya. Jadi untuk apa dia memprioritaskan ayahnya. Biarkan saja dia hidup dengan dunianya dan apa yang akan terjadi ke depannya.
Aini berjalan menuruni tangga, melihat apakah suasana di ruang tengah dan ruang makan masih ada orang atau sudah pergi semua. Dia ingin mencari masalah pagi ini, mereka pikir Aini tidak bisa apa-apa ya? Tunggu dan lihat saja.
"Selamat pagi!" sapanya pada semua orang yang ada di dapur. Kebetulan yang di ruang makan hanya Niar dan papinya.
"Pagi, Non," sapa balik si bibik yang biasa melayani Aini Aini hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapi.
“Mau sarapan apa, Non? Nanti bisa bibik buatkan,” katanya menawarkan pada Aini.
"Tidak usah repot-repot, Bik. Cukup nasi goreng saja. Saya lagi kepengen," jawabnya sambil duduk.
Tiba-tiba Niar mendengus tidak suka, saatnya dia mencari muka di depan Hendarmo. “Kamu gak bisa masak sendiri ya, Ni? Biasanya Zaline malah lebih suka masak sendiri dari pada mami masakin. Kalau kamu mau biar mami yang masakin," ucapnya sengaja diramah-ramahkan.
Aini yang melihat itu hanya mendengus. “Tidak usah. Masakan bibik lebih enak dari pada masakanmu,” jawabnya cuek.
Niar dan Hendarmo yang dari tadi melihat Aini mendadak terdiam kaget. Niar tidak pernah menyangka bahwa Aini benar-benar akan menjawab basa-basinya karena selama ini dia hanya diam saja, sedangkan Hendarmo yang sudah sadar dari rasa kagetnya mencoba berbicara kepada Aini dengan penuh penekanan.
“Kamu bisa sopan, ‘kan? Bagaimana pun, Niar adalah istri papi. Jika kamu tidak bisa memanggilnya mami, setidaknya kamu bisa memanggilnya tante, Aini!” katanya.
Aini yang mendengar hanya mengangguk paham, berbeda dengan Niar yang mulai mencoba berakting kembali. "Tidak apa, Mas, mungkin karena dia tidak dekat denganku. Tidak apa. Mulai sekarang aku akan mencoba dekat dengannya," ucap Niar lembut sambil mengelus lengan suaminya.
Hendarmo menoleh dan mengangguk mengiyakan.
“Iya, Mam, hanya saja agar dia terbiasa sopan. Nanti kalau dibiarkan dia tidak tau sopan santun, seperti–" Belum selesai Hendarmo berbicara, Aini langsung memotong ucapannya, "Ibuku," katanya singkat.
Hendarmo yang ingin membantah langsung dialihkan oleh Aini. “Bik, jika nasinya sudah jadi, makan saja. Saya akan makan di luar. Terima kasih," ucapnya sambil berlalu.
"Aini, Aini! Mau kemana kamu?" bentak Hendarmo, tetapi dia malas menanggapi ayahnya dan berlalu.
"Aini, jangan kurang ajar kamu!” Hendarmo mengejar putrinya, tetapi Niar menahan lengan suaminya.
"Sudah, Mas, biarkan saja dulu. Nanti dia juga pulang, kamu bisa bicara baik-baik padanya,” ucapnya sok lembut.
Aini berlalu dan pergi entah kemana tujuannya hari ini. Yang pasti dia tidak ingin di rumah untuk saat bahkan malam ini.
***