Pov : RANIA
Perjalanan hidup yang tak mudah. Kadang mulus, lurus kadang terjal dan berliku. Kupikir, Mas Gaza adalah laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku, tapi ternyata takdir berkata lain.
Siapa yang bisa mendikte takdir? Tak ada yang bisa kecuali Dia. Sekuat apa pun aku menggenggam, jika takdirnya terlepas aku bisa apa?
Rasanya, air mata sudah cukup kering untuk sekadar menangisinya. Lelah, capek bahkan seolah merasa paling terluka. Berbagai opini liar mulai menyebar.
Tak ada yang membocorkan soal video itu. Karena itulah mereka berpendapat, menerka-nerka apa yang membuatku pulang ke rumah setelah malam pertama.
"Rania, istikharah di sini saja. Jika kamu pulang, banyak orang akan menerka-nerka apa yang terjadi. Kamu lebih aman di sini," ucap Mas Azka satu minggu yang lalu.
"Biar Rania istikharah di rumah, Ka. Dia akan lebih tenang di sana. Orang-orang hanya akan menerka-nerka, biarkan saja asalkan tak ada yang membocorkan masalah ini. InsyaAllah Rania bisa menghadapi."
Mas Alif yang menjawab permintaan Mas Azka, sementara aku masih membisu. Pikiranku masih saja kacau meski Ummi sudah menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan Mas Azka.
"Jika kamu ingin menikah dengan Rania, belajar dengan Gaza untuk mengurus perusahaan keluarga, Ka sebelum kakakmu pergi ke Kairo melanjutkan study-nya."
"Maaf, Mi. Bukan maksud menolak permintaan Ummi tapi untuk mengurus perusahaan bukankah dibutuhkan otak yang cerdas? Sementara Azka tak memiliki kecerdasan sampai ke situ. Azka sudah sangat bersyukur bisa mengembalikan modal usaha dari Ummi meski Ummi tak pernah meminta. Ummi tak perlu khawatir, Azka akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Rania bahagia."
Laki-laki itu duduk di sofa tak jauh dari Ummi berada. Sedangkan aku masih di samping ibu, diam mendengarkan. Sepertinya ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya saja dia tak ingin memberitahuku saat ini.
"Bukankah pendapatanmu tak tentu? Bagaimana kamu bisa membahagiakan Rania?" Ummi masih terus bertanya. Sementara Abah tak terlalu banyak bicara seolah membiarkan istrinya saja yang bertanya lebih banyak pada anak lelakinya.
"Iya, Mi. InsyaAllah cukup untuk hidup Azka dan Rania meski sederhana. Itu pun kalau nantinya Rania menerima. Kalau menolak pun tak apa. Azka tak akan pernah memaksa." Laki-laki itu terus menjawab pertanyaan Ummi tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
"Jika Rania menerima, tinggallah di sini. Ummi nggak tega dia kamu ajak tinggal di kontrakan sempit itu," ucap Ummi lagi.
"InsyaAllah, Mi. Itu pun jika Rania mau, yang pasti jika Mas Gaza tak ada di rumah."
"Maksudmu? Kamu cemburu pada kakakmu?"L.aki-laki itu menggeleng sembari tersenyum.
"Buat apa cemburu? Bukankah Mas Gaza yang sudah menolak Rania?"
Air mataku kembali meleleh mengingatnya. Ternyata ditolak itu menyakitkan apalagi jika dengan sebuah fitnah memalukan.
"Lantas? Kenapa harus pergi jika Gaza di sini?" Ummi terus mencecar, tapi Mas Azka menjawab dengan tenang.
"Bukankah dalam hadits juga menjelaskan jika ipar adalah maut, Mi?" Ummi kembali diam tak menjawab.
"Untuk kali ini jangan keras kepala, Ka. Ummi nggak mau Rania kenapa-napa di luar sana. Malu sama tante Ernita-- sahabat Ummi."
"InsyaAllah Azka nggak akan mempermalukan Ummi lagi. Cukup waktu itu, Mi. Cukup."
Kulihat kedua mata Mas Azka basah. Menangiskah dia? Tapi kenapa dia sampai menangis seperti ini? Adakah yang salah?
"Percayalah, Mi. Kali ini Azka nggak akan mengecewakanmu lagi."
***
Minggu lalu ... ya, minggu lalu hari spesial yang berubah sendu dan pilu. Hingga akhirnya Mas Gaza membiarkanku memilih untuk pergi atau tetap tinggal tanpa status istri. Perih memang. Karena dia lebih mempercayai orang lain dibandingkan istri sendiri.
Namun tak apa, mungkin itu membuktikan bahwa dia bukanlah laki-laki tebaik untukku, hingga akan dikirimkan laki-laki lain yang jauh lebih baik untuk menggantikannya.
Kuseka kembali air mata yang menetes di atas sajadah coklatku. Pikiranku tak tenang. Benar-benar kacau. Entah mengapa selalu saja memikirkan Mas Azka dengan senyum manisnya.
Aku tak tahu berapa kali bertemu dengannya, tapi dia bilang sudah beberapa kali bertemu denganku. Kapan dan dimana aku pun tak tahu.
Detik ini, laki-laki itu datang dengan Ummi dan Abah. Mas Gaza tak ikut serta, entah kemana dia. Kudengar laki-laki mengungkapkan kembali janji-janjinya yang membuatku merasa begitu istimewa.
"Jadi gimana Rania? Ummi bilang kamu mau menikah denganku, benar?" tanya laki-laki itu begitu tenang.
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Apa jawaban istikharahmu adalah aku?"
Bahkan aku sendiri tak tahu jawaban dari salatku. Aku hanya meminta jawaban dari ibu. Ibu merestui, Ummi pun sama. Itu sudah cukup. Apalagi aku tak ingin membuat hubungan kekeluargaan ini renggang hanya gara-gara kegagalan itu.
"Ah sudahlah. Jika kamu meminta Umi untuk datang, itu berarti kamu juga memintaku untuk meminang. Iya, kan?"
Senyum tipis itu kembali merekah. Tampan. Aku menundukkan kepala setelah mengangguk pelan.
"Kupinang kau dengan Bismillah, Rania. Tak banyak barang yang kubawa untukmu. Hanya satu buku kecil dan pena ini saja." Aku mengerutkan alis. Buat apa buku kecil dengan pena-nya?
"Simpan saja dulu," ucapnya lagi, aku pun menurut saja.
Tak banyak pertanyaan yang kuajukan, meski sebenarnya aku menyimpan banyak tanya dan penasaran. Laki-laki di depanku saat ini cukup berbeda. Bahkan jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya, meski soal paras mereka hampir sama.
"Aku akan menjelaskan untuk apa buku kecil itu, nanti setelah kita sah menikah. Bersabar, ya?" Lagi-lagi laki-laki itu tersenyum menatapku.
"Terima kasih sudah menerima segala kekuranganku. Kalau kelebihan, sepertinya aku tak memiliki itu. Bukan begitu, Mi?"
Ummi mendongak. Kedua matanya berkaca-kaca lagi. Entah apa yang sebenarnya mereka tutupi. Aku yakin, perjalanan hidup calon suamiku kini tidaklah mudah.
"Dua hari lagi aku akan ajak kamu ke penghulu, ya? Sabar dulu, aku ingin membelikanmu sebuah kalung sebagai mahar. Besok uang itu baru cukup untuk membelinya."
"Azka! Kamu jangan keras kepala. Kenapa nggak mau memakai uang Abah dan Ummi? Jangan membuat malu keluarga!" Abah bicara sedikit membentak.
Tak pernah kudengar Abah semurka ini. Ada gurat malu, kecewa dan emosi di sana. Kulirik ibu hanya
menghembuskan napas pelan. Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa serumit ini? Mas Azka tak menjawab. Dia hanya menatap wajah Abah dengan tenang.
"Abah, percayalah. Azka tak akan pernah memalukan Abah lagi."
"Tapi ini sudah memalukan, Ka!"
"Tenang, Thofa. Azka nggak memalukan. Justru aku bangga dengan calon menantuku ini." Ibu menengahi. Ada gurat bahagia dan lega di wajah laki-laki itu. Dia kembali tersenyum. Benar saja, dia memang jauh lebih tampan jika tersenyum.
"Aku tahu banyak orang yang menggunjingmu, Rania. Pakailah cincin ini. Maaf jika terlalu besar atau kekecilan. Aku hanya mereka-reka ukuran jarimu. Katakan pada para penggunjing itu, kamu baik-baik saja dan tetap akan menjadi menantu kesayangan Ummi. Aku tak rela jika kamu terluka oleh gunjingan mereka."
Air mataku menetes. Dia ... sepertinya memang laki-laki terbaik untuk hidupku. Kata-kata yang keluar dari bibirnya membuatku merasa istimewa. Tak terasa bibirku kembali tersenyum. Ada bunga cinta yang merekah di dalam sana.
Dua hari kemudian, dia benar-benar datang untuk menepati janjinya.
"Bagaimana, pas?"
Aku mengangguk pelan. Cincin sederhana dari laki-laki biasa, tapi membuatku merasa begitu berharga. Rasanya, tak sabar aku menunggu saat dia mengucapkan qabul itu. Ketenangan dan senyuman yang selalu Mas Azka pancarkan membuat orang-orang di sekelilingnya merasa nyaman, termasuk aku.
***